Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Tuesday, March 27, 2007

Review Buku, Bicara Dengan Sayap-Mila Duchlun

Bicara Dengan Sayap

Judul Buku : Perempuan Bersayap
Penerbit : Qhumaira Production
Hal : xxvii + 83
Penulis : Mila Duchlun
Cetakan : Juli, 2006


Mila Duchlun, perempuan penyair asal Riau. Seorang penyair bersayap
yang pernah tinggal di negara kepulauan Maldives, tempat dimana
pernah dia tak hanya bersayap tetapi sekaligus bersirip karena sempat
menyelam di kedalaman laut demi puisi! Momen yang romantis untuk
sebuah puisi bahkan bisa jadi hero(in)is bagi bangsanya. Perempuan
penyair berkebangsaan Indonesia menuliskan puisinya danh mengibarkan
sang saka Merah Putih di kedalaman 17 meter dan menulis puisi berjudul
Bendera di dasar samudera Hindia.

Sebuah peristiwa yang bisa ditanggapi sebagai momen yang bersayap
seperti sifat puisi yang bisa jadi sangat ambigu, polisemis, paradoks
dan ironis. Seorang Mila Duchlun sepertinya adalah puisi itu sendiri,
sebagaimana seorang perempuan bersayap ternyata juga bersirip; dari
kata-katanya yang bersayap dalam puisi, aksinya bisa juga merupakan
sebuah aksi `bersayap', bermakna ganda.

Makna yang bisa diartikan banyak hal termasuk sebagai ironisme.
Seiring dengan sikap dan cintanya kepada Republik ini yang terkadang
terasa sangat kritis, tak jarang diungkapkannya dengan emosi yang
meluap-luap, keadilan yang terbelenggu di negeri ini, sekaligus nasib
kaumnya yang masih saja tertindas ditanah Merah Putih. Seperti kita
tahu bahwa negeri yang tengah carut-marut ini lagi disesaki oleh air
mata akibat masalah dan kepungan bencana.

Kecuali kebanggannya kepada tanah air dan puisi, memang Mila tidak
bermaksud untuk mengungkapkan ironisme tentang tanah airnya. Tetapi
peristiwa itu bisa saja menginspirasikan gambaran bahwa sebagai negara
kita bisa tenggelam di samudera yang luas bila tidak bersegera
menggibarkan Sang Saka Merah Putih di langit biru! Dan, bila tidak
banyak lelaki yang sanggup para perempuan pun sanggup menggibarkan
Sang Saka merah Putih meski didasar laut sekalipun :


Bendera :

Puisiku bara dalam nafas sang saka
Menusuk keheningan Samudera Hindia
Ikan menyingkir segala menjadi gigil
Melesat secepat kilat
Tak henti sampai angin penat

Lihat warnaku
Dua warna berpadu, meramgkul tujuh belas ribu pulau
O, apa masih ingin kau khianati aku?

Meski bom mengoyak raga
Tak akan habis usiaku, karena beribu nyawa menggila
Dalam jantungku!

Underwater 200306/11.30 am
Male, east male Atoll, Indian Ocean,
Republic of Maldives

Puisi yang heroines dan bernuansa nasionalis, sesuatu yang mulai
tenggelam ditengah maruknya para terhormat, dan peristiwa ini bisa
jadi inspiratif dan bersayap. Sungguh sebagai bangsa dan barangkali
juga sebagai lelaki bahunya seakan lelah dan sempoyongan menopang Sang
Saka. Dalam beberapa puisi terasa semangat nasionalisme yang
barangkali justru semakin menguat karena jauh dari pelupuk mata,
simak: Aku Kereta Tempo Dulu, Baret Ungu, Syair Negeri Elok Rintihnya
Terseok, ataupun Dari Tengah Hutan Papua.

Berikan rasa nasionalisme, sekaligus berikan kesempatan kepada kaum
kami begitu kira-kira sorak kritis sang Perempuan bersayap yang harus
menempuh ribuan kilo meter sebagai TKW, sungguh ironisme bahwa di
negara yang `bukan lautan…hanya kolam susu' ini kaum perempuannya
harus berjibaku demi tonggak keluarga, dan barangkali juga tonggak
negara.

Justru dengan sayapnya ini banyak hal yang mestinya bisa dipuisikan
oleh seorang Mila, petualangan-petualangan, perjalanan, resapan dan
lukisan-lukisan yang bertebaran di badan pengalamannya merupakan
nukleus yang potensial bagi pengalaman puitiknya, yang brangakali
sangat berguna bagi tugas dan tulang punggung kepenyairannya di
kemudian hari.

Membaca puisi-puisi yang ekspresif dengan inspirasi langit, tanah,
matahari, api, sepi, cinta dan laki-laki sedikit banyak memberikan
ilustrasi dari puisi-puisinya yang mengalir begitu saja, yang polos,
naif dan bahkan sentimen. Yah, sentimen, coba amati pada puisi: Aku
yang Miskin, ataupun Ingin Kucakar wajahmu! Dengan bahasa yang lugas
dan maksud yang jelas Mila menumpahkan emosi.

Baginya beberapa puisi memang tumpahan emosi yang paling efektif
sebagai teman di negeri jauh, berteman pantai, samudera, hujan seperti
pintanya pada Roh-roh Pujangga. Ah Perempuan memang rembulan penghias
malam, di tengah gejolak dia tetaplah perempuan, negeri yang begitu
sangsi ketika di puji:

Aku Perempuan Bukan Bulan

Namaku perempuan
Jiwaku tidaklah berlipstik
Hatiku tidak berparfum
Buah dadaku tidaklah besar
Sama sekali tidak menarik

Sesungguhnya bumiku sangsi
Mengapa langit jatuh cinta padaku
Sesungguhnya aku ingin tahu
Mengapa langit rela membungkuk
Hanya untuk mengecup kulit hatiku

Aku perempuan bukan bulan
Bertanya padamu wahai langit
Adakah sesuatu pada diriku
Hingga kau rela melepaskan awanmu

Puisi yang tidak perlu disikapi berlebih tetapi resapi saja
ke'biasaannya', banalitasnya. Terlepas dari kepolosan puitiknya,
Mila, sebagai penyair `muda' sangat berpotensi masih panjang
pengalaman yang menanti untuk digali dengan lebih puitis. Terlebih
dengan modal pengalaman perjalanan yang kaya; sungguh merupakan energi
potensial yang mengendap dan siap untuk dibangunkan kapan saja.

Secara keseluruhan buku kumpulan puisi pertama ini memang semacam
tonggak awal yang bisa dinilai dan disikapi secara bebas oleh
pembacanya.Degan memperhatikan tema dan pergerakan emosi yang terjadi
saat pembacaannya. Seringkali emosi pembacaan terasa terganggu oleh
tema dalam puisi yang berseliweran tak merata di badan buku.

Sesaat belum puas menikmati panorama alam harus tiba-tiba coitus oleh
desahan rindu dendam cinta, dan belum lagi tuntas harus mengernyitkan
dahi dengan persoalan kebangsaan, negara dan sosial, dan kemudian
kembali lagi menghadapi rindu dan cinta yang sentimental. Dengan
perpindahan nada puisi yang menyentak: dari nada cinta romantis
elankolis, mendadak nasionalis, ataupun tiba-tiba menjadi
sentimentalis dan sedetik menjadi emotif berkobar-kobar dengan
semangat kritisisme, sepertinya akan mempengaruhi tempo dan emosi
pembacaan pembacanya.

Terlepas dari itu Mila sebagai perempuan adalah memang puisi, apalagi
dengan sayapnya yang siap mengembang membelah samudera itu. Dan,
rasakan pengalaman terbangnya.

Wednesday, March 21, 2007

Review Buku: Sirkuit Balap Akmal

Sirkuit Balap Akmal

Judul Buku : Ada Seseorang di Kepalaku Yang Bukan Aku
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Hal : 268
Penulis : Akmal Nasery Basral
Tahun : 2006

Setelah pengembaraan seorang Akmal dimulai pada novel bergaya detektif Imperia, kumpulan cerpennya menyusul dengan gaya yang relatif lebih kaya. Apakah memang Akmal lebih leluasa bermain dalam cerpen ketimbang novel? Atau kemungkinan eksplorasi yang lebih luas, atau bentuknya yang lumayan padat dan ekspresif membuatnya tertarik untuk mengembara dalam rimba cerpen dengan kemungkinan penggayaan yang lebih luas.

Berbeda dengan novelnya, cerpen-cerpen Akmal yang dikatakan Budi Darma sebagai seimbang dan merupakan putusan yang bijak bagi Akmal dalam menyeimbangkan tutntutan isi dan bentuk, terkesan membawa anasir-anasir metaforis maupun simbolik yang lebih kental. Pada novel pertamanaya Akmal berkecenderungan untuk ensiklopedis. Hal yang mungkin sangat tidak terlalu mendominasi pada kumpulan cerpen ini; namun alusi dan referensi yang mengacu kepada dunia populer dan gaya hidup masih merupakan spektrum yang dominan.

Bermodal cara bertutur yang lancar, dengan kalimat-kalimat yang efektif, dengan perbandingan-perbandingan yang cerdas tak jarang menggelitik. Dunia jurnalistik, dunia populer, dan arus informasi berkecepatan tinggi sepertinya membuatnya untuk lebih tidak memperhatikan jarak estetis. Kontekstual lebih mengemuka, dan fakta lebih penting dari motivasi. Peristiwa-peristiwa dikemasnya tak jarang dengan ujung yang mematahkan harapan pembacanya, menjauhkan harapan pembacanya. Kata Dedy Mizwar membawa ke lorong imaji yang terkadang agak gila namun berakhir mengejutkan syaraf.

Barangkali ada benarnya secara Akmal adalah juga wartawan yang menurut tengara Budi Darma pada akhirnya sadar-tak sadar telah mengambil sudut pandang dari profesinya itu. Dimana karena kecepatan laju informasi, yang dengan demikian mengharuskannya berhadapan secara terus-menerus dengan peristiwa yang datang silih berganti dalam kecepatan yang lebih tinggi. Pada akhirnya semua peristiwa yang dihadapinya terkesan menjadi biasa-biasa saja.

Di dalam kesederhanaan berbahasanya, ‘Ditengah riuh rendah permainan bahasa Akmal tampil tak jumawa… Bahasa yang tak angkuh. Alur yang tak bersolek.’ Dan karena isi kumpulan cerpennya sederhana maka untuk mengimbanginya Akmal menyediakan bentuk yang sederhana pula. Lebih jauh ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Akmal berhasil membuat konteks-konteks kecil dari esensi ide-ide yang besar. Memandang esensi-esensi ide-ide atau peristiwa-peristiwa besar dalam kacamata yang sederhana. Bahkan Akmal sendiri seakan menegaskan dalam pernyataanya bahwa kesederhanaan adalah mutiara bercerita yang sulit ditemukan pada dunia sastra Indonesia mutakhir. Dimana, dunia sastra menjadi semacam sirkuit balap mobil secara para pernulis seakan berlomba sebagai yang pertama dalam pencapaian estetis, eksperimentasi bentuk, atupun lebih tegas dalam mengartikulasikan hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu.

Namun dengan demikian, apakah pada kumpulan cerpen-cerpen AsdK juga mengutamakan kesederhanaannya pada alusi, atau referensi yang dikatakan menyusu pada budaya pop itu? Sepertinya Akmal menghindari sebuah sirkuit balap untuk kemudian menciptakan sirkuit balapnya sendiri. Sirkuit dimana lintasan literatur ‘tinggi’ sastra dibenturkan dengan ikon-ikon populer, lagu-lagu pop, bahkan tehnik iluustrasi a la komik Jepang. Sirkuit Balap Akmal berpacu dengan timbunan informasi literatur, budaya pop, dan permainan estetis a la posmo.

Kompleksitas kumpulan cerpen yang mayoritas alusi maupun refferensinya pada budaya pop justru terletak pada pemahamannya yang kaya dan dekat dengan informasi budaya pop dan gaya hidup itu sendiri. Barangkali, hal inilah yang dilewatkan oleh seorang Budi Darma. Timbunan informasi yang terkesan ‘dalam’ dari seorang Akmal. Tentunya tak semua penulis bisa merasakan kedalaman pada budaya pop tanpa terlibat atau menjejak pada arus informasi. Dalam pada itu, contoh yang menarik barangkali bisa dilihat pada: Fiona Benci Paul Anka. Tanpa, mempunyai refferensi tentang Paul Anka, tentunya tidak mudah menangkap ironi yang coba ditonjolkan. Membayangkan Paul Anka menyanyikan Smell Like Teen Spirit, ataupun Paul Anka bergaya Michael Jackson tentu akan terasa ironis dan parodis.

Para pembaca diajak balapan di dunia populer, sekaligus diberikan rambu-rambu dan jejak-jejak literatur ‘sastra tinggi’ yang menjadi bacaannya. Mungkin benar bahwa bentuk maupun isi AsdK cenderung sederhana dalam ukuran isi estetis tinggi karena muatannya cenderung merangsang insight into life, moral, dan atau meaningful. Sastra pop yang seringkali dan cenderung masih digeneralisasi sebagai sastra hiburan yang pada akhirnya tidak meninggalkan kesan serius, dengan demikian dianggap bukan pemikiran dan karena itu tidak menmbah wawasan kehidupan.

Namun kasus demikian sepertinya tidak terlalu saya temukan dari pembacaan terhadap AsdK. Bahwa, dunia pop yang diusungnya sangat cair, bukan berarti bahwa sebuah cerpen berakhir tanpa wawasan, kesan, ataupun moral. Barangkali benar bahwa Akmal cenderung menghindari resolusi yang memberikan justifikasi, ataupun menjadi moralis; meski masih terasa sangat humanis bernada romantis pada resolusi cerpen Boyon: ‘Seaneh apapun ayah yang ia hadiahkan adalah segunung cinta . Aku saja yang terlambat melihat. Pesan moral yang sangat transparan, memang terkesan menggurui tetapi karena alusi maupun referensi yang digunakan menyusu pada budaya pop: Film, James Bond atau Catatan si Boy, memang membuatnya secara keseluruhan terkesan parodis dan ringan; tetapi apakah cerpen ini tidak meninggalkan pesan moral, ataupun wawasan, tentunya jelas sekali.

Dalam beberapa cerpen yang lain nampak juga bahwa Akmal berusaha menjaga resolusi yang moralitas humanis, dari kacamata sosiologis maupun ideologis meski dengan kendara ungkap yang masih ngepop: Perkabungan Hujan, Seekor Ikan Hiu di Cangkir Kopi maupun Prolog Kematian. Tak jarang dia terasa lebih berkendara dengan tehnik penceritaan yang serius seperti pada: Legenda Bandar Angin, Lelaki yang Berumah di tepi Pantai, dan Ada seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku. Tetapi pada kesempatan lain Akmal justru tampil benar-benar ngepop benar seperti pada Lelaki Gagah, ataupun Kelambu.

Barangkali benar adanya Akmal berjalan pada koridor kontekstual, atau bertumpu lebih kepada happening, pun terkesan hanya bergelut dengan permukaan. Mozaik cerpen yang tersusun seperti perca-perca dari esensi fenomena, dan ide-ide besar, dan ditutrkan dengan gaya mengalir, ringan dan bahasa yang tak ribet. Tetapi yang membuatnya terkesan ‘pamer’ adalah kecanggihan informasi yang dibawanya seperti: Ikan Pari mengakibatkan tragedi Nasional karena telah membunuh seorang pesohor yang membuat seorang perdana menteri ikut berduka karenanya. Penggayaan, bombas, exagerate dalam bentuk informasi pengetahuan umum dengan basis jurnalistik sepertinya dengan sendirinya menggambarkan sosok Akmal yang memang wartawan atau jurnalis dengan bekal kecanggihan, kecepatan, ensiklopedi pengetahuan umum, serta budaya pop yang happening. Kemudian tak lupa membungkusnya dengan distorsi dan penggayaan informasi. Hal mana yang barangkali sangat dipahaminya dari kedekatannya dengan dunia industri media Disinilah Akmal mencoba membuat sirkuit balapnya sendiri: arena distorsi penggayaan informasi dan media.

Sedangkan dalam bentuk luarnya, barangkali seperti halnya penulis lain Akmal juga ikut larut dalam perayaan bentuk-bentuk mutakhir. Penulis adalah juga anak jaman, dan merefleksikan jamannya. Eklektik gaya estetis posmo meskipun jejak estetis modern masih terasa. Berkenaan dengan asumsi bentuk yang terkesan sederhana dan ngepop barangkali pendekatan yang sesuai untuk melihat ciri-ciri kompleksitas dan kelebihannya cenderung kepada gaya estetis posmo. Hal ini disebakan karena pendekatan modernis yang mengagungkan kebaruan, keotentikan, formalisme, dan fungsionalisme yang kebanyakan akan gagap dalam mengkaji karya dengan gaya posmo meminjam istilah Yasraf sebagia berkecenderungan untuk ironis, skizofrenik, hibrid, bahkan sinkretis.

Lebih jauh, seperti pada umumnya seni posmo, pendekatan sastra posmodernis terhadap gaya lebih banyak tertumpu pada pada penolakan atas konsep formalisme dengan form follows function-nya. Perlawanan ini dilakukan melalui bentuk-bentuk yang ironis, skizofrenik, dan sinkretis. Mempermainkan keseriusan formalisme, mempermainkan gaya sebagai komunikasi ironis. Dimana bukannya makna-makna dari pesan-pesan yang dikedepankan melainkan sirkuit balap kegairahan dalam permainan bebas tanda-tanda, kode-kode plesetan, humor dan kritik. Memperlakukan gaya tidak sebagai suatu bentuk kemajuan dan otentisitas melainkan sebagai bentuk eklektikisme, dengan kombinasi dari berbagai gaya, jenis kesenian, seniman, maupun periode, dan menjadikannya sebagai gaya yang ‘terkesan’ baru.

Dalam kumcer ini, sepertinya alusi maupun refrensi pop bukanlah bernilai sederhana tetapi bisa jadi merupakan suatu bentuk perlawanan atas kemapanan dari budaya tinggi, setidaknya membenturkan, ataupun membaurkan sastra tinggi dan budaya populer dalam semangat pluralisme. Unsur eklektik juga banyak menjadikan banyak bentuk kesenian sebagai inspirasi, film, lagu, lukisan dan bahkan digambarkan pada ilustrasi-ilustrasinya dimana kesan gaya komik ‘Jepang’ juga ikut meramaikan ruang estetis kumpulan cerpen ini. Bahkan sampul depan secara estetis menggambarkan kesan posmo tersebut, gedung bergaya klasik tetapi tingkat, mengesankan gaya masa lalu yang dicabut dari asalnya untuk dipertemukan dengan fungsi kekiniannya dalam penggayaan. Dan, karena pencampur adukan berbagai gaya dan pengaruh, maka mengesankan kebanyakan cerpen Akmal ini yang menurut Budi Darma menjauhkan diri dari harapan pembacanya dalam merebut makna. Apapun bisa, apapun tak bisa, apapun biasa saja, apapun tak biasa saja. Masih tersedia begitu banyak ruang pemaknaan pada sirkuit balap posmo, dan sepertinya Akmal juga ikut berpacu didalamnya.


***
Bono AJ

Review Buku: Di Tikungan Puisi

Di Tikungan Puisi


Judul Buku : Di Lengkung Alis Matamu
Penerbit : AKAR, Indonesia
Hal : viii + 110
Penulis : Johanes Sugianto
Tahun : 2006


… a poet is nightingale who sit in darkness
and sing to cheer its own solitude with sweet sounds…
-Percy Byssche Shelley-

Pada kumpulan puisinya ini Yo tampil liris dengan ekspresi yang personal. Hadir ditengah keraguan akan keindahan puisi. Puisi terasa menjadi begitu sulit dan liar, dan terlalu cerdas untuk sekedar dinyayikan di pojok gelap. Puisi-puisi ringan saja, barangkali itu yang coba disuarakan oleh seorang Yo. Tangkapan-tangkapan yang terasa spontan, dan mengalir saja, menjala emosi.

Sepertinya pilihan puitika Yo bersahaja, santun, tidak membuat orang kaget, dan merinding. Tak ada keliaran, tidak mbeling, meneror, ataupun urakan. Jangan berharap pertunjukkan sirkus silat kata, senssasi, atau kenakalan-kenakalan lainnya. Tertib, begitulah kesan yang coba dikemukakan. Pilihan yang barangkali tak bisa dipersalahkan, mengingat puisi berkembang hanya sebagai retorika dan ajang pamer ‘kecanggihan’ temuan kata seringkali malah membuat pembaca puisinya, berkernyit dahi dan pada akhirnya tinggal tak mengerti.

Joko Pinurbo dalam pengantarnya menyatakan puisi-puisi Yo tidak menunjukkan kesan semau gue, kesan bijak berisi piwulang mengajak merenung dalam kebersahajaannya. Sederhana bisa jadi tidak selalu berarti gampangan; tetapi biasanya puisi gampangan memang dibungkus dengan sederhana dan tidak dalam. Tikungannya adalah, apakah puisi Yo ini gampangan hingga hanya dibalut dengan kesederhanaan dan ketidaknekoan? Atau memang puisi-puisi Yo memang mengalir tertib dan tenang seperti pertapa yang tahan godaan.

Dalam beberapa puisi, Yo memang membuatnya gampang saja, gampang untuk dikomunikasikan dan direbut maknanya, puisi liris yang transparan dengan menitiktumpu pada retorika yang ‘mellow’ ataupun ‘emo’. Karenanya jalan liris adalah pilihan yang memang tidak bisa dihindarinya. Serius dengan perasaannya begitu yang kesan yang bisa ditangkap. Dengan keseriusannya, dalam kumpulan puisi ini saya jarang temui nada yang lain, komedis atau keriangan misalnya.

Dibutuhkan keberanian, dan kecermatan dalam mengungkapkan tikungan-tikungan nada maupun tempo agar tidak terjebak pada keseriusan yang mandul dengan variasi ekspresif. Barangkali karena ketenangannya itu, dalam kumpulan puisinya Yo jarang tampil ironis. Yo sepertinya sibuk melukis dengan kata-kata dengan kedalaman emosinya. Dengan nada maupun tempo yang tenang dan tertib, kumpulan puisi ini terancam akan membosankan.

Dari puisi satu ke puisi lainnya, Yo tetaplah Yo, dengan sejumlah 110 puisi nyaris akan kita temui nyanyian yang sama. Barangkali memang Yo tidak terlalu memusingkan unsur bunyi yang pada umumnya buku puisi lain juga diabaikan. Dan, sepertinya memang jarang ditemukan kejutan baik pada aspek tata bahasa maupun aspek bunyi. Permainan bunyi kebanyakan dipilih untuk efoni hingga jatuhnya terkesan lembut. Meski, tidak terkesan pamer gincu, tetapi dengan pilihan nada yang yang nyaris seragam seperti itu ke 110 puisi itu sepertinya akan menampilkan nada yang tidak jauh berbeda.

Puisi memang indah ataupun endah, dalam penikmatan puisi, apalagi kumpulan puisi dibutuhkan lebih dari sekedar kata-kata indah. Kemampuan penyair dalam mengolah alat-alat puitik adalah taruhannya.Melalui pengalaman menyeleksi dan mengkombinasi penataan diksi, aspek tatabahasa, aspek bunyi, nada, dan diksi yang kaya seorang penyair sangat mungkin untuk mengekspresikan pengalaman fisik ataupun batin dengan bening.

Kembali kepada kesederhanaan sebaiknya tidak dipahami sebagai keseragaman, baik aspek nada maupun nada. Sebaliknya sirkus kata maupun silat kata sebaiknya tidak perlu dipahami sebagai sesuatu yang harus selalu baru, terus menerus mengejutkan, serba terlalu. Kesederhanaan dalam puisi sepertinya harus selalu dalam koridor indah.

Dimata Imanuel Kant perasaan estetis berujung kepada dua hal yaitu keindahan dan keagungan. Obyek yang indah didefinisikan secara tepat dan unsur-unsurnya disusun secara seimbang Sementara objek yang agung bertumpu kepada ketidakterbatasan yang yang mengguncang persepsi baik melalui kebesaranya, ukuranya, dan energinya yang luar biasa.

