Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Wednesday, December 19, 2007

Novel Nagabonar: Yang dikatakan

Novel Nagabonar (Akmal Nasery Basral): Yang dikatakan


Sebagai sebuah film, Nagabonar Jadi 2 boleh dikatakan
sukses dan berani melawan arus yang sedang didominasi oleh film-film
dengan tema horor ataupun cinta remaja. Mengedepankan tema kebangsaan,
film ini menyodorkan ungkapan-ungkapan yang segar tentang hilangnya
penghargaan diri sebagai manusia Indonesia. Dalam bungkus komedi film
ini cukup mampu membawa nilai-nilai kritis atas kondisi kekinian
Indonesia.

Meski terasa romantis, ada wawasan kebangsaan yang coba
dikomunikasikan oleh film ini. Film ini seperti oasis ditengah
glamour budaya massa yang dipenuhi perayaan selebritas, hiburan,
dimana ujung-ujungnya kebanyakan hanya berorientasi ekonomis semata.
Barangkali, film Nagabonar Jadi 2 adalah salah satu contoh yang
menarik mengingat kemampuannya dalam menegosiasikan idealisme dengan
selera pasar; meskipun di beberapa daerah di luar Jakarta film ini
boleh dikatakan tidak begitu berhasil.

Novel Nagabonar Jadi 2 diluncurkan menyusul sukses versi filmnya.
Meski dengan resiko yang cukup besar mengingat kekuatan karakter
Nagabonar dalam banyak hal masih dipengaruhi oleh idiom-idiom akting
yang dimainkan oleh Dedy Miswar. Tetapi, sebenarnya karakterisasi
Nagabonar dalam film sangat memungkinkan untuk diambil alih,
direkonstruksi ataupun bahkan didekonstruksi oleh Akmal. Dengan
begitu dalam pe-novelannya, penggambaran tokoh Nagabonar versi Akmal
(authorial meaning) tidak perlu harus sejalan dengan tafsiran yang
bisa dipetik oleh para pembaca-penonton dari karakter Nagabonar
versi Dedy Mizwar sebagai sumber textual meaning.

Bukan berarti kedua versi karakterisasi tersebut tidak bisa
diperbandingkan. Tetapi, terlepas dari lebih berhasil atau lebih
gagalnya; hal itu merupakan otonomi dari seorang novelis untuk
mengungkapkan tafsirnya sendiri atas tokoh Nagabonar. Dan pada
kenyataannya, dalam versi novelnya karakterisasi Nagabonar memang
terasa berbeda. Selain dipengaruhi oleh perbedaan sudut pandang
penokohan, juga intervensi pembacaan dan penafsiran Akmal terhadap
tokoh Nagabonar itu sendiri.

Karakter Nagabonar sempat diragukan rasionalitas sosiologisnya
sebagai seorang Batak Toba, salah satunya adalah pemakaian ungkapan
`Bujang' yang dianggap kurang realistis. Tapi sepertinya Nagabonar
lebih bijak daripada film Maaf Saya Menghamili Istri Anda, karena
secara eksplisit memakai nama salah satu marga Batak. Dalam kasus
terakhir semestinya dipertimbangkan penamaan yang tidak terlalu
refferensial. Dalam situasi masyarakat kita yang sensitif perlu
pertimbangkan matang menyangkut kontekstualitas dan refferensial
meski secara umum perlu dipahami bahwa hubungan antara karya sastra
dan masyarakat dan kebudayaan sebaiknya dipahami sebagai hubungan
yang lebih simbolik. Selain itu, realitas di dalam sebuah karya
sastra sebaiknya pula dipahami sebagai realitas dalam kerangka
fiksionalitas. Tetapi, dalam hal ini sebaiknya saya tidak terlalu
jauh berpolemik dengan fakta, nonfiksi, fiksi, fiktif, fiksional
ataupun fiktivitas dan sejenisnya.

Pada sebuah pengantar untuk kumpulan cerpen Akmal: Ada Seseorang di
Kepalaku, Budi Dharma sempat menyinggung tentang Jarak estetik
(esthetic distance), yang cenderung untuk lebih mengungkap situasi
yang ada di balik situasi dan kondisi tertentu daripada mengungkap
situasi dan kondisi tertentu sebagai situasi dan kondisi itu sendiri.
Dalam beberapa hal, meskipun berusaha untuk merekonstruksi tokoh
Nagabonar, Novel ini justru berkecenderungan untuk menungkap sisi
Nagabonar sebagai adanya, dan lebih memilih untuk tidak menggunakan
jarak estetis.

Nagabonar versi novel cenderung untuk mengungkap situasi dan kondisi
yang dia alami, dan menanggapi situasi dan kondisi lebih kepada
rangkaian peristiwa daripada makna di balik peristiwa. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa Akmal yang dikatakan
mempunyai mata kronologis yang penuh kejelian, menghadapi tokoh
Nagabonar dari perspektif lain. Yang, sedikit banyak juga membuat
Nagabonar terasa menjadi lebih jeli, deskriptif, dan kuat dalam hal
reportase.

