Bicara Dengan Sayap
Judul Buku : Perempuan Bersayap
Penerbit : Qhumaira Production
Hal : xxvii + 83
Penulis : Mila Duchlun
Cetakan : Juli, 2006
Mila Duchlun, perempuan penyair asal Riau. Seorang penyair bersayap
yang pernah tinggal di negara kepulauan Maldives, tempat dimana
pernah dia tak hanya bersayap tetapi sekaligus bersirip karena sempat
menyelam di kedalaman laut demi puisi! Momen yang romantis untuk
sebuah puisi bahkan bisa jadi hero(in)is bagi bangsanya. Perempuan
penyair berkebangsaan Indonesia menuliskan puisinya danh mengibarkan
sang saka Merah Putih di kedalaman 17 meter dan menulis puisi berjudul
Bendera di dasar samudera Hindia.
Sebuah peristiwa yang bisa ditanggapi sebagai momen yang bersayap
seperti sifat puisi yang bisa jadi sangat ambigu, polisemis, paradoks
dan ironis. Seorang Mila Duchlun sepertinya adalah puisi itu sendiri,
sebagaimana seorang perempuan bersayap ternyata juga bersirip; dari
kata-katanya yang bersayap dalam puisi, aksinya bisa juga merupakan
sebuah aksi `bersayap', bermakna ganda.
Makna yang bisa diartikan banyak hal termasuk sebagai ironisme.
Seiring dengan sikap dan cintanya kepada Republik ini yang terkadang
terasa sangat kritis, tak jarang diungkapkannya dengan emosi yang
meluap-luap, keadilan yang terbelenggu di negeri ini, sekaligus nasib
kaumnya yang masih saja tertindas ditanah Merah Putih. Seperti kita
tahu bahwa negeri yang tengah carut-marut ini lagi disesaki oleh air
mata akibat masalah dan kepungan bencana.
Kecuali kebanggannya kepada tanah air dan puisi, memang Mila tidak
bermaksud untuk mengungkapkan ironisme tentang tanah airnya. Tetapi
peristiwa itu bisa saja menginspirasikan gambaran bahwa sebagai negara
kita bisa tenggelam di samudera yang luas bila tidak bersegera
menggibarkan Sang Saka Merah Putih di langit biru! Dan, bila tidak
banyak lelaki yang sanggup para perempuan pun sanggup menggibarkan
Sang Saka merah Putih meski didasar laut sekalipun :
Bendera :
Puisiku bara dalam nafas sang saka
Menusuk keheningan Samudera Hindia
Ikan menyingkir segala menjadi gigil
Melesat secepat kilat
Tak henti sampai angin penat
Lihat warnaku
Dua warna berpadu, meramgkul tujuh belas ribu pulau
O, apa masih ingin kau khianati aku?
Meski bom mengoyak raga
Tak akan habis usiaku, karena beribu nyawa menggila
Dalam jantungku!
Underwater 200306/11.30 am
Male, east male Atoll, Indian Ocean,
Republic of Maldives
Puisi yang heroines dan bernuansa nasionalis, sesuatu yang mulai
tenggelam ditengah maruknya para terhormat, dan peristiwa ini bisa
jadi inspiratif dan bersayap. Sungguh sebagai bangsa dan barangkali
juga sebagai lelaki bahunya seakan lelah dan sempoyongan menopang Sang
Saka. Dalam beberapa puisi terasa semangat nasionalisme yang
barangkali justru semakin menguat karena jauh dari pelupuk mata,
simak: Aku Kereta Tempo Dulu, Baret Ungu, Syair Negeri Elok Rintihnya
Terseok, ataupun Dari Tengah Hutan Papua.
Berikan rasa nasionalisme, sekaligus berikan kesempatan kepada kaum
kami begitu kira-kira sorak kritis sang Perempuan bersayap yang harus
menempuh ribuan kilo meter sebagai TKW, sungguh ironisme bahwa di
negara yang `bukan lautan…hanya kolam susu' ini kaum perempuannya
harus berjibaku demi tonggak keluarga, dan barangkali juga tonggak
negara.
Justru dengan sayapnya ini banyak hal yang mestinya bisa dipuisikan
oleh seorang Mila, petualangan-petualangan, perjalanan, resapan dan
lukisan-lukisan yang bertebaran di badan pengalamannya merupakan
nukleus yang potensial bagi pengalaman puitiknya, yang brangakali
sangat berguna bagi tugas dan tulang punggung kepenyairannya di
kemudian hari.
Membaca puisi-puisi yang ekspresif dengan inspirasi langit, tanah,
matahari, api, sepi, cinta dan laki-laki sedikit banyak memberikan
ilustrasi dari puisi-puisinya yang mengalir begitu saja, yang polos,
naif dan bahkan sentimen. Yah, sentimen, coba amati pada puisi: Aku
yang Miskin, ataupun Ingin Kucakar wajahmu! Dengan bahasa yang lugas
dan maksud yang jelas Mila menumpahkan emosi.
Baginya beberapa puisi memang tumpahan emosi yang paling efektif
sebagai teman di negeri jauh, berteman pantai, samudera, hujan seperti
pintanya pada Roh-roh Pujangga. Ah Perempuan memang rembulan penghias
malam, di tengah gejolak dia tetaplah perempuan, negeri yang begitu
sangsi ketika di puji:
Aku Perempuan Bukan Bulan
Namaku perempuan
Jiwaku tidaklah berlipstik
Hatiku tidak berparfum
Buah dadaku tidaklah besar
Sama sekali tidak menarik
Sesungguhnya bumiku sangsi
Mengapa langit jatuh cinta padaku
Sesungguhnya aku ingin tahu
Mengapa langit rela membungkuk
Hanya untuk mengecup kulit hatiku
Aku perempuan bukan bulan
Bertanya padamu wahai langit
Adakah sesuatu pada diriku
Hingga kau rela melepaskan awanmu
Puisi yang tidak perlu disikapi berlebih tetapi resapi saja
ke'biasaannya', banalitasnya. Terlepas dari kepolosan puitiknya,
Mila, sebagai penyair `muda' sangat berpotensi masih panjang
pengalaman yang menanti untuk digali dengan lebih puitis. Terlebih
dengan modal pengalaman perjalanan yang kaya; sungguh merupakan energi
potensial yang mengendap dan siap untuk dibangunkan kapan saja.
Secara keseluruhan buku kumpulan puisi pertama ini memang semacam
tonggak awal yang bisa dinilai dan disikapi secara bebas oleh
pembacanya.Degan memperhatikan tema dan pergerakan emosi yang terjadi
saat pembacaannya. Seringkali emosi pembacaan terasa terganggu oleh
tema dalam puisi yang berseliweran tak merata di badan buku.
Sesaat belum puas menikmati panorama alam harus tiba-tiba coitus oleh
desahan rindu dendam cinta, dan belum lagi tuntas harus mengernyitkan
dahi dengan persoalan kebangsaan, negara dan sosial, dan kemudian
kembali lagi menghadapi rindu dan cinta yang sentimental. Dengan
perpindahan nada puisi yang menyentak: dari nada cinta romantis
elankolis, mendadak nasionalis, ataupun tiba-tiba menjadi
sentimentalis dan sedetik menjadi emotif berkobar-kobar dengan
semangat kritisisme, sepertinya akan mempengaruhi tempo dan emosi
pembacaan pembacanya.
Terlepas dari itu Mila sebagai perempuan adalah memang puisi, apalagi
dengan sayapnya yang siap mengembang membelah samudera itu. Dan,
rasakan pengalaman terbangnya.
Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas
Tuesday, March 27, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment