Warung Cak Bono

Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Friday, April 4, 2008

Ayat-ayat dua cinta

Ayat-ayat dua cinta

(Ketika re-kreasi bertasbih)

Saya hanya akan sedikit bercerita tentang beberapa kesulitan yang seringkai saya temui ketika mengintrepretasikan kembali sebuah puisi; terutama puisi dalam bahasa asing.

Dalam banyak hal saya masih sepakat dengan Derrida yang saya rtikan bahwa menerjemahkan suatu teks tidak lebih adalah suatu kegiatan re-kreasi, menciptakan ulang. Menciptakan teks baru atas sebuah teks. Meski tak harus bersetia kepada kematian pengarang, Barthes, mau tak mau saya harus menuliskan versi dari seorang pembaca. Pembaca dengan segenap pengalaman baca, beserta sentuhan kreativitasnya.

Berbeda dengan jenis non-fiksi, ruang yang diberikan fiksi tentunya lebih lebar lagi, dimana kreatifitas bisa lebih leluasa bergerak. Dalam hal ini saya lebih banyak akan mengambil jarak berbahasa dari filsasfat analitik, dengan logical positivisme, baik Russel ataupun Witsgentein. Dengan begitu saya harus mengakui bahwa penerjemahan secara ilmiah dengan ketepatan semantic yang tinggi dengan tidak menolerir kebanyakmaknaan bisa diabaikan dalam teks fiksi.

Jakobson, yang meskipun dipandang terlalu menyamakan kedudukan bahasa dengan komunikasi, tak bisa dipungkiri saya harus epakat bahwa bahasa sebagai alat utama teks juga bermuatan fungsi emotif. Berbicara tentang puisi, untuk menyingkatnya saya sepadankan fungsi emotif ini sebagai nada, dengan kata lain jarak dan ataupun kedekatan emosi ini saya artikan sebagai nada.

Sementara itu nada yang ditemukan ditubuh karya sastra bisa saja berkembang kemana-mana, bisa ditelusuri secara diakronik maupun sinkronik, dan ataupun kontemporer. Penafsiran nada ini bagi saya adalah merupakan suatu mata air kreatifitas. Artinya bahwa sebuah puisi terjemahan bisa jadi merupakan puisi yang mandiri dari teks asalnya. Sebagai salah satu bentuk reintrepretasi kreatif maka puisi terjemahan bisa jadi merupakan salah satu bentuk kreatif atau katakanlah dengan sedikit jumawa: orisinal.

Untuk selain puisi, saya bisa membayangkan bahwa Shakespeare bisa jadi mati ketawa menyaksikan Romeo dengan pistol menghabiskan liburanya ditepi pantai, bertingkah seurakan Di capprio. Seperti halnya Dumas bisa terheran-heran oleh pembawaan Di capprio sebagai putra hasil perselingkuhan D’artagnan dengan sang Ratu dalam The Man in The Iron Mask (?). Lepas dari benar tidaknya, sama tidaknya, dengan teks awal; penerjemahan kreatif bagi saya adalah murni sebagai suatu kegiatan re-kreasi. Mungkin dengan begitu tuduhan sebagai pembela budaya posmo tak bisa saya elakkan lagi saya tidak membenarkan dan menyalahkan.

Bisa jadi ungkapan-ungkapan saya dekat dengan pemahaman sejenis bricollage, parody, dan ataupun kitsch. Tetapi, hal yang mendasari pemahaman saya adalah bahwa untuk mengkonstruksi suatu karya terjemahan mustahil akan menghasilkan keotentikan yang sama, hal ini juga bisa dilandasi kenyataan bahwa bahasa fiksi adalah berbeda dengan bahasa ilmiah yang sudah seharusnya tidak boleh bermakna ganda. Apalagi bila berbicara bahasa kamera yang merupakan inti kekuatan dari sebuah film. Bahasa yang dimaksudkan memberikan aksentuasi kepada efek yang ingin dicapai oleh sutradara; tafsiran akan semakin melebar mengingat kesenjangan yang bisa ditimbulkan oleh bahasa pictorial dan bahasa descriptional. Terlepas dari itu, benarlah adanya saya terlalu pede dengan pandangan saya. Tetapi sebagai suatu pilihan sikap; apa yang saya sampaikan adalah salah satu dari versi reflektif subyektif: menerjemahkan adalah suatu kerja re-kreasi.

Hal lain, bicara mengenai judul diatas, benarlah bahwa saya masih terimbas oleh sukses dari film Ayat-ayat Cinta. Saya sudah menontonnya sekali di bioskop. Belum membaca novelnya. Jadi saya tidak bisa membandingkan antara novel dan filmnya yang konon berbeda versi di ending cerita. Dan, saya memang belum berniat membacanya, bukan karena apa-apa tetapi karena memang belum sempat mencari novel tersebut apalagi membacanya, dan terus terang baru mendengar nama Habiburrahman.

Saya mengandaikan bahwa ruh film itu adalah bangunan awal atau modal saya nanti dalam membaca novel tersebut, maka kesan yang saya dapati dari film itu bisa jadi meneguhkan atau bahkan sama sekali merubah opini saya terhadap film tersebut. Jika tak banyak kesenjangan yang saya dapati dalam pembacaan saya atas film AAC maka bagi saya AAC hanya bertumpu dan dibentuk oleh kekuatan cerita. Meskipun seandainya benar apa yang dikatakan oleh Ayu Utami bahwa film AAC bukanlah hal baru malah justru ketinggalan beberapa decade dari film Hollywood, bedanya Hollywood membawa misi kristiani sedangkan AAC jelas merupakan film dakwah.

Dalam konteks re-kreasi, AAC jelaslah merupakan hal yang berbeda dengan Hollywood mengingat pesan dakwah yang dibawanya mengenai poligami, (ah andai kau beri aku kesempatan berpoligami). Pertarungan hati dan cinta segitiga Aisyah-Fachri-adalah peta kecil dari sebuah peta besar yang ideologis dan tersembunyi. Dan, maaf memang saya tak bermaksud apalagi berselera untuk mengungkapkannya.

Menonton film yang dengan hanya berpegang kepada plot tanpa memberi landas yang kuat pada karakter, AAC terkesan buru-buru. Dan, memang sepertinya memilih jalan populer dan aman dalam menyelesaikan konflik poligami tersebut dengan aman. Bagi saya, konflik sebenarnya bisa terjadi justru di saat poligami di jalani. Alih-alih menggali lebih dalam permasalahan, AAC justru lebih memilih mematikan tokoh yang potensial. Sebuah penyelesaian yang mudah. Bagi saya, kematian adalah penyelesaian usang.

Kematian di akhir AAC bagi saya bermakna sebagai ketidakberanian dalam memberikan pandangan yang lebih realistis dan menukik. Alih-alih mengembalikan kesimpulan kepada penonton AAC malah memilih untuk menyerah secara romantis kepada kematian. Memang semuanya akan mati, tetapi apa salahnya untuk sedikit lebih cerdas.

Saya mengandaikan bagaimana seandainya poligami tersebut bisa dijalani dengan cerdas, atau diselesaikan dengan cerdas tanpa perceraian! Saya kira daripada menganjurkan AAC malah menegaskan bahwa idealnya monogami itulah penyelesaian daripada poligami; meski dalam menyimpulkan hal ini AAC lebih memilih untuk bersikap simbolik. Perceraian dengan latar takdir kematian tak ubahnya seperti deux ex machina.

Saya akan lebih menerima jika seandainya AAC diakhiri oleh perceraian daripada kematian; dan bahkan lebih suka lagi bila kisah poligami tersebut diselesaikan tanpa perceraian. Memang lelaki mana sih yang tidak ingin berkuasa? Saya kira dengan cermin poligami, sebenarnya benak para lelaki yang cenderung untuk menguasai dan mendominasi lebih bisa dikemukakan dan diperdebatkan. Karya yang baik tidak hanya menghibur tetapi gaungnya hingga kepada penalaran.

Logika modern dengan nafas kesetaraan jender tentu akan sulit menerima keberadaan poligami. Saya mengandaikan jika saja film ini lebih berani dalam menggali konflik ini saya kira banyak peta-peta besar lain yang akan tersentuh. Dengan begitu tafsir yang re-kreatif atas pandangan monogami dan poligami akan menemukan jalannya yang lebih lapang, terlepas setuju atau tidak setuju dengan poligami. Dengan demikian, jikalau dikatakan sebagai film dakwah maka AAC ini menurut saya kurang memberikan nilai solutif, tanggung dan kurang berani.


Memang tidak memihak poligami ataupun anti poligami merupakan salah satu pilihan sikap, tetapi bagi saya di mata kegiatan berkesenian, efek dan kecerdikan dalam menyelesaikan suatu masalah dan pencerahan adalah hal pokok; jika tidak demikian jatuhlah sebuah karya ke alam yang banal dan klise.

Dan terus bertasbihlah re-kreasi

*Obn

(sedang kerasukan, dan mabuk!)

Thursday, February 7, 2008

Sastra Tinju

Sastra Tinju!

Mungkin bagi bukan penggemar tinju, pertarungan Chris John danCabalera barangkali tidak menerik untuk diikuti; mungkin ada yangberanggapan tinju adalah salah satu cabang olahraga primitif yangkurang beradab. Peninggalan dari sebuah penindasan dari manusia kemanusia lain, sisa dari sejarah perbudakan yang kelam para Gladiator.

Tapi, kok bisa saling pukul sampai memar dan berdarah darah, bahkanmematikan itu begitu mengasyikan? Apa bagusnya Tinju, malah semakinmengiris bila ingat bahwa belakangan banyak didapati petinju yangmerupakan tulang punggung keluarga tewas di ring. Apakah masuk akalmembiarkan kekerasan dan kematian terjadi secara langsung didepanhidung kita. Sungguh absurd, karena bagaimanapun juga tinju mestinya adalah sebuah permainan saja. Apa menariknya tinju?

Demikian pula Sepakbola, seorang teman perempuan saya dulu pernahberkata: permainan bola itu menjemukan, lucu sekaligus tak bermanfaat.Bagaimana bisa sepuluhan orang berlarian kesana-kemari, membuangtenaga dilapangan dan buang waktu, eh...lha kok malah disoraki! Belumlagi yang gibol-mbonek, jangan ditanya kasus tawuran, holiganisme atau kecelakaan supporter yang merenggut nyawa. Dia sebal mungkin karena punya pengalaman buruk dengan rerombongan supporter bola yang berduyun berangkat ke stadion. Tak hanya memacetkan jalanan malah menggoda dirinyayang kebetulan berkendara motor. Tak hanya digoda, bahkan beberapabagian tubuhnya sempat dibejek-bejek sampai bonyok rasanya. Mending klub lokal mereka menang, kalau kalah, wah, bisa-bisa lebih serem lagi.

Bagi sebagian besar wanita, beberapa olahraga lelaki itu tak masukakal, lucu, kekanak-kanakan, liar, primitif dan bahkan tak beradab.Tapi, tentu saja hobi kaum wanita itu juga seringkali tak masuk akal.Menghabiskan waktu berjam-jam dengan tak bosan duduk manis di depanTipi memperhatikan tinju antara Maia dan Ahmad Dhani. Bagaimanamungkin, perceraian bisa lebih penting dari banjir akibat pemanasanglobal, atau kritisnya Pak Suharto. Tapi, saya tak mau membahaspermasalahan komunikasi dan media masa; hanya saja perebutan remoteyang sering terjadi antara suami istri bagi saya lebih menarik untuksedikit dibahas.

Saya hanya akan mengemukakan kenapa saya sebagai lelaki menyukai bola,tinju, dan balap motor. Olahraga yang terakhir ini justru menyenangkankarena The Doctor alias paklik Rossi. Untuk urusan balap motor sayaberdua istri sering bertengkar hebat. Bukan karena tidak suka, ataurebutan remote, tetapi saya yang selalu menjagokan selain Rossi, kalautidak Stoner yah Pedrossa. Terutama bila Rossi gagal menyelesaikanlap, dia seringkali menyelonong dan tiba--tiba mematikan Tipi, setelahteriakan keras saya: Mampus lu Rossi!

Dan yang tidak menyenangkan adalah dia tidak suka tinju atau sepakbola(kecuali bila pemain bolanya cakep!); seringkali saya harus menontonsambil berdiam diri, seperti mumi, terutama setelah perebutan remotesaya menangkan. Sungguh tak nyaman menonton pertandingan tinju maupunbola tanpa teriakan, ibarat motor tanpa bensin. Bila demikian sayalebih cenderung untuk pergi keluar rumah bergaul dengan teman-teman, para tinju dan bola mania. Kalau beruntung saya tidak akan diganggu olehSMS ataupun misscall, seringnya justru harus menikmati pertandingandengan gangguan SMS dan misscall yang mengurangi ketegangan, keseruandan kenikmatan tontonan.

Yang menyebalkan, sampai saat ini saya belumberani ambil resiko mematikan HP saat berkeliaran nonton acara tipibola atau tinju yang seringkali ditayangkan lewat tengah malam. Nah,agar yang dirumah paham akan kesukaan saya pada tinju ataupun boladipahami, mau tak mau saya harus pintar-pintar cari alasan. Bila perludiada-adakan. Tentu saja agar kesukaan saya itu dipahami, dan syukur-syukur tidak diganggu lagi.Apa yang menarik dari tinju, dan bola?

Saya kira setiap permainan selalu membutuhkan perpaduan antara kecerdasan, instink, intuisi,kecepatan dan tenaga. Dan pada kedua cabang olahraga tersebut sayamendapatkan pencerahan, tak jarang inovasi, tehnik-tehnik baru.Terlepas dari kerasnya akibat body contact yang pasti terjadi, keduaolahraga tersebut membutuhkan konsentrasi, keuletan dan pemanfaatntenaga yang baik. Itu, pendapat seorang penikmat bola dan tinju danbukan pelaku, teoris ataupun praktisi olahraga tersebut. Tetapi,setiap penonton adalah kritikus. Dan terutama para manianya akan taksegan-segan berkometar pedas macam: BEGOOOO! Goblok! Rasain!Hih...kapok koen! sampai yang paling pedas.

Kebanyakan seorangpenggemar setia acara bola ataupun tinju adalah seorang kritikus,sama halnya dengan pembaca buku sastra. Lho, kenapa ke sastra? Sederhana saja, karena saya juga suka sastra, itu saja.

Apa samanya sepakbola, tinju dan sastra? Saya tidak berniat menyamakan ketiga kesukaan saya itu, tetapi bahwa olahraga tinju, sepakbola, dan sastra itu mempunyai 'batasan'. Yah 'batasan'! Bagi saya apapun itu tak bisa dikatakan berbentuk kecuali dia mempunyai batasan-batasan. Aturan main bisa disebut begitu.

Coba bayangkan pertandingan tinju tanpa aturan main, tanpa ring. Mungkin seru, tetapi belum tentu menarik dan sudah pasti tidak beradab. Itu yang harus digarisbawahi sebagai pembeda antara permainan (game) dan kekerasan fisik! Begitu juga bola, bayangkan bila tidak ada batasan lapangan, tidak ada batas waktu, dan tidak ada wasit, atau bahkan tidak ada batas gawang! apakah akan disebut sebagai permainan apalagi pertandingan (game/match) sepakbola?

Mungkin menyenangkan, tetapi tidak menarik. Bukan karena sekedar 'pengakuan' publik tetapi aturan itu membuat sebuah permainan menarik dan memberikan bentuk pada sebuah kepuasan. Bagi saya kepuasan itu bisa tercapai apabila ada jarak antara yang batasi dan yang absolut. Puas karena saya telah menyanggupi suatu batasan. Gampangnya begini saja, enak mana antara menonton sepakbola suka-suka dengan permainan tanding (game) sepakbola.

Demikian pula untuk sastra, katakanlah puisi. Sebuah pernyataan yang cukup menggelitik saya adalah sebuah pendapat bahwa 'dunia ini sendiri saja adalah juga puisi. Mungkin dari sudut pandang tertentu atau kesan tertentu, bisa saja begitu. Tetapi dalam konteks batas dan aturan main, saya kira pernyataan itu menyesatkan. saya bisa maklumi, barangkali pada saat mengungkapkannya si pembicara tersebut tidak sedang serius. Atau sekedar memberikan perbandingan dan simbol. Dan, ataupun bisa juga merupakan ungkapan yang bersifat metaforis, ataupun metonimi. Mungkin tak masalah, tetapi, barangkali yang mengganggu saya adalah jika hal yang demikian (simbolik, metaforik) dijadikan sebagai dasar sebagai alasan untuk menulis puisi secara suka-suka.

Seperti yang saya contohkan diatas, bagi saya adalah bahwa lebih mengasyikkan menonton pertandingan tinju ataupun sepakbola daripada sekedar permainan suka-suka sepak bola ataupun tinju. Tentu sekali waktu saya juga bermain bola dengan teman sebagai hiburan, dengan minim aturan atau bahkan tanpa aturan sama sekali. Tetapi konvensi minim tetap harus ada, bagaimana mungkin disebut permainan sepakbola bila dalam memainkannya tanpa bola atau setidaknya bola-bolaan? Saya artikan bahwa Dunia olahraga tinju, sepakbola dan sastra disebut demikian karena adanya BATASAN.

Saya tidak akan bisa menyatakan sastra sebagai bentuk jika sastra tidak mempunyai batasan! Tetapi jangan dilupakan, ada pula yang disebut sebagai 'grey area'. Wilayah abu-abu, atau wilayah 'kayanya'- "Kayanya ini puisi yah...!"- wilayah tak pasti. Tetapi itu tidak berarti tidak adanya batas, hanya saja konsensus batas definitif itu sepertinya sangat sulit untuk dicapai.

Dalam hal ini konvensi, atau aturan main bisa jadi sangatlah membantu; sastra tidak akan nyaman tanpa batasan, seperti halnya pertandingan bola, dan tinju tidak akan enak dinikmati tanpa aturan main. Tetapi kita akan dihadapkan pada kesulitan lain, apakah aturan main/konvensi ini dianggap sebagai kemutlakan? Bila demikian adanya maka apa yang dianggap sebagai sepakbola adalah ukuran lapangan, ukuran lingkaran tengah lapangan, ukuran gawang, hukum-hukum main lainnya dan bukan seni ber-sepakbolanya sendiri. Aturan main tidak identik dengan permainan, dan teori sastra tidak identik dengan sastra.

Akan terjadi terus pergeseran-pergeseran seiring perkembangan peradaban, dengan demikian yang mutlak adalah kemustahilan karena apapun yang dikatakan mutlak di dunia ini akan berhadapan dengan sang waktu dengan sang perubahan! Saya tidak sedang membujuk anda untuk percaya Heraclitus, tetapi sepertinya di dunia ini memang tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri.

Hal itu juga bisa diamati dari pertikaian-pertikaian para kritisi dan teorisi sastra beserta pendekatanya. Apa yang harus diemban sebuah karya tulis agar bisa dikatakan sebagai sastra yang sudah berlangsung sejak Plato vs Aristoteles. Demikian juga tinju yang mengalami pengurangan ronde; dulu saya sempat menyaksikan tinju dengan 15 ronde. Atau, dulu sempet berkembang kontoversi mengenai fair tidaknya babak tendangan penalti; dan juga ditambahkannya babak golden goal.

Aturan mengalami pergeseran karena permainan mengalami pergeseran, karena peradaban juga mengalami pergeseran. Seperti halnya dominasi pemikiran juga mengalami pergeseran dimana dominasi para 'mister' sebagai pewaris peradaban juga mulai dipertanyakan. Dan, saya terus terang dalam beberapa hal sepaham dengan Ahmadi Nejad, bahwa DK tetap PBB sebagai warisan sejarah kemenangan sekutu pada PD II tidak lagi relevan. Dan tentu saja kita dari hari ke hari juga dibuat tak nyaman dengan dominasi USA di hampir segala bidang.

Saya tidak akan membesuk permasalahan bagaimana aturan main direifikasi, dinaturalkan untuk kemudian menjadi mitologi, seperti halnya kenapa ukuran ekonomi suatu bangsa harus diukur dengan Dollar. Dalam hal ini saya juga tidak merasa nyaman bila justru aturan main itu sendiri sudah sangat tidak masuk akal dan dibuat demi keuntungan pihak tertentu.Untuk hal itu, tinju, sepakbola, balap motor, dan sastra membutuhkan ilmuwan. Ilmuwan yang mengkaji dengan adil dan berimbang, dan mendasarkan diri kepada dedikasi dan kecintaan kepada permainan tersebut.

Saya yakin bahwa aturan yang setidaknya obyektif biasanya timbul dari pemerhati dan pecinta-pecinta berat permainan tersebut. bahwa dibutuhkan dialektika antara permainan, ataupun karya dengan pecinta-pecintanya. Saya kira sebelum menjadi pecinta seseorang akan memulainya sebagai penikmat. Seorang penikmat yang baik akan belajar memahami pertandingan atau karya yang baik dalam taraf ini inilah pemahaman dang penghayatan nulai dibentuk. Untuk kemudian kecintaan akan semakin besar karena perasaan kedekatan, hal ini bisa tumbuh dari pengalaman dan penghayatan yang intens dan tak kenal lelah. Ah, jadi ingat dulu waktu memenangkan hati istri.

Dengan begitu seorang pecinta akan lebih tajam dalam menilai sebuah kelebihan dan kekurangan dari apa yang dicintainya dikarenakan pergaulannya yang intim tersebut. Hal itu tentu saja akan menimbulkan sifat kritis, tentu saja dengan harapan agar apa yang dicintainya itu berlangsung dan menghasilkan hal yang baik. Mungkin saya terkesan menyederhanakan, tetapi seperti penggemar bola fanatik seorang fanatik pembaca sastra dengan demikian akan lebih mempunyai pandangan yang lebih dalam dan detail.

Terlepas dari benar tidak benar, shahih tidak shahih, terlalu teoris, terlalu idealis atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Sebuah kritik yang mendalam adalah salah satu respon sebagai bentuk perhatian kepada sastra. Yah, hal itu, saya artikan sebagai sebuah perhatian yang intim dari para fanatik sastra kepada dunia sastra itu sendiri. Sebuah kritik yang dalam tentunya akan diperoleh karena pengalaman baca yang dalam. Dan, sebuah permainan yang menarik tentu akan menggugah kritik yang tak kalah dalam dan menariknya pula.

Lalu apakah sebuah karya sastra adalah sebuah permainan?

...bersambung



Wednesday, January 23, 2008

Momentum dan Kecerdasan dalam Berpuisi

Momentum dan Kecerdasan dalam berpuisi

Kecerdasan vs kulitas afektif, rasanya terlalu tajam, tapi biarlah, barangkali dengan begitu pembeda antara keduanya agak terlihat. Bukan dengan maksud agar keduanya nampak benar-benar berbeda, tetapi dibalik artikulasi-artikulasi yang memungkinkan keduanya muncul pada wilayah yang sama; ada hal ikhwal yang membedakan keduanya.

Tentang momentum, peristiwa, dan pengalaman hidup.

Sebelumnya, berawal dari pengertian saya tentang momentum. Pada sebagian besar pendapat yang saya anggap cukup kuat dipegang teguh oleh kaum modernis, dan eksistentialis mengesankan bahwa momen itu harus direbut, diperjuangkan, dan bahkan dibentuk. Karena sikap seperti ini, dalam pengertian saya adalah menempatkan sang 'aku' sebagai pusat dunia yang memang diagung-agungkan oleh doktrin modernisme, humanis-positivis-universalis. Tak pelak saya harus mengakui jasa besar mereka pada peradaban, tetapi juga proses modernisasi dengan sisi industrialismenya mau tak mau mewariskan dunia yang telah jauh tereksploitasi; salah satunya mewariskan bencana pemanasan global yang sudah di ujung hidung.

Saya mendapati kedekatan sikap ekploitatif dengan sikap yang diambil oleh eksistentialis Sartrian. Etre-pour-soi, ada untuk dirinya. Dan, etre-en-soi, yang ada-nya tanpa sejarah, tanpa makna. Yang baru mempunyai essensi hanya bila telah dimaknai, atau lebih jauh dieksploitasi dan dimomenkanoleh sang Aku. Dan, aktifitas yang menonjol dari sikap ini adalah aktifitas menidak atau sepenuhnya kebebasan memilih sang Aku. Karena sepenuhnya bebas memilih maka tanggung jawab adalah seluruhnya ditangannya sendiri, ‘aku’ adalah subyektif individualis sang penguasa makna murni.

Kesamaan eksistentialisme Sartre dan Heidegger terletak kepada kebebasan.Tetapi, bedanya dengan Heidegger, yang menolak disebut sebagai eksistentialis, adalah anggapannya bahwa kebebasan itu selalu diikat oleh situasi. Pendapat yang berasal dari Fichte yang mengasalkan bahwa kebebasan tidak datang dari sesuatu yang tidak ada tetapi karena situasi tertentu. Heidegger juga membedakan antara ‘ada’ dalam das sein (realita) dan das sollen ( seharusnya benar-benar ada dalam realita).

Dengan pengertian dan kerangka eksistentialisme Heidegger dan Fichte inilah yang mendasari arti ‘momen’ bagi saya; bahwa situasi itu adalah salah satu pendorong potensial bagi sebuah momen, yang kemudian direbut oleh penyair dengan kemampuan individunya. Saya kira hampir semua penyair adalah produk ‘situasi’ dari dorongan atas pencerapannya atas situasi; karenanya, ungkapan penyair tak terpengaruh momen-momen lain dan justru sepenuhnya mampu membuat momen bagi dirinya sendiri, bagi saya, terdengar hampir tidak mungkin.

Keberadaan sebuah karya sastra tidak datang begitu saja, tetapi karena adanya situasi atau katakanlah momen-momen tertentu sebelum atau yang sedang terjadi. Saya berkeyakinan bahwa justru penyair yang baik sebagian besar menghasilkan karyanya dari kepadatan pengalaman yang sublim karenanya sanggup mengakrabinya dengan intens. Seperti Abdul Hadi yang kuat dengan sajak-sajak tentang lautnya, atau Acep dengan pergaulan intensnya dengan pedusunan, atau pula Sapardi yang mempesona saya dengan sajak-sajak cerita masa kecilnya. Belum lagi penyair-penyair besar yang hidupya dipenuhi dengan pengalaman yang menegangkan, menyesakkan, kesengsaraan, perjuangan hidup bahkan ancaman kematian seperti: Chairil Anwar, Byron, Rimbaud, ataupun Lorca. Penyair yang dibentuk dan akrab dengan momentum, peristiwa, dan pengalaman hidupnya.


Tentang kecerdasan

Bahwa dalam pengertian banyak pihak seringkali mengartikan kecerdasan sebagai kognitif semata, dan tentu saja bagi saya hal itu adalah kurang mendasar. Mengingat khalayak umum dan sumber bacaan saya, yang kebetulan semasa kuliah dulu pernah mendapat materi tentang psikologi pendidikan yang membahas masalah kecerdasan ini, kebanyakan menyebut kecerdasan adalah sebagai ‘intelegensi’/intelegence.

Jadi, sebaiknya tidak hanya mendasarkan pengertian kecerdasan kepada faktor spekulatif atau filsafati bahasa ataupun dalam kerangka pengertian ‘differance’ a la Derrida. Yang dengan begitu akan cenderung berpotensi untuk berkutat pada debat bahasa, generalisasi kecerdasan, atau menariknya kesana kemari dan untuk kemudian menjadikannya kembali sangat relatif. Dalam pandangan saya, dalam hal ini, sepertinya masih banyak yang mencampuradukkan antara kecerdasan/intelegensi dengan sekedar kognisi/cognition, bakat ataupun kualitas afektif .

Sepengetahuan saya, ada beberapa konsepsi tentang intelegensi ini yang beberapa diantaranya adalah, konsepsi spekulatif filsafati, konsepsi pragmatis, konsepsi faktor, konsepsi operasional, dan konsepsi fungsional.

Dari sekian konsepsi itu, untuk singkatnya, kecerdasan alias intelegensi itu menurut konsepsi operasional hanya bisa dihasilkan, dan didefinisikan oleh test. Sementara Stern maupun Langeveld menitikberatkan kecerdasan lebih kepada faktor fungsionalnya. Langeveld mendifinisikan intelegensi sebagai disposisi untuk bertindak, untuk menentukan tujuan-tujuan baru, membuat alat untuk mencapai tujuan, dan mempergunakannya.

Dengan demikian bahwa unsur fikir dan penalaran -‘otak’- yang lebih menguat dalam hal kecerdasan ini. Hal ini bisa dilihat bahwa didalam kecerdasan, unsur ‘tujuan’ alias ‘kesengajaan’ merupakan faktor fundamental! Bandingkan dengan kebanyakan penyair yang menunggu inspirasi dan mood, yang dengan demikian untuk proses pembuatan sebuah karya cenderung ‘katanya’ meskipun terpengaruh oleh inspirasi dari sekitarnya juga terkadang masih harus menunggu mood, ekspresif emotion, spontanitas, bahkan ada yang bilang harus sampai trance ataupun kerasukan.

Kecerdasan di sisi lain cenderung diwarnai oleh aktifitas kognisi ataupun intelektualisme; penalaran. Memang dalam intelegensi, merujuk pada Guilford, bila ditinjau dari isi, faktor-faktor intelegensi juga menyangkut kemampuan figural, symbolic, dan semantic. Akan tetapi segala pemanfaatan faktor isi alias kemampuan verbal, dan ataupun word fluency itu bertujuan akhir untuk difokuskan lebih kepada penalaran atau reasoning yang mendasari kecakapan berpikir.

Kognisi/cognition adalah knowing atau awarenes termasuk sensation tapi diluar emotion yang membentuk kecerdasan/intelegence. Menjadi suatu pertanyaan menarik, mengingat perkembangan dunia sastra dan seni, apakah dalam penikmatanya sebuah puisi itu lebih dinalar atau dirasa; masuk akal-tidak masuk akal atau bagus-jelek.

Ada bedanya, meski dengan kendara yang sama yaitu sarana puitik antara filsuf atau ahli hukum yang ‘nyair’ dengan penyair yang berfilosofi. Meski produknya sama-sama bercorak puitis tetap ada beda tujuan dan pemanfaatan. Salah satu contoh konkrit adalah pada bahasa hukum pada abad pertengahan yang berupa sajak, perjanjian ilmiah dalam bahasa sanskrit juga bersajak dalam tradisi India. Bahkan, Al Qur’an (Yaasiin: 69) menolak dengan tegas disebut sebagai syair meski unsur paronomasia, prosodi, dan metriknya juga luar biasa. Bisa saja teks-teks tersebut berstruktur puitik dan bermetrik akan tetapi tidak berarti fungsi puitik mempunyai peran yang menentukan dan mutlak didalamnya seperti yang berlaku dalam puisi.

Sementara, dalam hal kepenyairan, dan ataupun kesenimanan, sementara ini saya akan sependapat dengan Max Weber yang membagi tingkah laku manusia menjadi empat: Afektif handlung, traditional handlung, wertrational handlung, zwecktrational handlung.

Tingkah laku afektif lebih menonjolkan perasaan daripada intelegensi. Pada wilayah inilah seni dan sastra pada umumnya beroperasi. Karenanya, kemampuan afektif tidak dapat diukur secara tes IQ atau tes intelegensi/kecerdasan. Budi Darma juga menempatkan aktifitas bersastra dan berkesenian ini dalam kutub tingkah laku manusia sebagai Homo Ludens dan bukan Homo Sapien. Tetapi, tentu saja ‘minimum IQ’ masih dibutuhkan untuk aktifitas berbahasa ataupun peran manusia sebagai Homo Symbolicum.

Pada dasarnya sastra dan seni adalah lebih kepada olah rasa daripada olah kecerdasan. Tetapi, tetap saja perlu diperhatikan bahwa dalam berkesenian ada berbagai aliran, termasuk realisme sosialis, yang dalam salah satu aspeknya adalah kecerdasan dengan sumbu rasionalisme dan ataupun empirisme yang mendapat perhatian dan penekanan. Dalam hal ini saya menduga bahwa penggunaan puisi sebagai gaya pengungkapannya hanya berkecenderungan untuk aspek kekuatan potensial retorika yang terkandung dalam puisi, seperti yg ditujukkan oleh puisi-puisi 'khotbah', puisi 'pikir' pun puisi propaganda, yang pernah diusung oleh Thukul, Rendra dan ataupun Afrizal Malna. Dimana puisi secara optimal dimanfaatkan untuk lebih menekan dan mempengaruhi pathos, dengan kata lain puisi adalah usaha emotional appeals.

Diluar itu, sepertinya dunia puisi, sastra atau produk emotif pada umumnya berhubungan secara tidak signifikan dengan kecerdasan ataupun kualitas intelegensi. Kecuali, barangkali emotional, spiritual quality, dan pengaruh dunia bawah sadar; dunia mimpi seperti yang ditunjukkan oleh karya-karya pelukis Salvador Dalli dengan surealismenya.

Sementara itu, ditinjau dari nadanya tentang kecerdasan barangkali akan lebih sesuai bila diasumsikan dengan pengertian bakat (aptitude) daripada sekedar kecerdasan, atau daripada hanya aspek kognisi. Yang mana, menurut Guilford memang kemampuan kognisi/cognition merupakan salah satu faktor dari kecerdasan/intelegensi; tetapi, memang ada bedanya antara kognisi, kecerdasan dan bakat.

Sepertinya memang perlu membedakan antara hanya aspek kognisi/cognition, kecerdasan/intelegensi, dan bakat/aptitude. Bakat/aptitude, menurut W.B. Michael dalam Encyclopedia of Educational Research (1960.Hal.59), adalah bisa ditinjau sebagai kemampuan individu untuk melakukan suatu tugas, yang mana, seseorang itu sedikit sekali mendapatkan pelatihan atau bahkan tanpa latihan mengenai tugas itu sebelumnya. Sepertinya nada ekspresif dan spontanitas lebih mengemuka dalam hal ini. Aspek yang seringkali didengungkan bahkan dimitoskan oleh seniman atau penyair

Kecerdasan bisa dihasilkan melalui pelatihan yang bertujuan, seperti yang kita temui melalui workshop-workshop ataupun buku-buku how to, dan hasil akhirnya bisa jadi dapat ditest dengan instrumen yang telah dipersiapkan untuk mengukur adanya peningkatan kecerdasan tersebut.

Kecerdasan penalaran afektif bisa saja sengaja dilatih dengan metode pembentukan olah rasa melalui olah fikir; second experience (baca: teori) bisa saja memancing bahkan mengukur dan menentukan cerdas tidaknya penalaran terhadap produk-produk afektif. Tetapi, kualitas dan respon atas aspek afektif ini melulu subyektif dan karenanya tidak dapat diukur sebagai cerdas atau tidak, kecuali kualitas artistik yang berhubungan dengan indah-tidak indah, bagus-tidak bagus, pada akhirnya suka-tidak suka! Dan, dalam kerangka ekspresif, sastra dan seni adalah di dominasi oleh pengalaman, bakat dan intuisi.

Menegaskan hal ini, dalam pemanfaatannya menurut TS Elliot bahwa dunia puisi dalam penikmatannya adalah lebih mengutamakan penghayatan baru kemudian pemahaman. Dengan begitu, lebih kepada keutamaan afektif daripada kognitif.

Memang, pada akhirnya belakangan ini kebanyakan hanya hasil akhir yang menentukan sebuah karya, bukan proses. Tetapi, menurut saya seorang penulis atau penyair berbakat ‘biasanya’ mempunyai orisinilitas (bedakan dengan otentisitas) lebih daripada penulis atau penyair sekedar bentukan. Atau dalam istilah exaggerate saya: orang berbakat lebih cerdas daripada orang cerdas dalam situasi yang sama.

Barangkali saya memang terlalu ortodoks, konservatif pun apriori dengan mengesampingkan pelatihan kecerdasan dalam proses peningkatan kualitas afektif dan menggolongkannya sebagai langkah buatan, instan, dan terlalu teknis. Bukan berarti kecerdasan tidak penting. Kecerdasan dalam pemanfaatan alat-alat bahasa, keketatan bahasa, dan gaya ungkap dalam kadar tertentu merupakan alat yang vital. Tetapi, bila basis kemampuan afektif hanya bersumbu pada kecerdasan dan bertumpu melulu pada kemampuan teknis-teoritis; lalu apa bedanya metode berkarya sastra dengan dunia ilmiah yang cenderung baku dan kaku. Yang pada akhirnya juga, hanya diserap dan dinikmati oleh kaum akademisi. Mungkin nantinya akan sulit kita temui anomali anak alam yang kaya endapan pengalaman seperti Wiji Tukul, Walt Whitman, ataupun Kartolo. Namun, sebaliknya, faktor kecerdasan justru memang sebaiknya lebih dimiliki oleh seorang kritikus atau teoris sastra dalam menjembatani struktur dalam diri sebuah karya sastra dengan konteks-konteks diluar dirinya. Tentu saja karena posisi kemajuan sastra juga berjalan beriringan dengan kritik maupun teori sastra.

*Bn

Wednesday, December 19, 2007

Iron Maiden-Metalik epik, dan absurdism Camus?

Iron Maiden-Metalik epik, dan absurdism Camus?

Pada awal perkenalan saya dengan dunia sastra tak dapat dipungkiri
bahwa selain lirik-lirik U2, lirik-lirik Iron Maiden juga merupakan
sarana bagi saya untuk mengenal sastra jenis epik yang diusung oleh
Iron Maiden.

Group band legendaris asal Britania Raya yang menginspirasi beberapa
group rock Eropa maupun Amrik dengan style epiknya, sebut saja:
Helloween, Manowar, Yngwie Malmsteen dan dalam skala tertentu
musikalitas Megadeth-seteru Metallica itu.

Narasi yang terkandung dalam lirik-lirik Iron Maiden berkisar tentang
heroism, musik yang jantan begitu image yang ingin ditonjolkan. Meski
tak 'segelap' Black Sabbath periode Roni James Dio, Alice Cooper,
maupun The Cure dengan hantu-hantuannya, Iron Maiden juga terpengaruh
dengan citra monster, tengkorak,Kekejian dan sadisme :
to kill the unborn in the womb ( two minutes to midnight),
dan beberapa judul-judul lain: The Number of the Beast, Wratchild,
Run to the hills, Helowed be thy name, Power Slave, The Trooper Fear
of the dark, Bring Your Daughter to slaughter!

Kesan jantan dan keberanian memang menjadi core utama musik dan
lirik Iron Maiden dan mengilhami beberapa Group Rock lainnya. Hingga
yang Mutakhir: Dream Theatre, Blind Guardian dan ataupun speed neo
klasikal metal eropa seperti Stratovarius dan Rhapsody yang
menggabungkan unsur epik dengan musik metal yang megah dengan
musik klasik, jadinya terdengar seperti "Pastoral ataupun Lamento
Eroica"

Musik Rock 1980-an yang terkungkung oleh perang dingin itu seakan
menjadi sebuah propaganda akan persiapan Amerika maupun Eropa Barat;
karenanya menurut saya masa itu musik-musik kencang padat dengan
menggali epik-epik heroik berkumandang berbarengan dengan ancaman
perang Nuklir yang siap menjadikan manusia sebagai hantu-hantu atau
tengkorak-tengkorak berjalan.

Namun sejauh itu apakah Epik pada lirik-lirik Group metal ini
sejenis dengan epik sastrawi? Macam Odysey, Mahabarata, ataupun
Illiad? Jawabannya bagi saya relatif. Bahwa semangat Epik yang
mendasari Group Metal itu memang bertujuan untuk menarik masa anak
muda itu sepertinya menjadi hal yang jelas.

Tetapi pada suatu kesempatan sebelum membawakan lagu Aces high yang
pada satu konsernya di Amerika-Long Beach arena (?) dibuka dengan
salah satu pidato legendaris, dan ekspresif Winston Churchil:

"We shall go on to the end...we shall fight with growing confindence
and growing strenght in the air...we shall never surender!"

Hal yang membangkitkan semangat positif yang mungkin kurang populer
pada lirik-lirik musik metal sesudah er Maiden ini yang cenderung
murung dan lebih didominasi oleh protes-protes : Metalica, Megadeth,
Rage against the Machine hingga Sepultura. Bahkan semakin melow, dan
sedih pada musik Rock alternatif ataupun Emo 1990'an-pada Era
Nirvana, Cold Play, dan Radio Head- yang katanya cengeng itu.

Iron Maiden tak hanya menampilkan lirik yang kuat dan heroik, tetapi
siapa yang bisa menyangkal cabikan berenergi Basis Steve HAris,
ataupun Vokal Bruce Dickinson? Meski pada akhirnya kini mereka
semakin ompong dan kata sebagian anak muda sebagai 'Jadul' namun
ada energi dan tak jaraang heroik pada nuansa musik mereka: Rock
will never die ( sangatlah romantik dan ideologis)

Meski barangkali tak begitu berhubungan namun lirik berikut sangat
mebantu saya untuk mebayangkan membayangkan dengan lebih intens
bagaimana seoarang 'Mersault' tokoh utama pada novelnya "The
Stranger" bagaimana nuansa absurdisme pada seseorang yang akan
menjalani suatu hukuman tanpa bisa mengerti kenapa takdir bisa
menimpanya. Meski tak takut mati dan berani mengahadapi kematian tak
urunng tokoh tersebut masih mepertanyakan absurditas suratan
takdirnya. Berikut penggalan yang nuansa absurdnya sangat terasa:

"As the guards march me out to the courtyard
Someone calls from a cell "God be with you"
If there's a God then why has he let me die?"


IRON MAIDEN
HALLOWED BY THY NAME Lyric


I'm waiting in my cold cell when the bell begins to chime
Reflecting on my past life and it doesn't have much time
Cos at 5 o'clock they take me to the Gallows Pole
The sands of time for me are running low

When the priest comes to read me the last rites
I take a look through the bars at the last sights
Of a world that has gone very wrong for me

Can it be there's some sort of error
Hard to stop the surmounting terror
Is it really the end not some crazy dream

Somebody please tell me that I'm dreaming
It's not so easy to stop from screaming
But words escape me when I try to speak

Tears they flow but why am I crying
After all I am not afraid of dying
Don't believe that there is never an end

As the guards march me out to the courtyard
Someone calls from a cell "God be with you"
If there's a God then why has he let me die?
As I walk all my life drifts before me

And though the end is near I'm not sorry
Catch my soul cos it's willing to fly away
Mark my words please believe my soul lives on
Please don't worry now that I have gone
I've gone beyond to see the truth

When you know that your time is close at hand
maybe then you'll begin to understand
Life down there is just a strange illusion.

==

Rock is on the gallows pole
Bono

*Waiting for saviour, and so send the massage in the bottle

*Waiting for saviour, and so send the massage in the bottle

Message in a Bottle
From the album Reggatta de Blanc (A&M)
Words and music by Sting

Just a castaway
An island lost at sea
Another lonely day
With no one here but me
More loneliness
Than any man could bear
Rescue me before I fall into despair

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

A year has passed since I wrote my note
But I should have known this right from the start
Only hope can keep me together
Love can mend your life
But love can break your heart

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

Walked out this morning
Don't believe what I saw
A hundred billion bottles
Washed up on the shore
Seems I'm not alone at being alone
A hundred billion castaways
Looking for a home

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

-oOo-

Alienasi, Kesendirian, dan Kematian Komunikasi?

Lyric diatas bila boleh saya perbandingkan dengan karya analitik
Samuel Beckett seperti Waiting for Godot, ataupun Pingpong kan bisa
didapati kesejajaran thema, alienasi, kesendirian umat manusia, dan
kematian komunikasi. Pada Waiting for Godot berujung pada penantian
tanpa ujung sedangkan pada Message In the Bottle berujung pada
kematian komunikasi-karena komunikasi tidak memberikan apapun selain
hal yang sama alienasi(keterasingan), dan kesendirian.

Alienasi:

Manusia terasing dipanggung yang entah berantah, dimana Vladimir dan
Estragon menghabiskan waktunya untuk menunggu entah apa yang
ditunggu namun mereka sepakat untuk menyebutnya `Godot', seseorang
atau sesuatu yang mengikat mereka untuk menunggu sampai akhir. Tentu
tanpa Godot barangkali mereka sudahl bunuh diri, teralienasi,
penyakit modernism.

Pada syair The Police diatas :

Just a castaway
An island lost at sea
Another lonely day
With no one here but me
More loneliness
Than any man could bear
Rescue me before I fall into despair

Dia hanya seorang yang terdampar yang diambang
keputusasaan `despair' a castaway tanpa sejarah hanya terdampar
saja; hari-hari penuh kesepian. Isu yang menyerang manusia modern
sejak Nietzche mematikan Tuhan, sejak Tuhan bisu tuli kata Camus dan
sejak manusia mengada bagi dirinya sendiri kata Sartre, etre pour soi.

Berbeda dengan para positivis, yang cenderung ekploitatif, Camus dan
Beckett cenderung muram pesimistis, dan hal ini dilukiskan dengan
gamblang oleh Sting. A castaway nearly fall into despair. Karena
menyadari bahwa di dunia ini sendirian, tanpa Bapak, tanpa sejarah?

Kesendirian:

Vladimir dan Estragon memang tidak sendirian seperti a castaway
dalam syair tersebut diatas meski mereka juga bertemu dengan sang
bocah pembawa pesan dari Godot, bertemu Pozzo dan Lucky yang
menggambarkan mangsa dan pemangsa, eksploitasi satu terhadap yang
lain. Sepertinya nyinyir kepada kaum modernis-positivis yang
cenderung eksploitatif. Kembali mereka menyadari bahwa setelah tokoh-
tokoh tersebut berlalu maka kembali mereka meringkuk dalam
kesendirian, dalam penantian tak berujung, dalam ketidakpastian.
Meski dalam situasi komedis tak urung berakhir tragis.

Situasi tragis itu harus mereka hadapi seperti tahun-tahun yang
hilang, seperti Vladimir dan Estragon yang terserang lupa, seperti
Milan Kundera yang terus berjuang melawan lupa. Dan hanya harapan
yang membuat mereka bertahan. Dan kebersamaan tentunya akan berujung
kepada kesendirian-dan cinta seperti cinta pisau dua mata,
menyatukan atau memtahkan hatimu.


Only hope can keep me together
Love can mend your life
But love can break your heart



Seperti halnya Sting yang berharap agar pesan dalam botolnya
ditemukan seseorang yang kemudian diharapkan untuk memberikan
pertolongan, ironisnya dia mendapatkan jutaan pesan yang sama hal
yang sekaligus mengelikan, komedi tragis. Jutaan kemungkinan
kebersamaan tidak merubah apapun karena manusia akan berakhir
sendiri.

Walked out this morning
Don't believe what I saw
A hundred billion bottles
Washed up on the shore
Seems I'm not alone at being alone
A hundred billion castaways
Looking for a home

Kematian Komunikasi :

Yang menarik adalah reffrain yang dipilih oleh Sting seakan
merupakan penegasan usahanya melakukan komunikasi dengan dunia-
sebuah tindakan untuk berkomunikasi, meski komunikasi tidak
menghasilkan apapun untuk menolong situasinya, kembali reffrain
diulang pada bagian akhir. Bahwa meski komunikasi itu sudah mati
karena hanya berbuah kegagalan dan kesendirian lagi-namun usaha
komunikasi itulah yang penting.

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

Pada Wairing for Godot, hal serupa juga seakan merupakan isu utama
bahwa adegan slapstick, lucu, dan bagaimana Vladimir dan Estragon
secara konsisten ber-Ping-Pong kata-kata adalah sebuah usaha mereka
untuk sebuah komunikasi, tentu kita/penonton dan mereka akan
terhibur dengan tingkah laku mereka, permainan hidup-datang dan
perginya jutaan orang-orang lain- dalam memori kita dengan segala
usaha komunikasi bisa saja melenakan kita dalam lupa bahwa manusia
selalu akan berakhir senidiri, permukaan solider namun soliter dan
teransing. Komunikasi menemukan kematiannya karena tidak
menghasilkan pun memecahkan masalah tersebut, namun usaha untuk
berkomunikasi sebagaimana bertukar kata ataupun bertukar pesan dalam
botol, tetaplah menggelikan meski kenyataannya harus ironis-berakhir
pada sepi. Untuk melewati penantian yang tak pasti dan seakan tak
berujung, dan waktu menyerupai pusaran yang semakin kebawah semakin
mengerucut dan mengurangi kualitas maupun kuatitas kita sebagai
manusia toh tindakan berkomunikasi cukuplah menghibur meski tak
memberikan jawaban.

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

*Feb,06 Pada sebuah pulau terpencil
Bn

Novel Nagabonar: Yang dikatakan

Novel Nagabonar (Akmal Nasery Basral): Yang dikatakan


Sebagai sebuah film, Nagabonar Jadi 2 boleh dikatakan
sukses dan berani melawan arus yang sedang didominasi oleh film-film
dengan tema horor ataupun cinta remaja. Mengedepankan tema kebangsaan,
film ini menyodorkan ungkapan-ungkapan yang segar tentang hilangnya
penghargaan diri sebagai manusia Indonesia. Dalam bungkus komedi film
ini cukup mampu membawa nilai-nilai kritis atas kondisi kekinian
Indonesia.

Meski terasa romantis, ada wawasan kebangsaan yang coba
dikomunikasikan oleh film ini. Film ini seperti oasis ditengah
glamour budaya massa yang dipenuhi perayaan selebritas, hiburan,
dimana ujung-ujungnya kebanyakan hanya berorientasi ekonomis semata.
Barangkali, film Nagabonar Jadi 2 adalah salah satu contoh yang
menarik mengingat kemampuannya dalam menegosiasikan idealisme dengan
selera pasar; meskipun di beberapa daerah di luar Jakarta film ini
boleh dikatakan tidak begitu berhasil.

Novel Nagabonar Jadi 2 diluncurkan menyusul sukses versi filmnya.
Meski dengan resiko yang cukup besar mengingat kekuatan karakter
Nagabonar dalam banyak hal masih dipengaruhi oleh idiom-idiom akting
yang dimainkan oleh Dedy Miswar. Tetapi, sebenarnya karakterisasi
Nagabonar dalam film sangat memungkinkan untuk diambil alih,
direkonstruksi ataupun bahkan didekonstruksi oleh Akmal. Dengan
begitu dalam pe-novelannya, penggambaran tokoh Nagabonar versi Akmal
(authorial meaning) tidak perlu harus sejalan dengan tafsiran yang
bisa dipetik oleh para pembaca-penonton dari karakter Nagabonar
versi Dedy Mizwar sebagai sumber textual meaning.

Bukan berarti kedua versi karakterisasi tersebut tidak bisa
diperbandingkan. Tetapi, terlepas dari lebih berhasil atau lebih
gagalnya; hal itu merupakan otonomi dari seorang novelis untuk
mengungkapkan tafsirnya sendiri atas tokoh Nagabonar. Dan pada
kenyataannya, dalam versi novelnya karakterisasi Nagabonar memang
terasa berbeda. Selain dipengaruhi oleh perbedaan sudut pandang
penokohan, juga intervensi pembacaan dan penafsiran Akmal terhadap
tokoh Nagabonar itu sendiri.

Karakter Nagabonar sempat diragukan rasionalitas sosiologisnya
sebagai seorang Batak Toba, salah satunya adalah pemakaian ungkapan
`Bujang' yang dianggap kurang realistis. Tapi sepertinya Nagabonar
lebih bijak daripada film Maaf Saya Menghamili Istri Anda, karena
secara eksplisit memakai nama salah satu marga Batak. Dalam kasus
terakhir semestinya dipertimbangkan penamaan yang tidak terlalu
refferensial. Dalam situasi masyarakat kita yang sensitif perlu
pertimbangkan matang menyangkut kontekstualitas dan refferensial
meski secara umum perlu dipahami bahwa hubungan antara karya sastra
dan masyarakat dan kebudayaan sebaiknya dipahami sebagai hubungan
yang lebih simbolik. Selain itu, realitas di dalam sebuah karya
sastra sebaiknya pula dipahami sebagai realitas dalam kerangka
fiksionalitas. Tetapi, dalam hal ini sebaiknya saya tidak terlalu
jauh berpolemik dengan fakta, nonfiksi, fiksi, fiktif, fiksional
ataupun fiktivitas dan sejenisnya.

Pada sebuah pengantar untuk kumpulan cerpen Akmal: Ada Seseorang di
Kepalaku, Budi Dharma sempat menyinggung tentang Jarak estetik
(esthetic distance), yang cenderung untuk lebih mengungkap situasi
yang ada di balik situasi dan kondisi tertentu daripada mengungkap
situasi dan kondisi tertentu sebagai situasi dan kondisi itu sendiri.
Dalam beberapa hal, meskipun berusaha untuk merekonstruksi tokoh
Nagabonar, Novel ini justru berkecenderungan untuk menungkap sisi
Nagabonar sebagai adanya, dan lebih memilih untuk tidak menggunakan
jarak estetis.

Nagabonar versi novel cenderung untuk mengungkap situasi dan kondisi
yang dia alami, dan menanggapi situasi dan kondisi lebih kepada
rangkaian peristiwa daripada makna di balik peristiwa. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa Akmal yang dikatakan
mempunyai mata kronologis yang penuh kejelian, menghadapi tokoh
Nagabonar dari perspektif lain. Yang, sedikit banyak juga membuat
Nagabonar terasa menjadi lebih jeli, deskriptif, dan kuat dalam hal
reportase.

Pada versi film Nagabonar terkesan cerdik, tetapi dalam novel justru
kesan cerdas lebih mengemuka. Contohnya adalah pemakaian istilah
`split' untuk menggambarkan suatu gerakan dalam sepakbola. Atau, bisa
pula dilihat pada halaman 138, dimana Nagabonar menyusun asumsi-
asumsi sistematis dalam lima-enam nomor. Interior monolog yang
dibangun oleh Akmal terasa agak kontras dengan ungkapan lugu, khas,
cerdik dan lucu seperti: "Apa kata dunia!", atau contoh berikut: "
Kalau tanya Bonaga, jawabannya berputar-putar. Tak jelas mana kepala
mana ekor. Seperti mencari ketiak ular saja. Makanya aku tanya kau."

Ujaran-ujaran tersebut justru lebih kuat dalam menyokong
karakterisasi Nagabonar sebagai `Jenderal' informal yang cerdik,
kurang berpendidikan, sekaligus humoris. Sementara, kecerdasan
interior monolog dalam novel ini berpengaruh pada kekuatan dan
kredibilitas karakter Nagabonar mengingat keutuhan karakter secara
tradisional ditentukan oleh konsistensi dan keabsahan kualitas
dimensi fisiologis, psikologis dan sosiologisnya.

Merujuk Ignas Kleden, ada beberapa kemungkinan dalam sebuah novel
atau cerpen, menilik siapa dan apa yang sebenarnya bercerita di
dalamnya. Seorang pengarang sendiri yang berkata-kata langsung kepada
pembacanya. Yang perlu diingat adalah, hal ini harus dibedakan dengan
penyudut pandangan orang pertama. Pengarang dalam sudut pandangan
manapun, bisa dikatakan bercerita sendiri dalam teksnya apabila teks
lebih merupakan inskripsi (the writing down) dan lebih menyerupai
notulen ucapan pembicara kepada pendenranya. Konsekuensinya, teks
belum bisa berdiri sendiri tanpa rujukan dari pengarangnya. Dalam hal
ini menurut Ignas Kleden, hubungan pembicara-pendengar belum bisa
diubah secara berhasil menjadi hubungan antara teks dan pembacanya.

Bisa jadi dalam sebuah novel atau cerpen justru cerita itu sendiri
yang banyak bercerita dengan kekuatannya sendiri tanpa bantuan dari
pengarang. Naratif cerita bisa langsung berhubungan dengan pembaca
karena lebih menekankan pada apa yang terjadi dalam sebuah novel
tanpa banyak intervensi ataupun rujukan dari pengarang. Atau, justru
suasana yang lebih banyak bercerita yang mana lebih memungkinkan
kepada pembaca untuk menghayati bagaimana sesuatu terjadi. Dan, apa
yang terjadi lebih dilukiskan sebagai bayangan yang tersirat.

Bagi saya, salah satu indikasi intervensi dan keterlibatan seorang
pengarang bisa dilihat dari dimensi khusus hubungan yang ingin
diciptakan oleh seorang pembicara melalui jenis tindak ujaran. J.L
Austin membedakannya sebagai: tindak lokusioner (locutionary act),
tindak ilokusioner (illocutionary act), dan tindak perlokusioner
(perlocutionary act). Inskripsi (writing down) biasanya
mengindikasikan tindak lukosioner yang kuat, dimana bahasa lebih
tampil sebagai gagasan-gagasan konseptual yang deskriptif, definitif.

Hemat saya, pada novel Nagabonar, tindak ujaran lokusioner (saying
something) lebih sering ditemui daripada tindak performatif-
ilokusioner (doing something in saying) ataupun perlokusioner (
yielding effect by saying). Barangkali salah satu contohnya adalah
bahwa Akmal lebih suka menyebut `split' daripada menggambarkan suatu
gerakan dalam sepakbola. Atau monolog yang terkesan cerdas berikut
ini:

`Bung Karno dan Bung Hatta, dua pribadi yang sangat berbeda. Tapi
mereka menggunakan semua perbedaan itu untuk saling melengkapi,
menggenapi, dan mendatangkan manfaat bagi bangsa ini. Bukan untuk
saling berkonfrontasi, saling menjatuhkan, seperti kebiasaan
politisi.'

Barangkali monolog tersebut akan lebih tertolong bila lebih
menggunakan pola pemikiran yang lebih sederhana, dan cerdik daripada
pemikiran yang terkesan konseptual dengan pengistilahan yang canggih.
Dengan begitu pembaca akan seringkali lebih berhadapan dengan
pengarang yang medistorsi kekuatan film Nagabonar menjadi lebih
literal. Konsekuensinya, konsistensi dan kekuatan karakter Nagabonar
versi film kurang begitu hidup dalam novelnya.

Terlepas dari hal tersebut adalah hal yang kurang arif bila menafikan
kenyataan bahwa versi novel Nagabonar Jadi 2 boleh dikatakan sukses
dengan indikasi bahwa novel ini diklaim setidaknya telah mencapai
cetakan ke tiga dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan saja. Sangat
masuk akal menyusul sukses versi filmnya yang bertahan beberapa
minggu di bioskop-bioskop ibukota. Hal ini tidak bisa dianggap sepele
dan merupakan suatu petanda bahwa Nagabonar meninggalkan pengaruh
kepada audiensnya.

Dalam hal ini perlu mempertimbangkan paradigma pembaca/pemirsa aktif,
bahwa pemirsa/pembaca harus dipahami sebagai penghasil makna yang
aktif dan pintar. Dengan begitu pemirsa/pembaca dianggap bukan
sebagai sekedar obyek dan pelengkap kultural semata tetapi juga
subyek dan pencipta makna yang aktif dari konteks kultural mereka
sendiri. Sejalan dengan itu, M.H. Abrams menyebutnya sebagai
pendekatan pragmatis, yaitu karakteristik pendekatan analisis sastra
yang memandang penting hubungan antara teks sastra dengan pembacanya.

Tentu saja akan ditemui tingkatan dan wawasan dari para pembaca
berkaitan dengan latar belakang pendidikan, psikologis, ekonomi,
sosial, kultural yang mempengaruhi sikap dan pembacaan mereka. Tetapi
dalam prosesnya, para pembaca berkecenderungan untuk mengidentifikasi
atau bahkan mengkontradiksi dirinya dengan tokoh-tokoh tertentu.
Lebih jauh menurut Ang, fiksi adalah suatu cara menikmati pengalaman
kekinian yang bergerak bolak-balik antara keterlibatan dan mengambil
jarak; penerimaan dan protes (Barker, 2000:359). Biasanya, dalam
proses identifikasi atau kontradiksi tersebut harapan pembaca adalah
mendapatkan kejutan-kejutan dari peilaku dan ucapan-ucapan tokoh-
tokohnya. Tak pelak karena unusr suspense-surprise adalah hal
mendasar bagi sebuah novel, dengan begitu terjadi tegangan antara
harapan pembaca dengan teks yang dibacanya yang lalu menimbulkan
penerimaan atau bahkan penolakan.

Tokoh Nagabonar sendiri cukup menjanjikan hal tersebut, apalagi
dengan suasana rekreatif dan angin komedis yang dibawanya. Hal ini
membuat karakter Nagabonar sendiri menjadi begitu kuat dan khas. Dan
karena bentuknya yang fiktif membuatnya lebih bergerak bebas
mempermainkan kesadaran, konvensi dan kultur. Hal ini bisa jadi
membuat pembaca tertawa akibat refleksi yang diproyeksikan oleh tokoh
Nagabonar yang menjadi sarana pelepasan inhibisi para pembacanya.

Bisa jadi pembaca terhibur oleh kecerdikan seorang pencopet pasar
yang dalam sekejap menjadi seorang jenderal karena dijatah oleh
kawannya, sementara Bujang protes mendapat pangkat sersan. Status
kepangkatan Nagabonar sendiri potensial menimbulkan ketegangan,
penerimaan-penolakan, apalagi Nagabonar sendiri hanyalah seorang
tukang copet pasar. Lalu apalah arti sebuah pangkat Jenderal, bila
secara informal, metal kebangsaan, dan kearifannya sang Nagabonar
memiliki kualitas `Jenderal'. Barangkali, ada juga pembaca/penonton
yang mengidentifikasi diri sebagai Tora'Bonaga'Sudiro, atau
Wulan'Monita'Guritno dengan hubungan romantis komedis mereka. Selain
konflik Nagabonar-Bonaga, konflik Bonaga-Monita juga ikut mengikat
tokoh-tokoh kunci ke dalam suatu permainan suspense.

Secara keseluruhan dan subyektif suasana Nagabonar Jadi Dua ini
terasa segar dan rekreatif, meski tema berat dan penting tentang
kebangsaan terkesan masih terlalu didramatisir. Semangat dalam
berkebangsaan boleh jadi mendapatkan maknanya yang baru, ketika
ternyata mau tak mau Nagabonar harus menerima kenyataan bahwa Bonaga
bekerjasama dengan perusahaan Jepang salah satu bekas penjajah. Atau,
para insan Indonesia yang hilang ingatan atas jasa-jasa dan
perjalanan penuh liku sejarah dan pelakunya, yang diwakili oleh
simbol Patung Sudirman yang bersikap tegap terus menghormat kepada
mahluk-mahluk tak peduli pengejar materi.

Berbeda dengan versi film, tentunya dalam membaca novel Nagabonar ini
para pembaca harus benar-benar siap dengan perspektif yang cenderung
lebih `cerdas' dan eksplisit lokusioner dari Akmal. Tetapi perlu
dicatat bahwa sekali lagi, setidaknya, film dan novel ini memberikan
warna dan mampu menegosiasikan idealisme dan sisi komersil.

*Bn
(ngibul lagi...tarik terus!)

Tuesday, March 27, 2007

Review Buku, Bicara Dengan Sayap-Mila Duchlun

Bicara Dengan Sayap

Judul Buku : Perempuan Bersayap
Penerbit : Qhumaira Production
Hal : xxvii + 83
Penulis : Mila Duchlun
Cetakan : Juli, 2006


Mila Duchlun, perempuan penyair asal Riau. Seorang penyair bersayap
yang pernah tinggal di negara kepulauan Maldives, tempat dimana
pernah dia tak hanya bersayap tetapi sekaligus bersirip karena sempat
menyelam di kedalaman laut demi puisi! Momen yang romantis untuk
sebuah puisi bahkan bisa jadi hero(in)is bagi bangsanya. Perempuan
penyair berkebangsaan Indonesia menuliskan puisinya danh mengibarkan
sang saka Merah Putih di kedalaman 17 meter dan menulis puisi berjudul
Bendera di dasar samudera Hindia.

Sebuah peristiwa yang bisa ditanggapi sebagai momen yang bersayap
seperti sifat puisi yang bisa jadi sangat ambigu, polisemis, paradoks
dan ironis. Seorang Mila Duchlun sepertinya adalah puisi itu sendiri,
sebagaimana seorang perempuan bersayap ternyata juga bersirip; dari
kata-katanya yang bersayap dalam puisi, aksinya bisa juga merupakan
sebuah aksi `bersayap', bermakna ganda.

Makna yang bisa diartikan banyak hal termasuk sebagai ironisme.
Seiring dengan sikap dan cintanya kepada Republik ini yang terkadang
terasa sangat kritis, tak jarang diungkapkannya dengan emosi yang
meluap-luap, keadilan yang terbelenggu di negeri ini, sekaligus nasib
kaumnya yang masih saja tertindas ditanah Merah Putih. Seperti kita
tahu bahwa negeri yang tengah carut-marut ini lagi disesaki oleh air
mata akibat masalah dan kepungan bencana.

Kecuali kebanggannya kepada tanah air dan puisi, memang Mila tidak
bermaksud untuk mengungkapkan ironisme tentang tanah airnya. Tetapi
peristiwa itu bisa saja menginspirasikan gambaran bahwa sebagai negara
kita bisa tenggelam di samudera yang luas bila tidak bersegera
menggibarkan Sang Saka Merah Putih di langit biru! Dan, bila tidak
banyak lelaki yang sanggup para perempuan pun sanggup menggibarkan
Sang Saka merah Putih meski didasar laut sekalipun :


Bendera :

Puisiku bara dalam nafas sang saka
Menusuk keheningan Samudera Hindia
Ikan menyingkir segala menjadi gigil
Melesat secepat kilat
Tak henti sampai angin penat

Lihat warnaku
Dua warna berpadu, meramgkul tujuh belas ribu pulau
O, apa masih ingin kau khianati aku?

Meski bom mengoyak raga
Tak akan habis usiaku, karena beribu nyawa menggila
Dalam jantungku!

Underwater 200306/11.30 am
Male, east male Atoll, Indian Ocean,
Republic of Maldives

Puisi yang heroines dan bernuansa nasionalis, sesuatu yang mulai
tenggelam ditengah maruknya para terhormat, dan peristiwa ini bisa
jadi inspiratif dan bersayap. Sungguh sebagai bangsa dan barangkali
juga sebagai lelaki bahunya seakan lelah dan sempoyongan menopang Sang
Saka. Dalam beberapa puisi terasa semangat nasionalisme yang
barangkali justru semakin menguat karena jauh dari pelupuk mata,
simak: Aku Kereta Tempo Dulu, Baret Ungu, Syair Negeri Elok Rintihnya
Terseok, ataupun Dari Tengah Hutan Papua.

Berikan rasa nasionalisme, sekaligus berikan kesempatan kepada kaum
kami begitu kira-kira sorak kritis sang Perempuan bersayap yang harus
menempuh ribuan kilo meter sebagai TKW, sungguh ironisme bahwa di
negara yang `bukan lautan…hanya kolam susu' ini kaum perempuannya
harus berjibaku demi tonggak keluarga, dan barangkali juga tonggak
negara.

Justru dengan sayapnya ini banyak hal yang mestinya bisa dipuisikan
oleh seorang Mila, petualangan-petualangan, perjalanan, resapan dan
lukisan-lukisan yang bertebaran di badan pengalamannya merupakan
nukleus yang potensial bagi pengalaman puitiknya, yang brangakali
sangat berguna bagi tugas dan tulang punggung kepenyairannya di
kemudian hari.

Membaca puisi-puisi yang ekspresif dengan inspirasi langit, tanah,
matahari, api, sepi, cinta dan laki-laki sedikit banyak memberikan
ilustrasi dari puisi-puisinya yang mengalir begitu saja, yang polos,
naif dan bahkan sentimen. Yah, sentimen, coba amati pada puisi: Aku
yang Miskin, ataupun Ingin Kucakar wajahmu! Dengan bahasa yang lugas
dan maksud yang jelas Mila menumpahkan emosi.

Baginya beberapa puisi memang tumpahan emosi yang paling efektif
sebagai teman di negeri jauh, berteman pantai, samudera, hujan seperti
pintanya pada Roh-roh Pujangga. Ah Perempuan memang rembulan penghias
malam, di tengah gejolak dia tetaplah perempuan, negeri yang begitu
sangsi ketika di puji:

Aku Perempuan Bukan Bulan

Namaku perempuan
Jiwaku tidaklah berlipstik
Hatiku tidak berparfum
Buah dadaku tidaklah besar
Sama sekali tidak menarik

Sesungguhnya bumiku sangsi
Mengapa langit jatuh cinta padaku
Sesungguhnya aku ingin tahu
Mengapa langit rela membungkuk
Hanya untuk mengecup kulit hatiku

Aku perempuan bukan bulan
Bertanya padamu wahai langit
Adakah sesuatu pada diriku
Hingga kau rela melepaskan awanmu

Puisi yang tidak perlu disikapi berlebih tetapi resapi saja
ke'biasaannya', banalitasnya. Terlepas dari kepolosan puitiknya,
Mila, sebagai penyair `muda' sangat berpotensi masih panjang
pengalaman yang menanti untuk digali dengan lebih puitis. Terlebih
dengan modal pengalaman perjalanan yang kaya; sungguh merupakan energi
potensial yang mengendap dan siap untuk dibangunkan kapan saja.

Secara keseluruhan buku kumpulan puisi pertama ini memang semacam
tonggak awal yang bisa dinilai dan disikapi secara bebas oleh
pembacanya.Degan memperhatikan tema dan pergerakan emosi yang terjadi
saat pembacaannya. Seringkali emosi pembacaan terasa terganggu oleh
tema dalam puisi yang berseliweran tak merata di badan buku.

Sesaat belum puas menikmati panorama alam harus tiba-tiba coitus oleh
desahan rindu dendam cinta, dan belum lagi tuntas harus mengernyitkan
dahi dengan persoalan kebangsaan, negara dan sosial, dan kemudian
kembali lagi menghadapi rindu dan cinta yang sentimental. Dengan
perpindahan nada puisi yang menyentak: dari nada cinta romantis
elankolis, mendadak nasionalis, ataupun tiba-tiba menjadi
sentimentalis dan sedetik menjadi emotif berkobar-kobar dengan
semangat kritisisme, sepertinya akan mempengaruhi tempo dan emosi
pembacaan pembacanya.

Terlepas dari itu Mila sebagai perempuan adalah memang puisi, apalagi
dengan sayapnya yang siap mengembang membelah samudera itu. Dan,
rasakan pengalaman terbangnya.