Pada versi film Nagabonar terkesan cerdik, tetapi dalam novel justru
kesan cerdas lebih mengemuka. Contohnya adalah pemakaian istilah
`split' untuk menggambarkan suatu gerakan dalam sepakbola. Atau, bisa
pula dilihat pada halaman 138, dimana Nagabonar menyusun asumsi-
asumsi sistematis dalam lima-enam nomor. Interior monolog yang
dibangun oleh Akmal terasa agak kontras dengan ungkapan lugu, khas,
cerdik dan lucu seperti: "Apa kata dunia!", atau contoh berikut: "
Kalau tanya Bonaga, jawabannya berputar-putar. Tak jelas mana kepala
mana ekor. Seperti mencari ketiak ular saja. Makanya aku tanya kau."

Ujaran-ujaran tersebut justru lebih kuat dalam menyokong
karakterisasi Nagabonar sebagai `Jenderal' informal yang cerdik,
kurang berpendidikan, sekaligus humoris. Sementara, kecerdasan
interior monolog dalam novel ini berpengaruh pada kekuatan dan
kredibilitas karakter Nagabonar mengingat keutuhan karakter secara
tradisional ditentukan oleh konsistensi dan keabsahan kualitas
dimensi fisiologis, psikologis dan sosiologisnya.

Merujuk Ignas Kleden, ada beberapa kemungkinan dalam sebuah novel
atau cerpen, menilik siapa dan apa yang sebenarnya bercerita di
dalamnya. Seorang pengarang sendiri yang berkata-kata langsung kepada
pembacanya. Yang perlu diingat adalah, hal ini harus dibedakan dengan
penyudut pandangan orang pertama. Pengarang dalam sudut pandangan
manapun, bisa dikatakan bercerita sendiri dalam teksnya apabila teks
lebih merupakan inskripsi (the writing down) dan lebih menyerupai
notulen ucapan pembicara kepada pendenranya. Konsekuensinya, teks
belum bisa berdiri sendiri tanpa rujukan dari pengarangnya. Dalam hal
ini menurut Ignas Kleden, hubungan pembicara-pendengar belum bisa
diubah secara berhasil menjadi hubungan antara teks dan pembacanya.

Bisa jadi dalam sebuah novel atau cerpen justru cerita itu sendiri
yang banyak bercerita dengan kekuatannya sendiri tanpa bantuan dari
pengarang. Naratif cerita bisa langsung berhubungan dengan pembaca
karena lebih menekankan pada apa yang terjadi dalam sebuah novel
tanpa banyak intervensi ataupun rujukan dari pengarang. Atau, justru
suasana yang lebih banyak bercerita yang mana lebih memungkinkan
kepada pembaca untuk menghayati bagaimana sesuatu terjadi. Dan, apa
yang terjadi lebih dilukiskan sebagai bayangan yang tersirat.

Bagi saya, salah satu indikasi intervensi dan keterlibatan seorang
pengarang bisa dilihat dari dimensi khusus hubungan yang ingin
diciptakan oleh seorang pembicara melalui jenis tindak ujaran. J.L
Austin membedakannya sebagai: tindak lokusioner (locutionary act),
tindak ilokusioner (illocutionary act), dan tindak perlokusioner
(perlocutionary act). Inskripsi (writing down) biasanya
mengindikasikan tindak lukosioner yang kuat, dimana bahasa lebih
tampil sebagai gagasan-gagasan konseptual yang deskriptif, definitif.

Hemat saya, pada novel Nagabonar, tindak ujaran lokusioner (saying
something) lebih sering ditemui daripada tindak performatif-
ilokusioner (doing something in saying) ataupun perlokusioner (
yielding effect by saying). Barangkali salah satu contohnya adalah
bahwa Akmal lebih suka menyebut `split' daripada menggambarkan suatu
gerakan dalam sepakbola. Atau monolog yang terkesan cerdas berikut
ini:

`Bung Karno dan Bung Hatta, dua pribadi yang sangat berbeda. Tapi
mereka menggunakan semua perbedaan itu untuk saling melengkapi,
menggenapi, dan mendatangkan manfaat bagi bangsa ini. Bukan untuk
saling berkonfrontasi, saling menjatuhkan, seperti kebiasaan
politisi.'

Barangkali monolog tersebut akan lebih tertolong bila lebih
menggunakan pola pemikiran yang lebih sederhana, dan cerdik daripada
pemikiran yang terkesan konseptual dengan pengistilahan yang canggih.
Dengan begitu pembaca akan seringkali lebih berhadapan dengan
pengarang yang medistorsi kekuatan film Nagabonar menjadi lebih
literal. Konsekuensinya, konsistensi dan kekuatan karakter Nagabonar
versi film kurang begitu hidup dalam novelnya.