Puisi secara individual bisa saja dikatakan indah, tetapi bila dikumpulkan menjadi sebuah buku kumpulan puisi bisa jadi akan memberikan efek nada, tempo, dengan demikian efek emotif yang berbeda. Sepertinya, pertimbangan keseimbangan dan penekanan (penonjolan) aspek-aspek puitika secara menyeluruh sewajarnya diperhatikan dengan lebih matang; meskipun aspek utama dari sekian puisi yang sedang pamer keindahan adalah kesederhanaan. yang menjadi tema pokoknya.

*Bono

Review Buku: Simfoni ter-Pahit Bulan

Simfoni ter-Pahit Bulan


Judul Buku : Simfoni Bulan
Penerbit : Mediakita
Hal : x + 206
Penulis : Feby Indirani
Tahun : Cetakan kedua Maret 2006

Feby Indirani, penulis dan jurnalis wanita yang kritis mengangkat kerumitan kultural, struktur sosial dan perlawanan terhadap mitologi. Dunia sosial dan terutama isu bernada feminisme kental mewarnai novel Simfoni Bulan. Bercerita tentang seorang perempuan yang bernama Bulan. Perempuan dengan keinginan yang kuat yang terikat kuat oleh desakan superego yang mengitarinya. Sebagai persona yang menginginkan pencapaian atas aktualisasi diri, Bulan seakan harus mengalami serial kepahitan yang tak berujung.

Bulan sangat eksistensial-humanistik, percaya akan pencapaian maksimal. Sebagai seorang wanita muda yang ingin menjadi penulis ‘sejati’ dan karenanya harus merelakan tubuhnya sebagai alat yang memungkinkan dia mencapai tujuannya. Sebagai seorang wanita muda yang memuja dunia kepenulisan, ‘Vistya’, sang penulis sadomasokis memberinya pintu pertama yang menghantarnya sebagai seorang pelacur. Keputusan yang harus diambilnya selain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga demi mendapatkan pengalaman langsung yang sekiranya akan menjadi pilar utama novel yang sedang ditulisnya.

Eksentrisisme menular, begitulah kira-kira gambaran awal pertemuan Bulan dengan penulis pujaannya. Kemampuan Bulan dalam mengidentifikasi, memproyeksi, dan mengalami katarsisme atas perilaku dan karya nyentrik Vistya membuat mereka terlibat dalam suatu hubungan yang tak lazim. Bagi Vistya yang berkelakuan serupa Marquis De Sade ini, hubungan mereka lebih dari sekedar guru-murid ataupun kekasih melainkan juga terikat oleh semacam takdir atau barangkali karma?

Vistya menjadi semacam gambaran ideal bagi seorang Bulan, yang seperti kebanyakan stereotip perempuan feminis harus tersuruk-suruk dengan hubungannya dengan lelaki. Karena hasrat dan keinginan yang harus berkonfrontasi dengan lingkungannya. Tentunya bukan tanpa sebab Bulan menjadi begitu keras kepala, dan berkeinginan kuat. Tindakan manusia selalu dikondisikan oleh lingkungannya karena tingkah laku manusia adalah merupakan tanggapan terhadap kondisi lingkungannya. Pergaulannya sebagai jurnalis yang terlibat secara emosional dengan pelacur Kramat Tunggak memberinya gambaran bahwa selain sebagai komoditas perempuan juga merupakan objek bagi konsumsi kaum lelaki. Dan, para pelacur itu merupakan korban moralitas semu yang malah menekan kehidupan perekonomian mereka setelah Kramat Tunggak mengalami penggusuran untuk dijadikan rumah peribadatan.

Bulan sendiri harus menelan kepahitannya sendiri atas kekritisannya tersebut. Kemudian, setelah mengundurkan diri sebagai wartawati serangkaian tragedi terus menguntitnya. Sebagai seorang ibu angkat atas anak temannya, pelacur yang tewas terbunuh, Bulan juga sempat menjalin hubungan yang kandas dengan lelaki gombal bernama Gangga. Semakin terasa kelam dengan kebuntuannya dalam menulis novel, dan dinistakan para lelaki bahkan sahabatnya sendiri sebagai pelacur gagal Dan, tak kalah pelik hubungannya dengan ibunya sendiri juga mengalami kemacetan yang parah.

Puncak keruwetan terjadi ketika Bulan tahu pembunuh temannya yang juga ibu kandung anak angkatnya. Di saat yang bersamaan Ibu Bulan juga menjelang ajal akibat sakit parah. Tak kuasa menahan tekanan realitas yang menusuknya, Bulan pingsan di rumah sakit yang kemudian dengan cara ‘ajaib’ bertemu dengan Vistya; yang kemudian memberikannya kelahiran baru yang semu.

Berdua menghabiskan waktu di India, Bulan pada akhirnya menetap di India setelah ditinggal pergi begitu saja oleh Vistya, hal yang mestinya sudah dia mengerti betul. Namun yang tak kalah pahit adalah ironisme di akhir cerita, membuat orkestrasi kepahitan Bulan semakin getir dan mengkristal.

Dalam psikoanalisa Freud dikenal istilh: Id, dorongan alamiah jiwa manusia untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan kehendaknya tanpa kendali yang terletak dalam pikiran anak-anak. Superego, perwujudan dari wewenang diluar dirinya yang merepresi dengan keras keinginan Id. Ego, atau kesadaran, sementara itu, adalah penyeimbang antara hasrat Id dan tuntutan pengendalian dan pembatasan dari Superego. Dalam hal ini Bulan adalah karakter atau katakanlah kepanjangan dari Id yang harus berkonfrontasi dengan Ibunya yang mewakili superego. Bulan harus berhadapan dengan masa lalunya yang membuat hubungan dengan ibunya tak lebih dari keterasingan atau saling meninggalkan satu sama lain; dan adiknya Adit adalah gambaran dari Ego yang berusaha menyeimbangkan dendam Bulan kepada ibunya.

Bulan telah lama kehilangan figur Ibu, sepertinya hal inilah yang mendorongnya untuk mengangkat Bayu sebagai anak. Yang pada akhirnya menjadi beban ekonomi yang merupakan salah satu pendorongnya umtuk menjadi pelacur. Yang menarik disini adalah ironisme betapa seorang perempuan cerdas dan berpendidikan dengan berbagai alasan berubah haluan menjadi seorang pelacur.

