Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Friday, April 4, 2008

Ayat-ayat dua cinta

Ayat-ayat dua cinta

(Ketika re-kreasi bertasbih)

Saya hanya akan sedikit bercerita tentang beberapa kesulitan yang seringkai saya temui ketika mengintrepretasikan kembali sebuah puisi; terutama puisi dalam bahasa asing.

Dalam banyak hal saya masih sepakat dengan Derrida yang saya rtikan bahwa menerjemahkan suatu teks tidak lebih adalah suatu kegiatan re-kreasi, menciptakan ulang. Menciptakan teks baru atas sebuah teks. Meski tak harus bersetia kepada kematian pengarang, Barthes, mau tak mau saya harus menuliskan versi dari seorang pembaca. Pembaca dengan segenap pengalaman baca, beserta sentuhan kreativitasnya.

Berbeda dengan jenis non-fiksi, ruang yang diberikan fiksi tentunya lebih lebar lagi, dimana kreatifitas bisa lebih leluasa bergerak. Dalam hal ini saya lebih banyak akan mengambil jarak berbahasa dari filsasfat analitik, dengan logical positivisme, baik Russel ataupun Witsgentein. Dengan begitu saya harus mengakui bahwa penerjemahan secara ilmiah dengan ketepatan semantic yang tinggi dengan tidak menolerir kebanyakmaknaan bisa diabaikan dalam teks fiksi.

Jakobson, yang meskipun dipandang terlalu menyamakan kedudukan bahasa dengan komunikasi, tak bisa dipungkiri saya harus epakat bahwa bahasa sebagai alat utama teks juga bermuatan fungsi emotif. Berbicara tentang puisi, untuk menyingkatnya saya sepadankan fungsi emotif ini sebagai nada, dengan kata lain jarak dan ataupun kedekatan emosi ini saya artikan sebagai nada.

Sementara itu nada yang ditemukan ditubuh karya sastra bisa saja berkembang kemana-mana, bisa ditelusuri secara diakronik maupun sinkronik, dan ataupun kontemporer. Penafsiran nada ini bagi saya adalah merupakan suatu mata air kreatifitas. Artinya bahwa sebuah puisi terjemahan bisa jadi merupakan puisi yang mandiri dari teks asalnya. Sebagai salah satu bentuk reintrepretasi kreatif maka puisi terjemahan bisa jadi merupakan salah satu bentuk kreatif atau katakanlah dengan sedikit jumawa: orisinal.

Untuk selain puisi, saya bisa membayangkan bahwa Shakespeare bisa jadi mati ketawa menyaksikan Romeo dengan pistol menghabiskan liburanya ditepi pantai, bertingkah seurakan Di capprio. Seperti halnya Dumas bisa terheran-heran oleh pembawaan Di capprio sebagai putra hasil perselingkuhan D’artagnan dengan sang Ratu dalam The Man in The Iron Mask (?). Lepas dari benar tidaknya, sama tidaknya, dengan teks awal; penerjemahan kreatif bagi saya adalah murni sebagai suatu kegiatan re-kreasi. Mungkin dengan begitu tuduhan sebagai pembela budaya posmo tak bisa saya elakkan lagi saya tidak membenarkan dan menyalahkan.

Bisa jadi ungkapan-ungkapan saya dekat dengan pemahaman sejenis bricollage, parody, dan ataupun kitsch. Tetapi, hal yang mendasari pemahaman saya adalah bahwa untuk mengkonstruksi suatu karya terjemahan mustahil akan menghasilkan keotentikan yang sama, hal ini juga bisa dilandasi kenyataan bahwa bahasa fiksi adalah berbeda dengan bahasa ilmiah yang sudah seharusnya tidak boleh bermakna ganda. Apalagi bila berbicara bahasa kamera yang merupakan inti kekuatan dari sebuah film. Bahasa yang dimaksudkan memberikan aksentuasi kepada efek yang ingin dicapai oleh sutradara; tafsiran akan semakin melebar mengingat kesenjangan yang bisa ditimbulkan oleh bahasa pictorial dan bahasa descriptional. Terlepas dari itu, benarlah adanya saya terlalu pede dengan pandangan saya. Tetapi sebagai suatu pilihan sikap; apa yang saya sampaikan adalah salah satu dari versi reflektif subyektif: menerjemahkan adalah suatu kerja re-kreasi.

Hal lain, bicara mengenai judul diatas, benarlah bahwa saya masih terimbas oleh sukses dari film Ayat-ayat Cinta. Saya sudah menontonnya sekali di bioskop. Belum membaca novelnya. Jadi saya tidak bisa membandingkan antara novel dan filmnya yang konon berbeda versi di ending cerita. Dan, saya memang belum berniat membacanya, bukan karena apa-apa tetapi karena memang belum sempat mencari novel tersebut apalagi membacanya, dan terus terang baru mendengar nama Habiburrahman.

Saya mengandaikan bahwa ruh film itu adalah bangunan awal atau modal saya nanti dalam membaca novel tersebut, maka kesan yang saya dapati dari film itu bisa jadi meneguhkan atau bahkan sama sekali merubah opini saya terhadap film tersebut. Jika tak banyak kesenjangan yang saya dapati dalam pembacaan saya atas film AAC maka bagi saya AAC hanya bertumpu dan dibentuk oleh kekuatan cerita. Meskipun seandainya benar apa yang dikatakan oleh Ayu Utami bahwa film AAC bukanlah hal baru malah justru ketinggalan beberapa decade dari film Hollywood, bedanya Hollywood membawa misi kristiani sedangkan AAC jelas merupakan film dakwah.

Dalam konteks re-kreasi, AAC jelaslah merupakan hal yang berbeda dengan Hollywood mengingat pesan dakwah yang dibawanya mengenai poligami, (ah andai kau beri aku kesempatan berpoligami). Pertarungan hati dan cinta segitiga Aisyah-Fachri-adalah peta kecil dari sebuah peta besar yang ideologis dan tersembunyi. Dan, maaf memang saya tak bermaksud apalagi berselera untuk mengungkapkannya.

Menonton film yang dengan hanya berpegang kepada plot tanpa memberi landas yang kuat pada karakter, AAC terkesan buru-buru. Dan, memang sepertinya memilih jalan populer dan aman dalam menyelesaikan konflik poligami tersebut dengan aman. Bagi saya, konflik sebenarnya bisa terjadi justru di saat poligami di jalani. Alih-alih menggali lebih dalam permasalahan, AAC justru lebih memilih mematikan tokoh yang potensial. Sebuah penyelesaian yang mudah. Bagi saya, kematian adalah penyelesaian usang.

Kematian di akhir AAC bagi saya bermakna sebagai ketidakberanian dalam memberikan pandangan yang lebih realistis dan menukik. Alih-alih mengembalikan kesimpulan kepada penonton AAC malah memilih untuk menyerah secara romantis kepada kematian. Memang semuanya akan mati, tetapi apa salahnya untuk sedikit lebih cerdas.

Saya mengandaikan bagaimana seandainya poligami tersebut bisa dijalani dengan cerdas, atau diselesaikan dengan cerdas tanpa perceraian! Saya kira daripada menganjurkan AAC malah menegaskan bahwa idealnya monogami itulah penyelesaian daripada poligami; meski dalam menyimpulkan hal ini AAC lebih memilih untuk bersikap simbolik. Perceraian dengan latar takdir kematian tak ubahnya seperti deux ex machina.

Saya akan lebih menerima jika seandainya AAC diakhiri oleh perceraian daripada kematian; dan bahkan lebih suka lagi bila kisah poligami tersebut diselesaikan tanpa perceraian. Memang lelaki mana sih yang tidak ingin berkuasa? Saya kira dengan cermin poligami, sebenarnya benak para lelaki yang cenderung untuk menguasai dan mendominasi lebih bisa dikemukakan dan diperdebatkan. Karya yang baik tidak hanya menghibur tetapi gaungnya hingga kepada penalaran.

Logika modern dengan nafas kesetaraan jender tentu akan sulit menerima keberadaan poligami. Saya mengandaikan jika saja film ini lebih berani dalam menggali konflik ini saya kira banyak peta-peta besar lain yang akan tersentuh. Dengan begitu tafsir yang re-kreatif atas pandangan monogami dan poligami akan menemukan jalannya yang lebih lapang, terlepas setuju atau tidak setuju dengan poligami. Dengan demikian, jikalau dikatakan sebagai film dakwah maka AAC ini menurut saya kurang memberikan nilai solutif, tanggung dan kurang berani.


Memang tidak memihak poligami ataupun anti poligami merupakan salah satu pilihan sikap, tetapi bagi saya di mata kegiatan berkesenian, efek dan kecerdikan dalam menyelesaikan suatu masalah dan pencerahan adalah hal pokok; jika tidak demikian jatuhlah sebuah karya ke alam yang banal dan klise.

Dan terus bertasbihlah re-kreasi

*Obn

(sedang kerasukan, dan mabuk!)

Thursday, February 7, 2008

Sastra Tinju

Sastra Tinju!

Mungkin bagi bukan penggemar tinju, pertarungan Chris John danCabalera barangkali tidak menerik untuk diikuti; mungkin ada yangberanggapan tinju adalah salah satu cabang olahraga primitif yangkurang beradab. Peninggalan dari sebuah penindasan dari manusia kemanusia lain, sisa dari sejarah perbudakan yang kelam para Gladiator.

Tapi, kok bisa saling pukul sampai memar dan berdarah darah, bahkanmematikan itu begitu mengasyikan? Apa bagusnya Tinju, malah semakinmengiris bila ingat bahwa belakangan banyak didapati petinju yangmerupakan tulang punggung keluarga tewas di ring. Apakah masuk akalmembiarkan kekerasan dan kematian terjadi secara langsung didepanhidung kita. Sungguh absurd, karena bagaimanapun juga tinju mestinya adalah sebuah permainan saja. Apa menariknya tinju?

Demikian pula Sepakbola, seorang teman perempuan saya dulu pernahberkata: permainan bola itu menjemukan, lucu sekaligus tak bermanfaat.Bagaimana bisa sepuluhan orang berlarian kesana-kemari, membuangtenaga dilapangan dan buang waktu, eh...lha kok malah disoraki! Belumlagi yang gibol-mbonek, jangan ditanya kasus tawuran, holiganisme atau kecelakaan supporter yang merenggut nyawa. Dia sebal mungkin karena punya pengalaman buruk dengan rerombongan supporter bola yang berduyun berangkat ke stadion. Tak hanya memacetkan jalanan malah menggoda dirinyayang kebetulan berkendara motor. Tak hanya digoda, bahkan beberapabagian tubuhnya sempat dibejek-bejek sampai bonyok rasanya. Mending klub lokal mereka menang, kalau kalah, wah, bisa-bisa lebih serem lagi.

Bagi sebagian besar wanita, beberapa olahraga lelaki itu tak masukakal, lucu, kekanak-kanakan, liar, primitif dan bahkan tak beradab.Tapi, tentu saja hobi kaum wanita itu juga seringkali tak masuk akal.Menghabiskan waktu berjam-jam dengan tak bosan duduk manis di depanTipi memperhatikan tinju antara Maia dan Ahmad Dhani. Bagaimanamungkin, perceraian bisa lebih penting dari banjir akibat pemanasanglobal, atau kritisnya Pak Suharto. Tapi, saya tak mau membahaspermasalahan komunikasi dan media masa; hanya saja perebutan remoteyang sering terjadi antara suami istri bagi saya lebih menarik untuksedikit dibahas.

Saya hanya akan mengemukakan kenapa saya sebagai lelaki menyukai bola,tinju, dan balap motor. Olahraga yang terakhir ini justru menyenangkankarena The Doctor alias paklik Rossi. Untuk urusan balap motor sayaberdua istri sering bertengkar hebat. Bukan karena tidak suka, ataurebutan remote, tetapi saya yang selalu menjagokan selain Rossi, kalautidak Stoner yah Pedrossa. Terutama bila Rossi gagal menyelesaikanlap, dia seringkali menyelonong dan tiba--tiba mematikan Tipi, setelahteriakan keras saya: Mampus lu Rossi!

Dan yang tidak menyenangkan adalah dia tidak suka tinju atau sepakbola(kecuali bila pemain bolanya cakep!); seringkali saya harus menontonsambil berdiam diri, seperti mumi, terutama setelah perebutan remotesaya menangkan. Sungguh tak nyaman menonton pertandingan tinju maupunbola tanpa teriakan, ibarat motor tanpa bensin. Bila demikian sayalebih cenderung untuk pergi keluar rumah bergaul dengan teman-teman, para tinju dan bola mania. Kalau beruntung saya tidak akan diganggu olehSMS ataupun misscall, seringnya justru harus menikmati pertandingandengan gangguan SMS dan misscall yang mengurangi ketegangan, keseruandan kenikmatan tontonan.

Yang menyebalkan, sampai saat ini saya belumberani ambil resiko mematikan HP saat berkeliaran nonton acara tipibola atau tinju yang seringkali ditayangkan lewat tengah malam. Nah,agar yang dirumah paham akan kesukaan saya pada tinju ataupun boladipahami, mau tak mau saya harus pintar-pintar cari alasan. Bila perludiada-adakan. Tentu saja agar kesukaan saya itu dipahami, dan syukur-syukur tidak diganggu lagi.Apa yang menarik dari tinju, dan bola?

Saya kira setiap permainan selalu membutuhkan perpaduan antara kecerdasan, instink, intuisi,kecepatan dan tenaga. Dan pada kedua cabang olahraga tersebut sayamendapatkan pencerahan, tak jarang inovasi, tehnik-tehnik baru.Terlepas dari kerasnya akibat body contact yang pasti terjadi, keduaolahraga tersebut membutuhkan konsentrasi, keuletan dan pemanfaatntenaga yang baik. Itu, pendapat seorang penikmat bola dan tinju danbukan pelaku, teoris ataupun praktisi olahraga tersebut. Tetapi,setiap penonton adalah kritikus. Dan terutama para manianya akan taksegan-segan berkometar pedas macam: BEGOOOO! Goblok! Rasain!Hih...kapok koen! sampai yang paling pedas.

Kebanyakan seorangpenggemar setia acara bola ataupun tinju adalah seorang kritikus,sama halnya dengan pembaca buku sastra. Lho, kenapa ke sastra? Sederhana saja, karena saya juga suka sastra, itu saja.

Apa samanya sepakbola, tinju dan sastra? Saya tidak berniat menyamakan ketiga kesukaan saya itu, tetapi bahwa olahraga tinju, sepakbola, dan sastra itu mempunyai 'batasan'. Yah 'batasan'! Bagi saya apapun itu tak bisa dikatakan berbentuk kecuali dia mempunyai batasan-batasan. Aturan main bisa disebut begitu.

Coba bayangkan pertandingan tinju tanpa aturan main, tanpa ring. Mungkin seru, tetapi belum tentu menarik dan sudah pasti tidak beradab. Itu yang harus digarisbawahi sebagai pembeda antara permainan (game) dan kekerasan fisik! Begitu juga bola, bayangkan bila tidak ada batasan lapangan, tidak ada batas waktu, dan tidak ada wasit, atau bahkan tidak ada batas gawang! apakah akan disebut sebagai permainan apalagi pertandingan (game/match) sepakbola?

Mungkin menyenangkan, tetapi tidak menarik. Bukan karena sekedar 'pengakuan' publik tetapi aturan itu membuat sebuah permainan menarik dan memberikan bentuk pada sebuah kepuasan. Bagi saya kepuasan itu bisa tercapai apabila ada jarak antara yang batasi dan yang absolut. Puas karena saya telah menyanggupi suatu batasan. Gampangnya begini saja, enak mana antara menonton sepakbola suka-suka dengan permainan tanding (game) sepakbola.

Demikian pula untuk sastra, katakanlah puisi. Sebuah pernyataan yang cukup menggelitik saya adalah sebuah pendapat bahwa 'dunia ini sendiri saja adalah juga puisi. Mungkin dari sudut pandang tertentu atau kesan tertentu, bisa saja begitu. Tetapi dalam konteks batas dan aturan main, saya kira pernyataan itu menyesatkan. saya bisa maklumi, barangkali pada saat mengungkapkannya si pembicara tersebut tidak sedang serius. Atau sekedar memberikan perbandingan dan simbol. Dan, ataupun bisa juga merupakan ungkapan yang bersifat metaforis, ataupun metonimi. Mungkin tak masalah, tetapi, barangkali yang mengganggu saya adalah jika hal yang demikian (simbolik, metaforik) dijadikan sebagai dasar sebagai alasan untuk menulis puisi secara suka-suka.

Seperti yang saya contohkan diatas, bagi saya adalah bahwa lebih mengasyikkan menonton pertandingan tinju ataupun sepakbola daripada sekedar permainan suka-suka sepak bola ataupun tinju. Tentu sekali waktu saya juga bermain bola dengan teman sebagai hiburan, dengan minim aturan atau bahkan tanpa aturan sama sekali. Tetapi konvensi minim tetap harus ada, bagaimana mungkin disebut permainan sepakbola bila dalam memainkannya tanpa bola atau setidaknya bola-bolaan? Saya artikan bahwa Dunia olahraga tinju, sepakbola dan sastra disebut demikian karena adanya BATASAN.

Saya tidak akan bisa menyatakan sastra sebagai bentuk jika sastra tidak mempunyai batasan! Tetapi jangan dilupakan, ada pula yang disebut sebagai 'grey area'. Wilayah abu-abu, atau wilayah 'kayanya'- "Kayanya ini puisi yah...!"- wilayah tak pasti. Tetapi itu tidak berarti tidak adanya batas, hanya saja konsensus batas definitif itu sepertinya sangat sulit untuk dicapai.

Dalam hal ini konvensi, atau aturan main bisa jadi sangatlah membantu; sastra tidak akan nyaman tanpa batasan, seperti halnya pertandingan bola, dan tinju tidak akan enak dinikmati tanpa aturan main. Tetapi kita akan dihadapkan pada kesulitan lain, apakah aturan main/konvensi ini dianggap sebagai kemutlakan? Bila demikian adanya maka apa yang dianggap sebagai sepakbola adalah ukuran lapangan, ukuran lingkaran tengah lapangan, ukuran gawang, hukum-hukum main lainnya dan bukan seni ber-sepakbolanya sendiri. Aturan main tidak identik dengan permainan, dan teori sastra tidak identik dengan sastra.

Akan terjadi terus pergeseran-pergeseran seiring perkembangan peradaban, dengan demikian yang mutlak adalah kemustahilan karena apapun yang dikatakan mutlak di dunia ini akan berhadapan dengan sang waktu dengan sang perubahan! Saya tidak sedang membujuk anda untuk percaya Heraclitus, tetapi sepertinya di dunia ini memang tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri.

Hal itu juga bisa diamati dari pertikaian-pertikaian para kritisi dan teorisi sastra beserta pendekatanya. Apa yang harus diemban sebuah karya tulis agar bisa dikatakan sebagai sastra yang sudah berlangsung sejak Plato vs Aristoteles. Demikian juga tinju yang mengalami pengurangan ronde; dulu saya sempat menyaksikan tinju dengan 15 ronde. Atau, dulu sempet berkembang kontoversi mengenai fair tidaknya babak tendangan penalti; dan juga ditambahkannya babak golden goal.

Aturan mengalami pergeseran karena permainan mengalami pergeseran, karena peradaban juga mengalami pergeseran. Seperti halnya dominasi pemikiran juga mengalami pergeseran dimana dominasi para 'mister' sebagai pewaris peradaban juga mulai dipertanyakan. Dan, saya terus terang dalam beberapa hal sepaham dengan Ahmadi Nejad, bahwa DK tetap PBB sebagai warisan sejarah kemenangan sekutu pada PD II tidak lagi relevan. Dan tentu saja kita dari hari ke hari juga dibuat tak nyaman dengan dominasi USA di hampir segala bidang.

Saya tidak akan membesuk permasalahan bagaimana aturan main direifikasi, dinaturalkan untuk kemudian menjadi mitologi, seperti halnya kenapa ukuran ekonomi suatu bangsa harus diukur dengan Dollar. Dalam hal ini saya juga tidak merasa nyaman bila justru aturan main itu sendiri sudah sangat tidak masuk akal dan dibuat demi keuntungan pihak tertentu.Untuk hal itu, tinju, sepakbola, balap motor, dan sastra membutuhkan ilmuwan. Ilmuwan yang mengkaji dengan adil dan berimbang, dan mendasarkan diri kepada dedikasi dan kecintaan kepada permainan tersebut.

Saya yakin bahwa aturan yang setidaknya obyektif biasanya timbul dari pemerhati dan pecinta-pecinta berat permainan tersebut. bahwa dibutuhkan dialektika antara permainan, ataupun karya dengan pecinta-pecintanya. Saya kira sebelum menjadi pecinta seseorang akan memulainya sebagai penikmat. Seorang penikmat yang baik akan belajar memahami pertandingan atau karya yang baik dalam taraf ini inilah pemahaman dang penghayatan nulai dibentuk. Untuk kemudian kecintaan akan semakin besar karena perasaan kedekatan, hal ini bisa tumbuh dari pengalaman dan penghayatan yang intens dan tak kenal lelah. Ah, jadi ingat dulu waktu memenangkan hati istri.

Dengan begitu seorang pecinta akan lebih tajam dalam menilai sebuah kelebihan dan kekurangan dari apa yang dicintainya dikarenakan pergaulannya yang intim tersebut. Hal itu tentu saja akan menimbulkan sifat kritis, tentu saja dengan harapan agar apa yang dicintainya itu berlangsung dan menghasilkan hal yang baik. Mungkin saya terkesan menyederhanakan, tetapi seperti penggemar bola fanatik seorang fanatik pembaca sastra dengan demikian akan lebih mempunyai pandangan yang lebih dalam dan detail.

Terlepas dari benar tidak benar, shahih tidak shahih, terlalu teoris, terlalu idealis atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Sebuah kritik yang mendalam adalah salah satu respon sebagai bentuk perhatian kepada sastra. Yah, hal itu, saya artikan sebagai sebuah perhatian yang intim dari para fanatik sastra kepada dunia sastra itu sendiri. Sebuah kritik yang dalam tentunya akan diperoleh karena pengalaman baca yang dalam. Dan, sebuah permainan yang menarik tentu akan menggugah kritik yang tak kalah dalam dan menariknya pula.

Lalu apakah sebuah karya sastra adalah sebuah permainan?

...bersambung



Wednesday, January 23, 2008

Momentum dan Kecerdasan dalam Berpuisi

Momentum dan Kecerdasan dalam berpuisi

Kecerdasan vs kulitas afektif, rasanya terlalu tajam, tapi biarlah, barangkali dengan begitu pembeda antara keduanya agak terlihat. Bukan dengan maksud agar keduanya nampak benar-benar berbeda, tetapi dibalik artikulasi-artikulasi yang memungkinkan keduanya muncul pada wilayah yang sama; ada hal ikhwal yang membedakan keduanya.

Tentang momentum, peristiwa, dan pengalaman hidup.

Sebelumnya, berawal dari pengertian saya tentang momentum. Pada sebagian besar pendapat yang saya anggap cukup kuat dipegang teguh oleh kaum modernis, dan eksistentialis mengesankan bahwa momen itu harus direbut, diperjuangkan, dan bahkan dibentuk. Karena sikap seperti ini, dalam pengertian saya adalah menempatkan sang 'aku' sebagai pusat dunia yang memang diagung-agungkan oleh doktrin modernisme, humanis-positivis-universalis. Tak pelak saya harus mengakui jasa besar mereka pada peradaban, tetapi juga proses modernisasi dengan sisi industrialismenya mau tak mau mewariskan dunia yang telah jauh tereksploitasi; salah satunya mewariskan bencana pemanasan global yang sudah di ujung hidung.

Saya mendapati kedekatan sikap ekploitatif dengan sikap yang diambil oleh eksistentialis Sartrian. Etre-pour-soi, ada untuk dirinya. Dan, etre-en-soi, yang ada-nya tanpa sejarah, tanpa makna. Yang baru mempunyai essensi hanya bila telah dimaknai, atau lebih jauh dieksploitasi dan dimomenkanoleh sang Aku. Dan, aktifitas yang menonjol dari sikap ini adalah aktifitas menidak atau sepenuhnya kebebasan memilih sang Aku. Karena sepenuhnya bebas memilih maka tanggung jawab adalah seluruhnya ditangannya sendiri, ‘aku’ adalah subyektif individualis sang penguasa makna murni.

Kesamaan eksistentialisme Sartre dan Heidegger terletak kepada kebebasan.Tetapi, bedanya dengan Heidegger, yang menolak disebut sebagai eksistentialis, adalah anggapannya bahwa kebebasan itu selalu diikat oleh situasi. Pendapat yang berasal dari Fichte yang mengasalkan bahwa kebebasan tidak datang dari sesuatu yang tidak ada tetapi karena situasi tertentu. Heidegger juga membedakan antara ‘ada’ dalam das sein (realita) dan das sollen ( seharusnya benar-benar ada dalam realita).

Dengan pengertian dan kerangka eksistentialisme Heidegger dan Fichte inilah yang mendasari arti ‘momen’ bagi saya; bahwa situasi itu adalah salah satu pendorong potensial bagi sebuah momen, yang kemudian direbut oleh penyair dengan kemampuan individunya. Saya kira hampir semua penyair adalah produk ‘situasi’ dari dorongan atas pencerapannya atas situasi; karenanya, ungkapan penyair tak terpengaruh momen-momen lain dan justru sepenuhnya mampu membuat momen bagi dirinya sendiri, bagi saya, terdengar hampir tidak mungkin.

Keberadaan sebuah karya sastra tidak datang begitu saja, tetapi karena adanya situasi atau katakanlah momen-momen tertentu sebelum atau yang sedang terjadi. Saya berkeyakinan bahwa justru penyair yang baik sebagian besar menghasilkan karyanya dari kepadatan pengalaman yang sublim karenanya sanggup mengakrabinya dengan intens. Seperti Abdul Hadi yang kuat dengan sajak-sajak tentang lautnya, atau Acep dengan pergaulan intensnya dengan pedusunan, atau pula Sapardi yang mempesona saya dengan sajak-sajak cerita masa kecilnya. Belum lagi penyair-penyair besar yang hidupya dipenuhi dengan pengalaman yang menegangkan, menyesakkan, kesengsaraan, perjuangan hidup bahkan ancaman kematian seperti: Chairil Anwar, Byron, Rimbaud, ataupun Lorca. Penyair yang dibentuk dan akrab dengan momentum, peristiwa, dan pengalaman hidupnya.


Tentang kecerdasan

Bahwa dalam pengertian banyak pihak seringkali mengartikan kecerdasan sebagai kognitif semata, dan tentu saja bagi saya hal itu adalah kurang mendasar. Mengingat khalayak umum dan sumber bacaan saya, yang kebetulan semasa kuliah dulu pernah mendapat materi tentang psikologi pendidikan yang membahas masalah kecerdasan ini, kebanyakan menyebut kecerdasan adalah sebagai ‘intelegensi’/intelegence.

Jadi, sebaiknya tidak hanya mendasarkan pengertian kecerdasan kepada faktor spekulatif atau filsafati bahasa ataupun dalam kerangka pengertian ‘differance’ a la Derrida. Yang dengan begitu akan cenderung berpotensi untuk berkutat pada debat bahasa, generalisasi kecerdasan, atau menariknya kesana kemari dan untuk kemudian menjadikannya kembali sangat relatif. Dalam pandangan saya, dalam hal ini, sepertinya masih banyak yang mencampuradukkan antara kecerdasan/intelegensi dengan sekedar kognisi/cognition, bakat ataupun kualitas afektif .

Sepengetahuan saya, ada beberapa konsepsi tentang intelegensi ini yang beberapa diantaranya adalah, konsepsi spekulatif filsafati, konsepsi pragmatis, konsepsi faktor, konsepsi operasional, dan konsepsi fungsional.

Dari sekian konsepsi itu, untuk singkatnya, kecerdasan alias intelegensi itu menurut konsepsi operasional hanya bisa dihasilkan, dan didefinisikan oleh test. Sementara Stern maupun Langeveld menitikberatkan kecerdasan lebih kepada faktor fungsionalnya. Langeveld mendifinisikan intelegensi sebagai disposisi untuk bertindak, untuk menentukan tujuan-tujuan baru, membuat alat untuk mencapai tujuan, dan mempergunakannya.

Dengan demikian bahwa unsur fikir dan penalaran -‘otak’- yang lebih menguat dalam hal kecerdasan ini. Hal ini bisa dilihat bahwa didalam kecerdasan, unsur ‘tujuan’ alias ‘kesengajaan’ merupakan faktor fundamental! Bandingkan dengan kebanyakan penyair yang menunggu inspirasi dan mood, yang dengan demikian untuk proses pembuatan sebuah karya cenderung ‘katanya’ meskipun terpengaruh oleh inspirasi dari sekitarnya juga terkadang masih harus menunggu mood, ekspresif emotion, spontanitas, bahkan ada yang bilang harus sampai trance ataupun kerasukan.

Kecerdasan di sisi lain cenderung diwarnai oleh aktifitas kognisi ataupun intelektualisme; penalaran. Memang dalam intelegensi, merujuk pada Guilford, bila ditinjau dari isi, faktor-faktor intelegensi juga menyangkut kemampuan figural, symbolic, dan semantic. Akan tetapi segala pemanfaatan faktor isi alias kemampuan verbal, dan ataupun word fluency itu bertujuan akhir untuk difokuskan lebih kepada penalaran atau reasoning yang mendasari kecakapan berpikir.

Kognisi/cognition adalah knowing atau awarenes termasuk sensation tapi diluar emotion yang membentuk kecerdasan/intelegence. Menjadi suatu pertanyaan menarik, mengingat perkembangan dunia sastra dan seni, apakah dalam penikmatanya sebuah puisi itu lebih dinalar atau dirasa; masuk akal-tidak masuk akal atau bagus-jelek.

Ada bedanya, meski dengan kendara yang sama yaitu sarana puitik antara filsuf atau ahli hukum yang ‘nyair’ dengan penyair yang berfilosofi. Meski produknya sama-sama bercorak puitis tetap ada beda tujuan dan pemanfaatan. Salah satu contoh konkrit adalah pada bahasa hukum pada abad pertengahan yang berupa sajak, perjanjian ilmiah dalam bahasa sanskrit juga bersajak dalam tradisi India. Bahkan, Al Qur’an (Yaasiin: 69) menolak dengan tegas disebut sebagai syair meski unsur paronomasia, prosodi, dan metriknya juga luar biasa. Bisa saja teks-teks tersebut berstruktur puitik dan bermetrik akan tetapi tidak berarti fungsi puitik mempunyai peran yang menentukan dan mutlak didalamnya seperti yang berlaku dalam puisi.

Sementara, dalam hal kepenyairan, dan ataupun kesenimanan, sementara ini saya akan sependapat dengan Max Weber yang membagi tingkah laku manusia menjadi empat: Afektif handlung, traditional handlung, wertrational handlung, zwecktrational handlung.

Tingkah laku afektif lebih menonjolkan perasaan daripada intelegensi. Pada wilayah inilah seni dan sastra pada umumnya beroperasi. Karenanya, kemampuan afektif tidak dapat diukur secara tes IQ atau tes intelegensi/kecerdasan. Budi Darma juga menempatkan aktifitas bersastra dan berkesenian ini dalam kutub tingkah laku manusia sebagai Homo Ludens dan bukan Homo Sapien. Tetapi, tentu saja ‘minimum IQ’ masih dibutuhkan untuk aktifitas berbahasa ataupun peran manusia sebagai Homo Symbolicum.

Pada dasarnya sastra dan seni adalah lebih kepada olah rasa daripada olah kecerdasan. Tetapi, tetap saja perlu diperhatikan bahwa dalam berkesenian ada berbagai aliran, termasuk realisme sosialis, yang dalam salah satu aspeknya adalah kecerdasan dengan sumbu rasionalisme dan ataupun empirisme yang mendapat perhatian dan penekanan. Dalam hal ini saya menduga bahwa penggunaan puisi sebagai gaya pengungkapannya hanya berkecenderungan untuk aspek kekuatan potensial retorika yang terkandung dalam puisi, seperti yg ditujukkan oleh puisi-puisi 'khotbah', puisi 'pikir' pun puisi propaganda, yang pernah diusung oleh Thukul, Rendra dan ataupun Afrizal Malna. Dimana puisi secara optimal dimanfaatkan untuk lebih menekan dan mempengaruhi pathos, dengan kata lain puisi adalah usaha emotional appeals.

Diluar itu, sepertinya dunia puisi, sastra atau produk emotif pada umumnya berhubungan secara tidak signifikan dengan kecerdasan ataupun kualitas intelegensi. Kecuali, barangkali emotional, spiritual quality, dan pengaruh dunia bawah sadar; dunia mimpi seperti yang ditunjukkan oleh karya-karya pelukis Salvador Dalli dengan surealismenya.

Sementara itu, ditinjau dari nadanya tentang kecerdasan barangkali akan lebih sesuai bila diasumsikan dengan pengertian bakat (aptitude) daripada sekedar kecerdasan, atau daripada hanya aspek kognisi. Yang mana, menurut Guilford memang kemampuan kognisi/cognition merupakan salah satu faktor dari kecerdasan/intelegensi; tetapi, memang ada bedanya antara kognisi, kecerdasan dan bakat.

Sepertinya memang perlu membedakan antara hanya aspek kognisi/cognition, kecerdasan/intelegensi, dan bakat/aptitude. Bakat/aptitude, menurut W.B. Michael dalam Encyclopedia of Educational Research (1960.Hal.59), adalah bisa ditinjau sebagai kemampuan individu untuk melakukan suatu tugas, yang mana, seseorang itu sedikit sekali mendapatkan pelatihan atau bahkan tanpa latihan mengenai tugas itu sebelumnya. Sepertinya nada ekspresif dan spontanitas lebih mengemuka dalam hal ini. Aspek yang seringkali didengungkan bahkan dimitoskan oleh seniman atau penyair

Kecerdasan bisa dihasilkan melalui pelatihan yang bertujuan, seperti yang kita temui melalui workshop-workshop ataupun buku-buku how to, dan hasil akhirnya bisa jadi dapat ditest dengan instrumen yang telah dipersiapkan untuk mengukur adanya peningkatan kecerdasan tersebut.

Kecerdasan penalaran afektif bisa saja sengaja dilatih dengan metode pembentukan olah rasa melalui olah fikir; second experience (baca: teori) bisa saja memancing bahkan mengukur dan menentukan cerdas tidaknya penalaran terhadap produk-produk afektif. Tetapi, kualitas dan respon atas aspek afektif ini melulu subyektif dan karenanya tidak dapat diukur sebagai cerdas atau tidak, kecuali kualitas artistik yang berhubungan dengan indah-tidak indah, bagus-tidak bagus, pada akhirnya suka-tidak suka! Dan, dalam kerangka ekspresif, sastra dan seni adalah di dominasi oleh pengalaman, bakat dan intuisi.

Menegaskan hal ini, dalam pemanfaatannya menurut TS Elliot bahwa dunia puisi dalam penikmatannya adalah lebih mengutamakan penghayatan baru kemudian pemahaman. Dengan begitu, lebih kepada keutamaan afektif daripada kognitif.

Memang, pada akhirnya belakangan ini kebanyakan hanya hasil akhir yang menentukan sebuah karya, bukan proses. Tetapi, menurut saya seorang penulis atau penyair berbakat ‘biasanya’ mempunyai orisinilitas (bedakan dengan otentisitas) lebih daripada penulis atau penyair sekedar bentukan. Atau dalam istilah exaggerate saya: orang berbakat lebih cerdas daripada orang cerdas dalam situasi yang sama.

Barangkali saya memang terlalu ortodoks, konservatif pun apriori dengan mengesampingkan pelatihan kecerdasan dalam proses peningkatan kualitas afektif dan menggolongkannya sebagai langkah buatan, instan, dan terlalu teknis. Bukan berarti kecerdasan tidak penting. Kecerdasan dalam pemanfaatan alat-alat bahasa, keketatan bahasa, dan gaya ungkap dalam kadar tertentu merupakan alat yang vital. Tetapi, bila basis kemampuan afektif hanya bersumbu pada kecerdasan dan bertumpu melulu pada kemampuan teknis-teoritis; lalu apa bedanya metode berkarya sastra dengan dunia ilmiah yang cenderung baku dan kaku. Yang pada akhirnya juga, hanya diserap dan dinikmati oleh kaum akademisi. Mungkin nantinya akan sulit kita temui anomali anak alam yang kaya endapan pengalaman seperti Wiji Tukul, Walt Whitman, ataupun Kartolo. Namun, sebaliknya, faktor kecerdasan justru memang sebaiknya lebih dimiliki oleh seorang kritikus atau teoris sastra dalam menjembatani struktur dalam diri sebuah karya sastra dengan konteks-konteks diluar dirinya. Tentu saja karena posisi kemajuan sastra juga berjalan beriringan dengan kritik maupun teori sastra.

*Bn