Terlepas dari hal tersebut adalah hal yang kurang arif bila menafikan
kenyataan bahwa versi novel Nagabonar Jadi 2 boleh dikatakan sukses
dengan indikasi bahwa novel ini diklaim setidaknya telah mencapai
cetakan ke tiga dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan saja. Sangat
masuk akal menyusul sukses versi filmnya yang bertahan beberapa
minggu di bioskop-bioskop ibukota. Hal ini tidak bisa dianggap sepele
dan merupakan suatu petanda bahwa Nagabonar meninggalkan pengaruh
kepada audiensnya.

Dalam hal ini perlu mempertimbangkan paradigma pembaca/pemirsa aktif,
bahwa pemirsa/pembaca harus dipahami sebagai penghasil makna yang
aktif dan pintar. Dengan begitu pemirsa/pembaca dianggap bukan
sebagai sekedar obyek dan pelengkap kultural semata tetapi juga
subyek dan pencipta makna yang aktif dari konteks kultural mereka
sendiri. Sejalan dengan itu, M.H. Abrams menyebutnya sebagai
pendekatan pragmatis, yaitu karakteristik pendekatan analisis sastra
yang memandang penting hubungan antara teks sastra dengan pembacanya.

Tentu saja akan ditemui tingkatan dan wawasan dari para pembaca
berkaitan dengan latar belakang pendidikan, psikologis, ekonomi,
sosial, kultural yang mempengaruhi sikap dan pembacaan mereka. Tetapi
dalam prosesnya, para pembaca berkecenderungan untuk mengidentifikasi
atau bahkan mengkontradiksi dirinya dengan tokoh-tokoh tertentu.
Lebih jauh menurut Ang, fiksi adalah suatu cara menikmati pengalaman
kekinian yang bergerak bolak-balik antara keterlibatan dan mengambil
jarak; penerimaan dan protes (Barker, 2000:359). Biasanya, dalam
proses identifikasi atau kontradiksi tersebut harapan pembaca adalah
mendapatkan kejutan-kejutan dari peilaku dan ucapan-ucapan tokoh-
tokohnya. Tak pelak karena unusr suspense-surprise adalah hal
mendasar bagi sebuah novel, dengan begitu terjadi tegangan antara
harapan pembaca dengan teks yang dibacanya yang lalu menimbulkan
penerimaan atau bahkan penolakan.

Tokoh Nagabonar sendiri cukup menjanjikan hal tersebut, apalagi
dengan suasana rekreatif dan angin komedis yang dibawanya. Hal ini
membuat karakter Nagabonar sendiri menjadi begitu kuat dan khas. Dan
karena bentuknya yang fiktif membuatnya lebih bergerak bebas
mempermainkan kesadaran, konvensi dan kultur. Hal ini bisa jadi
membuat pembaca tertawa akibat refleksi yang diproyeksikan oleh tokoh
Nagabonar yang menjadi sarana pelepasan inhibisi para pembacanya.

Bisa jadi pembaca terhibur oleh kecerdikan seorang pencopet pasar
yang dalam sekejap menjadi seorang jenderal karena dijatah oleh
kawannya, sementara Bujang protes mendapat pangkat sersan. Status
kepangkatan Nagabonar sendiri potensial menimbulkan ketegangan,
penerimaan-penolakan, apalagi Nagabonar sendiri hanyalah seorang
tukang copet pasar. Lalu apalah arti sebuah pangkat Jenderal, bila
secara informal, metal kebangsaan, dan kearifannya sang Nagabonar
memiliki kualitas `Jenderal'. Barangkali, ada juga pembaca/penonton
yang mengidentifikasi diri sebagai Tora'Bonaga'Sudiro, atau
Wulan'Monita'Guritno dengan hubungan romantis komedis mereka. Selain
konflik Nagabonar-Bonaga, konflik Bonaga-Monita juga ikut mengikat
tokoh-tokoh kunci ke dalam suatu permainan suspense.

Secara keseluruhan dan subyektif suasana Nagabonar Jadi Dua ini
terasa segar dan rekreatif, meski tema berat dan penting tentang
kebangsaan terkesan masih terlalu didramatisir. Semangat dalam
berkebangsaan boleh jadi mendapatkan maknanya yang baru, ketika
ternyata mau tak mau Nagabonar harus menerima kenyataan bahwa Bonaga
bekerjasama dengan perusahaan Jepang salah satu bekas penjajah. Atau,
para insan Indonesia yang hilang ingatan atas jasa-jasa dan
perjalanan penuh liku sejarah dan pelakunya, yang diwakili oleh
simbol Patung Sudirman yang bersikap tegap terus menghormat kepada
mahluk-mahluk tak peduli pengejar materi.

Berbeda dengan versi film, tentunya dalam membaca novel Nagabonar ini
para pembaca harus benar-benar siap dengan perspektif yang cenderung
lebih `cerdas' dan eksplisit lokusioner dari Akmal. Tetapi perlu
dicatat bahwa sekali lagi, setidaknya, film dan novel ini memberikan
warna dan mampu menegosiasikan idealisme dan sisi komersil.

*Bn
(ngibul lagi...tarik terus!)

No comments: