Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Thursday, February 7, 2008

Sastra Tinju

Sastra Tinju!

Mungkin bagi bukan penggemar tinju, pertarungan Chris John danCabalera barangkali tidak menerik untuk diikuti; mungkin ada yangberanggapan tinju adalah salah satu cabang olahraga primitif yangkurang beradab. Peninggalan dari sebuah penindasan dari manusia kemanusia lain, sisa dari sejarah perbudakan yang kelam para Gladiator.

Tapi, kok bisa saling pukul sampai memar dan berdarah darah, bahkanmematikan itu begitu mengasyikan? Apa bagusnya Tinju, malah semakinmengiris bila ingat bahwa belakangan banyak didapati petinju yangmerupakan tulang punggung keluarga tewas di ring. Apakah masuk akalmembiarkan kekerasan dan kematian terjadi secara langsung didepanhidung kita. Sungguh absurd, karena bagaimanapun juga tinju mestinya adalah sebuah permainan saja. Apa menariknya tinju?

Demikian pula Sepakbola, seorang teman perempuan saya dulu pernahberkata: permainan bola itu menjemukan, lucu sekaligus tak bermanfaat.Bagaimana bisa sepuluhan orang berlarian kesana-kemari, membuangtenaga dilapangan dan buang waktu, eh...lha kok malah disoraki! Belumlagi yang gibol-mbonek, jangan ditanya kasus tawuran, holiganisme atau kecelakaan supporter yang merenggut nyawa. Dia sebal mungkin karena punya pengalaman buruk dengan rerombongan supporter bola yang berduyun berangkat ke stadion. Tak hanya memacetkan jalanan malah menggoda dirinyayang kebetulan berkendara motor. Tak hanya digoda, bahkan beberapabagian tubuhnya sempat dibejek-bejek sampai bonyok rasanya. Mending klub lokal mereka menang, kalau kalah, wah, bisa-bisa lebih serem lagi.

Bagi sebagian besar wanita, beberapa olahraga lelaki itu tak masukakal, lucu, kekanak-kanakan, liar, primitif dan bahkan tak beradab.Tapi, tentu saja hobi kaum wanita itu juga seringkali tak masuk akal.Menghabiskan waktu berjam-jam dengan tak bosan duduk manis di depanTipi memperhatikan tinju antara Maia dan Ahmad Dhani. Bagaimanamungkin, perceraian bisa lebih penting dari banjir akibat pemanasanglobal, atau kritisnya Pak Suharto. Tapi, saya tak mau membahaspermasalahan komunikasi dan media masa; hanya saja perebutan remoteyang sering terjadi antara suami istri bagi saya lebih menarik untuksedikit dibahas.

Saya hanya akan mengemukakan kenapa saya sebagai lelaki menyukai bola,tinju, dan balap motor. Olahraga yang terakhir ini justru menyenangkankarena The Doctor alias paklik Rossi. Untuk urusan balap motor sayaberdua istri sering bertengkar hebat. Bukan karena tidak suka, ataurebutan remote, tetapi saya yang selalu menjagokan selain Rossi, kalautidak Stoner yah Pedrossa. Terutama bila Rossi gagal menyelesaikanlap, dia seringkali menyelonong dan tiba--tiba mematikan Tipi, setelahteriakan keras saya: Mampus lu Rossi!

Dan yang tidak menyenangkan adalah dia tidak suka tinju atau sepakbola(kecuali bila pemain bolanya cakep!); seringkali saya harus menontonsambil berdiam diri, seperti mumi, terutama setelah perebutan remotesaya menangkan. Sungguh tak nyaman menonton pertandingan tinju maupunbola tanpa teriakan, ibarat motor tanpa bensin. Bila demikian sayalebih cenderung untuk pergi keluar rumah bergaul dengan teman-teman, para tinju dan bola mania. Kalau beruntung saya tidak akan diganggu olehSMS ataupun misscall, seringnya justru harus menikmati pertandingandengan gangguan SMS dan misscall yang mengurangi ketegangan, keseruandan kenikmatan tontonan.

Yang menyebalkan, sampai saat ini saya belumberani ambil resiko mematikan HP saat berkeliaran nonton acara tipibola atau tinju yang seringkali ditayangkan lewat tengah malam. Nah,agar yang dirumah paham akan kesukaan saya pada tinju ataupun boladipahami, mau tak mau saya harus pintar-pintar cari alasan. Bila perludiada-adakan. Tentu saja agar kesukaan saya itu dipahami, dan syukur-syukur tidak diganggu lagi.Apa yang menarik dari tinju, dan bola?

Saya kira setiap permainan selalu membutuhkan perpaduan antara kecerdasan, instink, intuisi,kecepatan dan tenaga. Dan pada kedua cabang olahraga tersebut sayamendapatkan pencerahan, tak jarang inovasi, tehnik-tehnik baru.Terlepas dari kerasnya akibat body contact yang pasti terjadi, keduaolahraga tersebut membutuhkan konsentrasi, keuletan dan pemanfaatntenaga yang baik. Itu, pendapat seorang penikmat bola dan tinju danbukan pelaku, teoris ataupun praktisi olahraga tersebut. Tetapi,setiap penonton adalah kritikus. Dan terutama para manianya akan taksegan-segan berkometar pedas macam: BEGOOOO! Goblok! Rasain!Hih...kapok koen! sampai yang paling pedas.

Kebanyakan seorangpenggemar setia acara bola ataupun tinju adalah seorang kritikus,sama halnya dengan pembaca buku sastra. Lho, kenapa ke sastra? Sederhana saja, karena saya juga suka sastra, itu saja.

Apa samanya sepakbola, tinju dan sastra? Saya tidak berniat menyamakan ketiga kesukaan saya itu, tetapi bahwa olahraga tinju, sepakbola, dan sastra itu mempunyai 'batasan'. Yah 'batasan'! Bagi saya apapun itu tak bisa dikatakan berbentuk kecuali dia mempunyai batasan-batasan. Aturan main bisa disebut begitu.

Coba bayangkan pertandingan tinju tanpa aturan main, tanpa ring. Mungkin seru, tetapi belum tentu menarik dan sudah pasti tidak beradab. Itu yang harus digarisbawahi sebagai pembeda antara permainan (game) dan kekerasan fisik! Begitu juga bola, bayangkan bila tidak ada batasan lapangan, tidak ada batas waktu, dan tidak ada wasit, atau bahkan tidak ada batas gawang! apakah akan disebut sebagai permainan apalagi pertandingan (game/match) sepakbola?

Mungkin menyenangkan, tetapi tidak menarik. Bukan karena sekedar 'pengakuan' publik tetapi aturan itu membuat sebuah permainan menarik dan memberikan bentuk pada sebuah kepuasan. Bagi saya kepuasan itu bisa tercapai apabila ada jarak antara yang batasi dan yang absolut. Puas karena saya telah menyanggupi suatu batasan. Gampangnya begini saja, enak mana antara menonton sepakbola suka-suka dengan permainan tanding (game) sepakbola.

Demikian pula untuk sastra, katakanlah puisi. Sebuah pernyataan yang cukup menggelitik saya adalah sebuah pendapat bahwa 'dunia ini sendiri saja adalah juga puisi. Mungkin dari sudut pandang tertentu atau kesan tertentu, bisa saja begitu. Tetapi dalam konteks batas dan aturan main, saya kira pernyataan itu menyesatkan. saya bisa maklumi, barangkali pada saat mengungkapkannya si pembicara tersebut tidak sedang serius. Atau sekedar memberikan perbandingan dan simbol. Dan, ataupun bisa juga merupakan ungkapan yang bersifat metaforis, ataupun metonimi. Mungkin tak masalah, tetapi, barangkali yang mengganggu saya adalah jika hal yang demikian (simbolik, metaforik) dijadikan sebagai dasar sebagai alasan untuk menulis puisi secara suka-suka.

Seperti yang saya contohkan diatas, bagi saya adalah bahwa lebih mengasyikkan menonton pertandingan tinju ataupun sepakbola daripada sekedar permainan suka-suka sepak bola ataupun tinju. Tentu sekali waktu saya juga bermain bola dengan teman sebagai hiburan, dengan minim aturan atau bahkan tanpa aturan sama sekali. Tetapi konvensi minim tetap harus ada, bagaimana mungkin disebut permainan sepakbola bila dalam memainkannya tanpa bola atau setidaknya bola-bolaan? Saya artikan bahwa Dunia olahraga tinju, sepakbola dan sastra disebut demikian karena adanya BATASAN.

Saya tidak akan bisa menyatakan sastra sebagai bentuk jika sastra tidak mempunyai batasan! Tetapi jangan dilupakan, ada pula yang disebut sebagai 'grey area'. Wilayah abu-abu, atau wilayah 'kayanya'- "Kayanya ini puisi yah...!"- wilayah tak pasti. Tetapi itu tidak berarti tidak adanya batas, hanya saja konsensus batas definitif itu sepertinya sangat sulit untuk dicapai.

Dalam hal ini konvensi, atau aturan main bisa jadi sangatlah membantu; sastra tidak akan nyaman tanpa batasan, seperti halnya pertandingan bola, dan tinju tidak akan enak dinikmati tanpa aturan main. Tetapi kita akan dihadapkan pada kesulitan lain, apakah aturan main/konvensi ini dianggap sebagai kemutlakan? Bila demikian adanya maka apa yang dianggap sebagai sepakbola adalah ukuran lapangan, ukuran lingkaran tengah lapangan, ukuran gawang, hukum-hukum main lainnya dan bukan seni ber-sepakbolanya sendiri. Aturan main tidak identik dengan permainan, dan teori sastra tidak identik dengan sastra.

Akan terjadi terus pergeseran-pergeseran seiring perkembangan peradaban, dengan demikian yang mutlak adalah kemustahilan karena apapun yang dikatakan mutlak di dunia ini akan berhadapan dengan sang waktu dengan sang perubahan! Saya tidak sedang membujuk anda untuk percaya Heraclitus, tetapi sepertinya di dunia ini memang tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri.

Hal itu juga bisa diamati dari pertikaian-pertikaian para kritisi dan teorisi sastra beserta pendekatanya. Apa yang harus diemban sebuah karya tulis agar bisa dikatakan sebagai sastra yang sudah berlangsung sejak Plato vs Aristoteles. Demikian juga tinju yang mengalami pengurangan ronde; dulu saya sempat menyaksikan tinju dengan 15 ronde. Atau, dulu sempet berkembang kontoversi mengenai fair tidaknya babak tendangan penalti; dan juga ditambahkannya babak golden goal.

Aturan mengalami pergeseran karena permainan mengalami pergeseran, karena peradaban juga mengalami pergeseran. Seperti halnya dominasi pemikiran juga mengalami pergeseran dimana dominasi para 'mister' sebagai pewaris peradaban juga mulai dipertanyakan. Dan, saya terus terang dalam beberapa hal sepaham dengan Ahmadi Nejad, bahwa DK tetap PBB sebagai warisan sejarah kemenangan sekutu pada PD II tidak lagi relevan. Dan tentu saja kita dari hari ke hari juga dibuat tak nyaman dengan dominasi USA di hampir segala bidang.

Saya tidak akan membesuk permasalahan bagaimana aturan main direifikasi, dinaturalkan untuk kemudian menjadi mitologi, seperti halnya kenapa ukuran ekonomi suatu bangsa harus diukur dengan Dollar. Dalam hal ini saya juga tidak merasa nyaman bila justru aturan main itu sendiri sudah sangat tidak masuk akal dan dibuat demi keuntungan pihak tertentu.Untuk hal itu, tinju, sepakbola, balap motor, dan sastra membutuhkan ilmuwan. Ilmuwan yang mengkaji dengan adil dan berimbang, dan mendasarkan diri kepada dedikasi dan kecintaan kepada permainan tersebut.

Saya yakin bahwa aturan yang setidaknya obyektif biasanya timbul dari pemerhati dan pecinta-pecinta berat permainan tersebut. bahwa dibutuhkan dialektika antara permainan, ataupun karya dengan pecinta-pecintanya. Saya kira sebelum menjadi pecinta seseorang akan memulainya sebagai penikmat. Seorang penikmat yang baik akan belajar memahami pertandingan atau karya yang baik dalam taraf ini inilah pemahaman dang penghayatan nulai dibentuk. Untuk kemudian kecintaan akan semakin besar karena perasaan kedekatan, hal ini bisa tumbuh dari pengalaman dan penghayatan yang intens dan tak kenal lelah. Ah, jadi ingat dulu waktu memenangkan hati istri.

Dengan begitu seorang pecinta akan lebih tajam dalam menilai sebuah kelebihan dan kekurangan dari apa yang dicintainya dikarenakan pergaulannya yang intim tersebut. Hal itu tentu saja akan menimbulkan sifat kritis, tentu saja dengan harapan agar apa yang dicintainya itu berlangsung dan menghasilkan hal yang baik. Mungkin saya terkesan menyederhanakan, tetapi seperti penggemar bola fanatik seorang fanatik pembaca sastra dengan demikian akan lebih mempunyai pandangan yang lebih dalam dan detail.

Terlepas dari benar tidak benar, shahih tidak shahih, terlalu teoris, terlalu idealis atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Sebuah kritik yang mendalam adalah salah satu respon sebagai bentuk perhatian kepada sastra. Yah, hal itu, saya artikan sebagai sebuah perhatian yang intim dari para fanatik sastra kepada dunia sastra itu sendiri. Sebuah kritik yang dalam tentunya akan diperoleh karena pengalaman baca yang dalam. Dan, sebuah permainan yang menarik tentu akan menggugah kritik yang tak kalah dalam dan menariknya pula.

Lalu apakah sebuah karya sastra adalah sebuah permainan?

...bersambung



No comments: