Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Wednesday, December 19, 2007

Iron Maiden-Metalik epik, dan absurdism Camus?

Iron Maiden-Metalik epik, dan absurdism Camus?

Pada awal perkenalan saya dengan dunia sastra tak dapat dipungkiri
bahwa selain lirik-lirik U2, lirik-lirik Iron Maiden juga merupakan
sarana bagi saya untuk mengenal sastra jenis epik yang diusung oleh
Iron Maiden.

Group band legendaris asal Britania Raya yang menginspirasi beberapa
group rock Eropa maupun Amrik dengan style epiknya, sebut saja:
Helloween, Manowar, Yngwie Malmsteen dan dalam skala tertentu
musikalitas Megadeth-seteru Metallica itu.

Narasi yang terkandung dalam lirik-lirik Iron Maiden berkisar tentang
heroism, musik yang jantan begitu image yang ingin ditonjolkan. Meski
tak 'segelap' Black Sabbath periode Roni James Dio, Alice Cooper,
maupun The Cure dengan hantu-hantuannya, Iron Maiden juga terpengaruh
dengan citra monster, tengkorak,Kekejian dan sadisme :
to kill the unborn in the womb ( two minutes to midnight),
dan beberapa judul-judul lain: The Number of the Beast, Wratchild,
Run to the hills, Helowed be thy name, Power Slave, The Trooper Fear
of the dark, Bring Your Daughter to slaughter!

Kesan jantan dan keberanian memang menjadi core utama musik dan
lirik Iron Maiden dan mengilhami beberapa Group Rock lainnya. Hingga
yang Mutakhir: Dream Theatre, Blind Guardian dan ataupun speed neo
klasikal metal eropa seperti Stratovarius dan Rhapsody yang
menggabungkan unsur epik dengan musik metal yang megah dengan
musik klasik, jadinya terdengar seperti "Pastoral ataupun Lamento
Eroica"

Musik Rock 1980-an yang terkungkung oleh perang dingin itu seakan
menjadi sebuah propaganda akan persiapan Amerika maupun Eropa Barat;
karenanya menurut saya masa itu musik-musik kencang padat dengan
menggali epik-epik heroik berkumandang berbarengan dengan ancaman
perang Nuklir yang siap menjadikan manusia sebagai hantu-hantu atau
tengkorak-tengkorak berjalan.

Namun sejauh itu apakah Epik pada lirik-lirik Group metal ini
sejenis dengan epik sastrawi? Macam Odysey, Mahabarata, ataupun
Illiad? Jawabannya bagi saya relatif. Bahwa semangat Epik yang
mendasari Group Metal itu memang bertujuan untuk menarik masa anak
muda itu sepertinya menjadi hal yang jelas.

Tetapi pada suatu kesempatan sebelum membawakan lagu Aces high yang
pada satu konsernya di Amerika-Long Beach arena (?) dibuka dengan
salah satu pidato legendaris, dan ekspresif Winston Churchil:

"We shall go on to the end...we shall fight with growing confindence
and growing strenght in the air...we shall never surender!"

Hal yang membangkitkan semangat positif yang mungkin kurang populer
pada lirik-lirik musik metal sesudah er Maiden ini yang cenderung
murung dan lebih didominasi oleh protes-protes : Metalica, Megadeth,
Rage against the Machine hingga Sepultura. Bahkan semakin melow, dan
sedih pada musik Rock alternatif ataupun Emo 1990'an-pada Era
Nirvana, Cold Play, dan Radio Head- yang katanya cengeng itu.

Iron Maiden tak hanya menampilkan lirik yang kuat dan heroik, tetapi
siapa yang bisa menyangkal cabikan berenergi Basis Steve HAris,
ataupun Vokal Bruce Dickinson? Meski pada akhirnya kini mereka
semakin ompong dan kata sebagian anak muda sebagai 'Jadul' namun
ada energi dan tak jaraang heroik pada nuansa musik mereka: Rock
will never die ( sangatlah romantik dan ideologis)

Meski barangkali tak begitu berhubungan namun lirik berikut sangat
mebantu saya untuk mebayangkan membayangkan dengan lebih intens
bagaimana seoarang 'Mersault' tokoh utama pada novelnya "The
Stranger" bagaimana nuansa absurdisme pada seseorang yang akan
menjalani suatu hukuman tanpa bisa mengerti kenapa takdir bisa
menimpanya. Meski tak takut mati dan berani mengahadapi kematian tak
urunng tokoh tersebut masih mepertanyakan absurditas suratan
takdirnya. Berikut penggalan yang nuansa absurdnya sangat terasa:

"As the guards march me out to the courtyard
Someone calls from a cell "God be with you"
If there's a God then why has he let me die?"


IRON MAIDEN
HALLOWED BY THY NAME Lyric


I'm waiting in my cold cell when the bell begins to chime
Reflecting on my past life and it doesn't have much time
Cos at 5 o'clock they take me to the Gallows Pole
The sands of time for me are running low

When the priest comes to read me the last rites
I take a look through the bars at the last sights
Of a world that has gone very wrong for me

Can it be there's some sort of error
Hard to stop the surmounting terror
Is it really the end not some crazy dream

Somebody please tell me that I'm dreaming
It's not so easy to stop from screaming
But words escape me when I try to speak

Tears they flow but why am I crying
After all I am not afraid of dying
Don't believe that there is never an end

As the guards march me out to the courtyard
Someone calls from a cell "God be with you"
If there's a God then why has he let me die?
As I walk all my life drifts before me

And though the end is near I'm not sorry
Catch my soul cos it's willing to fly away
Mark my words please believe my soul lives on
Please don't worry now that I have gone
I've gone beyond to see the truth

When you know that your time is close at hand
maybe then you'll begin to understand
Life down there is just a strange illusion.

==

Rock is on the gallows pole
Bono

*Waiting for saviour, and so send the massage in the bottle

*Waiting for saviour, and so send the massage in the bottle

Message in a Bottle
From the album Reggatta de Blanc (A&M)
Words and music by Sting

Just a castaway
An island lost at sea
Another lonely day
With no one here but me
More loneliness
Than any man could bear
Rescue me before I fall into despair

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

A year has passed since I wrote my note
But I should have known this right from the start
Only hope can keep me together
Love can mend your life
But love can break your heart

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

Walked out this morning
Don't believe what I saw
A hundred billion bottles
Washed up on the shore
Seems I'm not alone at being alone
A hundred billion castaways
Looking for a home

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

-oOo-

Alienasi, Kesendirian, dan Kematian Komunikasi?

Lyric diatas bila boleh saya perbandingkan dengan karya analitik
Samuel Beckett seperti Waiting for Godot, ataupun Pingpong kan bisa
didapati kesejajaran thema, alienasi, kesendirian umat manusia, dan
kematian komunikasi. Pada Waiting for Godot berujung pada penantian
tanpa ujung sedangkan pada Message In the Bottle berujung pada
kematian komunikasi-karena komunikasi tidak memberikan apapun selain
hal yang sama alienasi(keterasingan), dan kesendirian.

Alienasi:

Manusia terasing dipanggung yang entah berantah, dimana Vladimir dan
Estragon menghabiskan waktunya untuk menunggu entah apa yang
ditunggu namun mereka sepakat untuk menyebutnya `Godot', seseorang
atau sesuatu yang mengikat mereka untuk menunggu sampai akhir. Tentu
tanpa Godot barangkali mereka sudahl bunuh diri, teralienasi,
penyakit modernism.

Pada syair The Police diatas :

Just a castaway
An island lost at sea
Another lonely day
With no one here but me
More loneliness
Than any man could bear
Rescue me before I fall into despair

Dia hanya seorang yang terdampar yang diambang
keputusasaan `despair' a castaway tanpa sejarah hanya terdampar
saja; hari-hari penuh kesepian. Isu yang menyerang manusia modern
sejak Nietzche mematikan Tuhan, sejak Tuhan bisu tuli kata Camus dan
sejak manusia mengada bagi dirinya sendiri kata Sartre, etre pour soi.

Berbeda dengan para positivis, yang cenderung ekploitatif, Camus dan
Beckett cenderung muram pesimistis, dan hal ini dilukiskan dengan
gamblang oleh Sting. A castaway nearly fall into despair. Karena
menyadari bahwa di dunia ini sendirian, tanpa Bapak, tanpa sejarah?

Kesendirian:

Vladimir dan Estragon memang tidak sendirian seperti a castaway
dalam syair tersebut diatas meski mereka juga bertemu dengan sang
bocah pembawa pesan dari Godot, bertemu Pozzo dan Lucky yang
menggambarkan mangsa dan pemangsa, eksploitasi satu terhadap yang
lain. Sepertinya nyinyir kepada kaum modernis-positivis yang
cenderung eksploitatif. Kembali mereka menyadari bahwa setelah tokoh-
tokoh tersebut berlalu maka kembali mereka meringkuk dalam
kesendirian, dalam penantian tak berujung, dalam ketidakpastian.
Meski dalam situasi komedis tak urung berakhir tragis.

Situasi tragis itu harus mereka hadapi seperti tahun-tahun yang
hilang, seperti Vladimir dan Estragon yang terserang lupa, seperti
Milan Kundera yang terus berjuang melawan lupa. Dan hanya harapan
yang membuat mereka bertahan. Dan kebersamaan tentunya akan berujung
kepada kesendirian-dan cinta seperti cinta pisau dua mata,
menyatukan atau memtahkan hatimu.


Only hope can keep me together
Love can mend your life
But love can break your heart



Seperti halnya Sting yang berharap agar pesan dalam botolnya
ditemukan seseorang yang kemudian diharapkan untuk memberikan
pertolongan, ironisnya dia mendapatkan jutaan pesan yang sama hal
yang sekaligus mengelikan, komedi tragis. Jutaan kemungkinan
kebersamaan tidak merubah apapun karena manusia akan berakhir
sendiri.

Walked out this morning
Don't believe what I saw
A hundred billion bottles
Washed up on the shore
Seems I'm not alone at being alone
A hundred billion castaways
Looking for a home

Kematian Komunikasi :

Yang menarik adalah reffrain yang dipilih oleh Sting seakan
merupakan penegasan usahanya melakukan komunikasi dengan dunia-
sebuah tindakan untuk berkomunikasi, meski komunikasi tidak
menghasilkan apapun untuk menolong situasinya, kembali reffrain
diulang pada bagian akhir. Bahwa meski komunikasi itu sudah mati
karena hanya berbuah kegagalan dan kesendirian lagi-namun usaha
komunikasi itulah yang penting.

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

Pada Wairing for Godot, hal serupa juga seakan merupakan isu utama
bahwa adegan slapstick, lucu, dan bagaimana Vladimir dan Estragon
secara konsisten ber-Ping-Pong kata-kata adalah sebuah usaha mereka
untuk sebuah komunikasi, tentu kita/penonton dan mereka akan
terhibur dengan tingkah laku mereka, permainan hidup-datang dan
perginya jutaan orang-orang lain- dalam memori kita dengan segala
usaha komunikasi bisa saja melenakan kita dalam lupa bahwa manusia
selalu akan berakhir senidiri, permukaan solider namun soliter dan
teransing. Komunikasi menemukan kematiannya karena tidak
menghasilkan pun memecahkan masalah tersebut, namun usaha untuk
berkomunikasi sebagaimana bertukar kata ataupun bertukar pesan dalam
botol, tetaplah menggelikan meski kenyataannya harus ironis-berakhir
pada sepi. Untuk melewati penantian yang tak pasti dan seakan tak
berujung, dan waktu menyerupai pusaran yang semakin kebawah semakin
mengerucut dan mengurangi kualitas maupun kuatitas kita sebagai
manusia toh tindakan berkomunikasi cukuplah menghibur meski tak
memberikan jawaban.

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
I hope that someone gets my
Message in a bottle

*Feb,06 Pada sebuah pulau terpencil
Bn

Novel Nagabonar: Yang dikatakan

Novel Nagabonar (Akmal Nasery Basral): Yang dikatakan


Sebagai sebuah film, Nagabonar Jadi 2 boleh dikatakan
sukses dan berani melawan arus yang sedang didominasi oleh film-film
dengan tema horor ataupun cinta remaja. Mengedepankan tema kebangsaan,
film ini menyodorkan ungkapan-ungkapan yang segar tentang hilangnya
penghargaan diri sebagai manusia Indonesia. Dalam bungkus komedi film
ini cukup mampu membawa nilai-nilai kritis atas kondisi kekinian
Indonesia.

Meski terasa romantis, ada wawasan kebangsaan yang coba
dikomunikasikan oleh film ini. Film ini seperti oasis ditengah
glamour budaya massa yang dipenuhi perayaan selebritas, hiburan,
dimana ujung-ujungnya kebanyakan hanya berorientasi ekonomis semata.
Barangkali, film Nagabonar Jadi 2 adalah salah satu contoh yang
menarik mengingat kemampuannya dalam menegosiasikan idealisme dengan
selera pasar; meskipun di beberapa daerah di luar Jakarta film ini
boleh dikatakan tidak begitu berhasil.

Novel Nagabonar Jadi 2 diluncurkan menyusul sukses versi filmnya.
Meski dengan resiko yang cukup besar mengingat kekuatan karakter
Nagabonar dalam banyak hal masih dipengaruhi oleh idiom-idiom akting
yang dimainkan oleh Dedy Miswar. Tetapi, sebenarnya karakterisasi
Nagabonar dalam film sangat memungkinkan untuk diambil alih,
direkonstruksi ataupun bahkan didekonstruksi oleh Akmal. Dengan
begitu dalam pe-novelannya, penggambaran tokoh Nagabonar versi Akmal
(authorial meaning) tidak perlu harus sejalan dengan tafsiran yang
bisa dipetik oleh para pembaca-penonton dari karakter Nagabonar
versi Dedy Mizwar sebagai sumber textual meaning.

Bukan berarti kedua versi karakterisasi tersebut tidak bisa
diperbandingkan. Tetapi, terlepas dari lebih berhasil atau lebih
gagalnya; hal itu merupakan otonomi dari seorang novelis untuk
mengungkapkan tafsirnya sendiri atas tokoh Nagabonar. Dan pada
kenyataannya, dalam versi novelnya karakterisasi Nagabonar memang
terasa berbeda. Selain dipengaruhi oleh perbedaan sudut pandang
penokohan, juga intervensi pembacaan dan penafsiran Akmal terhadap
tokoh Nagabonar itu sendiri.

Karakter Nagabonar sempat diragukan rasionalitas sosiologisnya
sebagai seorang Batak Toba, salah satunya adalah pemakaian ungkapan
`Bujang' yang dianggap kurang realistis. Tapi sepertinya Nagabonar
lebih bijak daripada film Maaf Saya Menghamili Istri Anda, karena
secara eksplisit memakai nama salah satu marga Batak. Dalam kasus
terakhir semestinya dipertimbangkan penamaan yang tidak terlalu
refferensial. Dalam situasi masyarakat kita yang sensitif perlu
pertimbangkan matang menyangkut kontekstualitas dan refferensial
meski secara umum perlu dipahami bahwa hubungan antara karya sastra
dan masyarakat dan kebudayaan sebaiknya dipahami sebagai hubungan
yang lebih simbolik. Selain itu, realitas di dalam sebuah karya
sastra sebaiknya pula dipahami sebagai realitas dalam kerangka
fiksionalitas. Tetapi, dalam hal ini sebaiknya saya tidak terlalu
jauh berpolemik dengan fakta, nonfiksi, fiksi, fiktif, fiksional
ataupun fiktivitas dan sejenisnya.

Pada sebuah pengantar untuk kumpulan cerpen Akmal: Ada Seseorang di
Kepalaku, Budi Dharma sempat menyinggung tentang Jarak estetik
(esthetic distance), yang cenderung untuk lebih mengungkap situasi
yang ada di balik situasi dan kondisi tertentu daripada mengungkap
situasi dan kondisi tertentu sebagai situasi dan kondisi itu sendiri.
Dalam beberapa hal, meskipun berusaha untuk merekonstruksi tokoh
Nagabonar, Novel ini justru berkecenderungan untuk menungkap sisi
Nagabonar sebagai adanya, dan lebih memilih untuk tidak menggunakan
jarak estetis.

Nagabonar versi novel cenderung untuk mengungkap situasi dan kondisi
yang dia alami, dan menanggapi situasi dan kondisi lebih kepada
rangkaian peristiwa daripada makna di balik peristiwa. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa Akmal yang dikatakan
mempunyai mata kronologis yang penuh kejelian, menghadapi tokoh
Nagabonar dari perspektif lain. Yang, sedikit banyak juga membuat
Nagabonar terasa menjadi lebih jeli, deskriptif, dan kuat dalam hal
reportase.

Pada versi film Nagabonar terkesan cerdik, tetapi dalam novel justru
kesan cerdas lebih mengemuka. Contohnya adalah pemakaian istilah
`split' untuk menggambarkan suatu gerakan dalam sepakbola. Atau, bisa
pula dilihat pada halaman 138, dimana Nagabonar menyusun asumsi-
asumsi sistematis dalam lima-enam nomor. Interior monolog yang
dibangun oleh Akmal terasa agak kontras dengan ungkapan lugu, khas,
cerdik dan lucu seperti: "Apa kata dunia!", atau contoh berikut: "
Kalau tanya Bonaga, jawabannya berputar-putar. Tak jelas mana kepala
mana ekor. Seperti mencari ketiak ular saja. Makanya aku tanya kau."

Ujaran-ujaran tersebut justru lebih kuat dalam menyokong
karakterisasi Nagabonar sebagai `Jenderal' informal yang cerdik,
kurang berpendidikan, sekaligus humoris. Sementara, kecerdasan
interior monolog dalam novel ini berpengaruh pada kekuatan dan
kredibilitas karakter Nagabonar mengingat keutuhan karakter secara
tradisional ditentukan oleh konsistensi dan keabsahan kualitas
dimensi fisiologis, psikologis dan sosiologisnya.

Merujuk Ignas Kleden, ada beberapa kemungkinan dalam sebuah novel
atau cerpen, menilik siapa dan apa yang sebenarnya bercerita di
dalamnya. Seorang pengarang sendiri yang berkata-kata langsung kepada
pembacanya. Yang perlu diingat adalah, hal ini harus dibedakan dengan
penyudut pandangan orang pertama. Pengarang dalam sudut pandangan
manapun, bisa dikatakan bercerita sendiri dalam teksnya apabila teks
lebih merupakan inskripsi (the writing down) dan lebih menyerupai
notulen ucapan pembicara kepada pendenranya. Konsekuensinya, teks
belum bisa berdiri sendiri tanpa rujukan dari pengarangnya. Dalam hal
ini menurut Ignas Kleden, hubungan pembicara-pendengar belum bisa
diubah secara berhasil menjadi hubungan antara teks dan pembacanya.

Bisa jadi dalam sebuah novel atau cerpen justru cerita itu sendiri
yang banyak bercerita dengan kekuatannya sendiri tanpa bantuan dari
pengarang. Naratif cerita bisa langsung berhubungan dengan pembaca
karena lebih menekankan pada apa yang terjadi dalam sebuah novel
tanpa banyak intervensi ataupun rujukan dari pengarang. Atau, justru
suasana yang lebih banyak bercerita yang mana lebih memungkinkan
kepada pembaca untuk menghayati bagaimana sesuatu terjadi. Dan, apa
yang terjadi lebih dilukiskan sebagai bayangan yang tersirat.

Bagi saya, salah satu indikasi intervensi dan keterlibatan seorang
pengarang bisa dilihat dari dimensi khusus hubungan yang ingin
diciptakan oleh seorang pembicara melalui jenis tindak ujaran. J.L
Austin membedakannya sebagai: tindak lokusioner (locutionary act),
tindak ilokusioner (illocutionary act), dan tindak perlokusioner
(perlocutionary act). Inskripsi (writing down) biasanya
mengindikasikan tindak lukosioner yang kuat, dimana bahasa lebih
tampil sebagai gagasan-gagasan konseptual yang deskriptif, definitif.

Hemat saya, pada novel Nagabonar, tindak ujaran lokusioner (saying
something) lebih sering ditemui daripada tindak performatif-
ilokusioner (doing something in saying) ataupun perlokusioner (
yielding effect by saying). Barangkali salah satu contohnya adalah
bahwa Akmal lebih suka menyebut `split' daripada menggambarkan suatu
gerakan dalam sepakbola. Atau monolog yang terkesan cerdas berikut
ini:

`Bung Karno dan Bung Hatta, dua pribadi yang sangat berbeda. Tapi
mereka menggunakan semua perbedaan itu untuk saling melengkapi,
menggenapi, dan mendatangkan manfaat bagi bangsa ini. Bukan untuk
saling berkonfrontasi, saling menjatuhkan, seperti kebiasaan
politisi.'

Barangkali monolog tersebut akan lebih tertolong bila lebih
menggunakan pola pemikiran yang lebih sederhana, dan cerdik daripada
pemikiran yang terkesan konseptual dengan pengistilahan yang canggih.
Dengan begitu pembaca akan seringkali lebih berhadapan dengan
pengarang yang medistorsi kekuatan film Nagabonar menjadi lebih
literal. Konsekuensinya, konsistensi dan kekuatan karakter Nagabonar
versi film kurang begitu hidup dalam novelnya.

Terlepas dari hal tersebut adalah hal yang kurang arif bila menafikan
kenyataan bahwa versi novel Nagabonar Jadi 2 boleh dikatakan sukses
dengan indikasi bahwa novel ini diklaim setidaknya telah mencapai
cetakan ke tiga dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan saja. Sangat
masuk akal menyusul sukses versi filmnya yang bertahan beberapa
minggu di bioskop-bioskop ibukota. Hal ini tidak bisa dianggap sepele
dan merupakan suatu petanda bahwa Nagabonar meninggalkan pengaruh
kepada audiensnya.

Dalam hal ini perlu mempertimbangkan paradigma pembaca/pemirsa aktif,
bahwa pemirsa/pembaca harus dipahami sebagai penghasil makna yang
aktif dan pintar. Dengan begitu pemirsa/pembaca dianggap bukan
sebagai sekedar obyek dan pelengkap kultural semata tetapi juga
subyek dan pencipta makna yang aktif dari konteks kultural mereka
sendiri. Sejalan dengan itu, M.H. Abrams menyebutnya sebagai
pendekatan pragmatis, yaitu karakteristik pendekatan analisis sastra
yang memandang penting hubungan antara teks sastra dengan pembacanya.

Tentu saja akan ditemui tingkatan dan wawasan dari para pembaca
berkaitan dengan latar belakang pendidikan, psikologis, ekonomi,
sosial, kultural yang mempengaruhi sikap dan pembacaan mereka. Tetapi
dalam prosesnya, para pembaca berkecenderungan untuk mengidentifikasi
atau bahkan mengkontradiksi dirinya dengan tokoh-tokoh tertentu.
Lebih jauh menurut Ang, fiksi adalah suatu cara menikmati pengalaman
kekinian yang bergerak bolak-balik antara keterlibatan dan mengambil
jarak; penerimaan dan protes (Barker, 2000:359). Biasanya, dalam
proses identifikasi atau kontradiksi tersebut harapan pembaca adalah
mendapatkan kejutan-kejutan dari peilaku dan ucapan-ucapan tokoh-
tokohnya. Tak pelak karena unusr suspense-surprise adalah hal
mendasar bagi sebuah novel, dengan begitu terjadi tegangan antara
harapan pembaca dengan teks yang dibacanya yang lalu menimbulkan
penerimaan atau bahkan penolakan.

Tokoh Nagabonar sendiri cukup menjanjikan hal tersebut, apalagi
dengan suasana rekreatif dan angin komedis yang dibawanya. Hal ini
membuat karakter Nagabonar sendiri menjadi begitu kuat dan khas. Dan
karena bentuknya yang fiktif membuatnya lebih bergerak bebas
mempermainkan kesadaran, konvensi dan kultur. Hal ini bisa jadi
membuat pembaca tertawa akibat refleksi yang diproyeksikan oleh tokoh
Nagabonar yang menjadi sarana pelepasan inhibisi para pembacanya.

Bisa jadi pembaca terhibur oleh kecerdikan seorang pencopet pasar
yang dalam sekejap menjadi seorang jenderal karena dijatah oleh
kawannya, sementara Bujang protes mendapat pangkat sersan. Status
kepangkatan Nagabonar sendiri potensial menimbulkan ketegangan,
penerimaan-penolakan, apalagi Nagabonar sendiri hanyalah seorang
tukang copet pasar. Lalu apalah arti sebuah pangkat Jenderal, bila
secara informal, metal kebangsaan, dan kearifannya sang Nagabonar
memiliki kualitas `Jenderal'. Barangkali, ada juga pembaca/penonton
yang mengidentifikasi diri sebagai Tora'Bonaga'Sudiro, atau
Wulan'Monita'Guritno dengan hubungan romantis komedis mereka. Selain
konflik Nagabonar-Bonaga, konflik Bonaga-Monita juga ikut mengikat
tokoh-tokoh kunci ke dalam suatu permainan suspense.

Secara keseluruhan dan subyektif suasana Nagabonar Jadi Dua ini
terasa segar dan rekreatif, meski tema berat dan penting tentang
kebangsaan terkesan masih terlalu didramatisir. Semangat dalam
berkebangsaan boleh jadi mendapatkan maknanya yang baru, ketika
ternyata mau tak mau Nagabonar harus menerima kenyataan bahwa Bonaga
bekerjasama dengan perusahaan Jepang salah satu bekas penjajah. Atau,
para insan Indonesia yang hilang ingatan atas jasa-jasa dan
perjalanan penuh liku sejarah dan pelakunya, yang diwakili oleh
simbol Patung Sudirman yang bersikap tegap terus menghormat kepada
mahluk-mahluk tak peduli pengejar materi.

Berbeda dengan versi film, tentunya dalam membaca novel Nagabonar ini
para pembaca harus benar-benar siap dengan perspektif yang cenderung
lebih `cerdas' dan eksplisit lokusioner dari Akmal. Tetapi perlu
dicatat bahwa sekali lagi, setidaknya, film dan novel ini memberikan
warna dan mampu menegosiasikan idealisme dan sisi komersil.

*Bn
(ngibul lagi...tarik terus!)