Sepertinya semuanya bersumber dan ditorehkan oleh masa lalu Bulan yang trauma berat ditinggalkan oleh ibunya, dan semakin pilu karena sosok Papa bahkan tak pernah ada untuknya. Menjadi ambisius dan terlibat seks dengan banyak lelaki termasuk ideologi berkesenian Vistya. Hasrat untuk melawan keadaan diri dan masa lalunya yang semakin mendorongnya menjadi perek. Itupun, nantinya Bulan harus menerima nista yang lebih lagi dari sahabtanya yaitu bahkan menjadi pelacur pun seorang Bulan yang cerdas dan kritis itu tak sanggup. Lalu kolong manakah lagi yang sanggup membuatnya nampak sebagai perempuan, sekaligus hebat dan humanistik jika baginya kehidupan terasa berusaha begitu keras menolaknya?

*Bono

Saturday, March 17, 2007

Review Buku: Yang Liu, Yang Lain

Yang Liu, Yang Lain

Judul Buku : Yang Liu
Penerbit : Bentang
Hal : x + 182
Penulis : Lan Fang
Tahun : 2006

Kembali dengan kumpulan cerpen berjudul Yang Liu yang dibangun penulisnya dari sosok imajiner atau sebut saja sebagai alterego. Di mana, kumpulan cerpen ini bercerita tentang kepingan hidup dari karakter-karakter imajiner bernama Lan Fang, perempuan keturunan Cina dengan berbagai sisi problematika dan kerumitan hidup. Jatuh bangun oleh cinta, marginalisasi, prasangka-prasangka antropologis, dan struktur sosial yang masih didominasi oleh penindasan seksis.

Buku dengan sampul merah menyala dengan paduan warna kuning keemasan, bernuansa etnis, seperti benderangnya lampion-lampion menjelang Imlek yang merupakan simbol akan pengharapan dan kemakmuran. Demikian pula harapan tokoh-tokoh yang mengalami kerumitan hidup dan kekecewaan yang pahit dalm kumpulan cerpennya. Hidup sebagai perempuan terasa penuh liku apalagi perempuan keturunan Cina yang minoritas seringkali lebih pahit karena terpinggirkan. Pandangan stereotip yang berkembang menganggap hidup mereka dalam seperti sangkar emas. Karena, secara ekonomi mereka hidup lebih baik; tetapi pada kenyataannya tidak semuanya sama seperti yang dibayangkan. Sepertinya klise, tetapi, pada prakteknya pandangan miring yang stereotip tentang ‘keberuntungan’ merekalah yang lebih mengemuka dan pada akhirnya menyulut sentimen ekonomis dan rasialis.

Di hampir semua cerpen, kebanyakan tokoh wanitanya digambarkan sebagai mahluk yang mendapatkan takdirnya untuk berjodoh dengan kekecewaan dan hidup pada situasi yang termarginalkan. Lan Fang (seperti pada cerpen Yang Liu ) akhirnya, dengan kepasrahan atas occultisme perhitungan Cina, menyerahkan nasibnya kepada ramalan bahwa dia akan selalu berjodoh dengan kematian. Pada kenyataannya, adalah suatu kebetulan bahwa dari semua lelaki yang mencintainya berakhir dengan kematian. Pada akhirnya berketetapan untuk menjadi perawat mayat. Suasana mitologis seperti ini nampaknya juga menarik bagi penulisnya. Nuansa-nuansa seperti ini diungkapkannya pada beberapa cerpen: Yang Liu, Gong Xi Fa Chai dan Bayi ke Tujuh bahkan novel sebelumnya Kembang Gunung Purei

Tema tentang terpinggirkannya perempuan mungkin masih menarik untuk diangkat ke permukaan, sebagai bentuk perjuangan kritis dan penyadaran yang terus menerus. Kali ini, penulis tidak sekedar bermain dengan isu perempuan yang secara kultural masih terpinggirkan, dan dilainkan. Tetapi, juga mengangkat isu bahwa pada kenyataannya tak semua warga keturunan Cina itu kaya dan beruntung. Pandangan bahwa keturunan Cina secara ekonomi lebih baik yang terbingkaikan di mal-mal, pasar-pasar, dan toko-toko. Dunia usaha yang secara kultural dipandang sebagai domain mereka. Memang, kedekatan dan kemampuan mereka pada dunia usaha dengan corak kapitalistiknya seringkali menimbulkan kecurigaan rasialis. Tetapi, perlu diingat bahwa lebih dari itu subordinasi bisa terjadi di wilayah manapun, dan sosok Lan Fang pada beberapa cerpen dari Yang Liu ini berusaha mengungkapkan penindasan rasialis dan seksis sekaligus.

Meski sebenarnya isu utama yang lebih mendominan pada kumpulan cerpen ini terutama cerpen Yang Liu adalah kekalahan Lan Fang atas nasib, daripada status ekonomis. Dan, lebih jauh seakan ditemui penekanan atas kesan yang mengungka realitas bahkan untuk urusan ‘takdir’ pun seorang perempuan masih harus ternomorduakan. Entah akibat ramalan, atau memang benar ‘takdir’ yang mendorong Lan Fang alias Yang Liu untuk selalu saja tidak beruntung dengan hubungan cintanya.

Barangkali tidak gampang mencari jodoh bagi perempuan dimana tengara umum yang berkembang adalah bahwa jumlah perempuan dikatakan lebih banyak daripada laki-laki. Apalagi, beberapa waktu lalu isu pro-kontra poligami merebak dengan hangat dan bahkan sempat menjadi bola politik. Dan, Para Lan Fang dalam kumpulan cerpen ini sepertinya harus menerima kenyataan untuk tersuruk-suruk dalam percintaan bahkan acapkali ‘tidak kebagian pria sama sekali’.

Pada kebanyakan cerpen, penulis sepertinya mencoba memberikan gambaran atas ketimpangan struktur sosial yang secara kultural masih memarginalkan perempuan. Lan Fang yang meskipun bisa dianggap lebih beruntung dengan berparas cantik daripada kebanyakan wanita, tetapi tetap saja pandangan politik gender menempatkan dirinya secara sosial, psikologis, dan bahkan dihadapan takdir menjadi yang ternomorsekiankan. Sudah perempuan, keturunan Cina, tidak kaya, bahkan tersubordinasi di hadapan takdir yang membawanya sebagai pembawa sial, dekat dengan ketidakberuntungan bahkan kematian.

Pada wilayah politik gender, alteritas mengkonstruksi perempuan sebagai yang Lain yang mana secara tradisional perempuan dianggap sebagai segala sesuatu di mana laki-laki tidak demikian, lebih jauh laki-laki adalah sebagai segala sesuatu di mana perempuan tidak mampu lakukan. Perempuan mengalami alteritasnya tidak hanya dalam perbedaan kelamin dan posisi gender; tetapi juga terkait dengan latarbelakang etnis, pendidikan, profesi, kelas sosial, dan ketidakmampuan fisik ataupun psikologis (Cavallaro). Nampaknya, penulis berusaha mengilustrasikan hal-hal ini, salah satunya seperti pada cerpen, Cerita Ini Dimulai dari Tengah, ataupun Calon Menantu.

Dengan posisi sebagai ‘the second sex’ perempuan seringkali ditempatkan pada konteks ekofominisme yang mengaitkannya dengan Bumi sebagai kehidupan, kesuburan, pengasuhan, dan pemeliharaan yang secara khusus digerakkan oleh elemen yang bersifat keperempuanan, dan keibuan. Hal ini mendevaluasi secara metaforis baik posisi perempuan maupun alam. Merendahkan perempuan sebagai yang Lain dengan metafora semacam: ladang persemaian, sapi perah, anjing betina dsb. Dengan begitu baik perempuan dan alam dianggap sebagai yang disediakan ataupun obyek untuk konsumsi laki-laki. Dalam hal ini, panulis juga menyinggung isu ekofeminis sebagai ladang persemaian dan kesuburan ini seperti pada cerpen Bayi Ke Tujuh.

Yang lainnya, pada kumpulaan cerpen Yang Liu, penulis juga bercerita banyak tentang budaya peranakan, ritualisme seperti detail prosesi pemakaman masyarakat keturunan, mitologi, maupun simbolisme. Kumpulan cerpen ini juga diwarnai ironisme, dimana tak hanya para lelaki yang mampu menindas seorang perempuan bisa berbuat hal yang sama: Rumah Tanpa Cermin. Penulis juga mengambil sudut pandang sebagai ‘orang dalam’ alias subyek yang me-lain-kan, dan bukan sang Lain itu sendiri. Dengan demikian suasana ironis begitu terasa manakala pembaca disuguhi kenyataan bahwa sang aku liris justru terlihat kurang bermoral karenan terjebak dalam pikiran-pikiran rendahan yang klasis, dan rasialisnya sendiri seperti pada cerpen: Calon Menantu.

Beberapa narasi mempunyai jalinan lumayan kuat, metaforis, dan bernada liris. Berbekal dengan pengalaman dan tehnis menulis yang dimilikinya, penulis berusaha bermain suspense pada alur cerita seperti pada: Cerita Ini Dimulai dari Tengah dan permainan sudut pandang bisa ditemukan pada cerpen Dua Perempuan. Barangkali yang ‘disayangkan’ adalah justru tokoh-tokoh utama mengambil nama Lan Fang. Penamaan tokoh yang meskipun tidak boleh secara langsung diasosiasikan dengan biografis pengarangnya, betapapun mirip. Tetapi, bisa jadi bagi beberapa pembaca hal tersebut masih meninggalkan kesan referensial biografis yang kuatv terhadap penulisnya yang juga perempuan keturunan Cina dan bernama Lan Fang tersebut.

Meskipun penamaan Lan Fang mengandung resiko asosiatif dengan biografis pengarangnya; tetapi penulis berusaha kuat menampilkan karakter-karakter sebagai ungkapan alterego. Tetapi, tak urung, kesan kurang pede masih agak terasa. Barangkali, dengan maksud seakan-akan untuk mengurangi kadar referensial yang asosiatif itu penulis lebih memilih nama Yang Liu daripada Lan Fang sebagai judul utama. Bahkan, pada cerpen Yang Liu sendiri seringkali penulis menambahinya dengan ‘Saya lebih suka memanggilnya Yang Liu’ . Entahlah, apakah benar Lan Fang (penulis) kurang pede dengan pemakaian nama tokoh Lan Fang itu sendiri. Atau, barangkali memang seperti yang dia tegaskan bahwa penamaan Lan Fang adalah langkah paling mudah untuk menghindari perasaan bersalah atas nasib karakter-karakter rekaanya dari kemiripan nama-nama yang berbau ‘oriental’ di luar sana.

Secara keseluruhan mungkin apa yang coba diungkap oleh penulis barangkali tergambar pada cerpen Yang Liu, yang dijadikan judul utama kumpulan cerpen ini. Sebagai perempuan dalam ruang lingkup alteritas, memberi warna dan kecantikan. Merawat kematian kemudian memaknainya dengan lebih adalah barangkali hal terakhir yang bisa dilakukan agar setidaknya hidupnya punya essensi. Meskipun dalam sudut pandang tertentu hal ini bisa diartikan sebagai bunuh diri secara mentalitas, tetapi, setidaknya lebih baik daripada bunuh diri secara fisik.

Bono A.J.
Penikmat Sastra Populer, salah seorang moderator di milis APSAS

Warung Cak Bono : Poligami bukan penindasan…dan boleh tuh!

Warung Cak Bono : Poligami bukan penindasan…dan boleh tuh!

Sepi warung diperkosa oleh bau bumbu mie instan yang menyengat menusuk-nusuk hidungku. “Mmmie apa ini? Bumbunya seperti bau urine yang belum disiram!” Menyalahkan pilihan mie instan pemesan itu. Wajahku memerah akibat uap panas dari panci, bercampur dengan panas kompor gas. Sepi, dan sang pemesan-satu-satunya malam ini terlihat seperti sedang asal saja melihat-lihat koran. Kusiapkan mie goreng instan pesanannya.

Mulai menerawang :

Perempuan, ah perempuan, mahluk yang kadang susah dimengerti. Coba lihat berita dan gambar seorang penyanyi dangdut; kabarnya masalah ini sempat menjadi bola politik. Dan, isu negatif poligami yang merebak sempat menyeret Dai kondang. Bahkan, entah serius atau tidak undang-undang poligami juga tengah dipertimbangkan dengan lebih serius untuk aparatur negara.

Perempuan mahluk yang manis, lembut dan jinak, tetapi mana sanggup bersaing dengan mereka para perempuan di kantor. Saat ini mereka terasa begitu cair menyeberang kesana-kemari melintas batas dengan stiletonya. Kadang teman, kadang kekasih, kadang saingan, kadang mangsa jinak di padang rumput. Sekali waktu menolak poligami, tetapi disaat lainnya perasaan mereka seakan bisa dibaca dengan ungkapan jujur semacam lagu Astrid: …jadikan aku yang kedua buatlah hidupku bahagia, walaupun kau tak kan pernah kumiliki selamanya…Penghamba cinta dan kesetiaan yang katanya lebih hebat dari laki-laki!

Seperti laki-laki lainnya, aku pernah mengalami badai hebat cinta seorang perempuan. Sebenarnya, aku sayang sama dia tapi kelakuannya itu yang menakutkan! Entah apa namanya itu, posesifkah, atau entahlah. Aku mengenalnya kurang dari setahun, dan tahu-tahu kita sudah sering keluar bersama, dan memang dia yang nembak duluan! Tak beri banyak kesempatan untuk berpikir. Pada akhirnya, memaksaku untuk bilang : Yah…kita jalan tapi aku tak tahu apakah perasaan ini cinta.

Berikutnya terdengar seperti cerita-cerita sinetron:

Selang beberapa waktu memang kita terlihat seperti pasangan, tetapi masalah timbul dan perasaan ini menikung tiba-tiba. Ada sosok perempuan lain yang memenuhi ruang pandangku. Dan cilakanya, dia memperhatikan perubahan itu. Perempuan memang peka, dia tahu angin sedang berubah arah. Dan, kukatakan saja padanya bahwa aku suka perempuan itu, tipe dan karakter sepertinya.

Sungguh suatu kesalahan jika kau jujur kepada perempuan! Mereka akan berubah menjadi burung merak yang agresif pamer bulu kepada saingannya. Ingat puisi Coctail Party, Toeti Heraty? Amuk badai antara insan itu? Jangan beri mereka saingan!

Hubungan kita menjadi aneh dengan sikapnya yang selalu saja berusaha mengkopi-paste perempuan lain itu malah membuatku eneg. Maka kubilang saja, ‘Kau takkan pernah bisa jadi dia!’. Sekali lagi jangan pernah jujur kepada perempuan! Dia malah mengartikan bahwa aku benar-benar suka kepada perempuan lain itu; dengan begitu posisi perempuan lain itu tak akan terhapuskan. Pikiran yang aneh!

Rokok bergemeretak ke tengah :

Perempuan, kata Lula Kamal pada sebuah acara tipi adalah mahluk dengan derajat kesirikan (ke-iri-an) tinggi. Barangkali memang seperti itu, mereka cenderung bersaing dan bahkan kurang bisa menerima persaingan sesama jenis. Seorang direktris bisa untuk tidak berfikir dua kali untuk lebih merampingkan dan memotong saingan sesama jenis yang mengancam posisinya dalam suatu struktur.

Mereka seperti tak mau bersaing satu sama lain kecuali memuncakinya sebagai satu-satunya Ratu. Mungkin benar juga. ‘Pacar’ku itu sepertinya berfikir taktis. Dia mendatangi perempuan lain itu, setelah berpura-pura tak mengenalku bertanya apa dia juga punya angin untukku. Jawaban yang salah kembali muncul:’ iya!’. Kemudian, pada saat lain balik menanyakan kepadaku apakah aku benar-benar punya angin kepadanya, jawabanku melipatgandakan emosinya: ‘kau cari tahulah di mataku’

Perempuan memang kuat! Bahkan katanya kekuatan mereka pada saat di dalam kandungan pun melebihi bayi laki-laki. Entah apa yang akan ditempuh oleh perempuan lain, tapi kali ini pun dia tak mau menyerah. Berikutnya adalah tindakan yang terpaksa mengganggu hubungan kami bertiga selamanya. Pada suatu sore dia kembali menemui sang perempuan lain itu dan berkata dengan nada tenang dan bijak.’Aku tak akan menghalangi hubungan kalian, dengan demikian maukah kau menjadi MADU-ku…mau kah kau jadi yang ke dua…? Karena aku sangat mencintainya…!’

Sebuah pernyataan yang saat itu menurutku tak perlu. Karena kuanggap kita masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan. Entah tindakanya itu benar atau tidak, emosional atau tidak. Yang jelas, pada saat itu aku memang tidak berpikiran untuk poligami, dan perempuan lain itu tentu saja seperti kebanyakan perempuan lain tak mau menjadi yang ke dua. Dengan segenap perasaannya, perempuan lain itu hanya mensaratkan ‘kalo bukan aku seorang lebih baik aku mundur’. Sementara perempuan lain itu bersama waktu menyembuhkan luka, ‘pacar’ku itu semakin menunjukkan determinasi dan romantisme atas kepemilikan cintanya kepadaku yang sulit ditandinginya. Tak peduli aku eneg atau tidak.

Laki-laki itu berhenti bercerita, menginjak rokoknya dan mulai menghadap ke mie instannya sambil kembali berkicau:

“Kita memang telah berpisah dan mereka entah bagaimana, setahuku ‘pacar’ku itu sekarang di Jerman, dan sempat berkirim surat dengan tinta merah…hhhmmm “ Dia menggumam sambil jari tangannya terus membentuk angka dua tiap kali menyebut pacar.
Dia melanjut kembali obrolan yang rasanya lamban dan membosankan itu :

“Tanpa bermaksud menyinggung agama manapun, sebaiknya poligami memang bukan menjadi masalah, kalau memang perempuan itu sendiri mau menjalaninya, kenapa kita ribut, melarang-larang bahkan meng-UU-kannya?”

“Poligami bukan kejahatan, bila perempuan itu sadar dan kebetulan mau, yah biarkan saja… Lagian, masalah poligami itu seperti masalah pilihan saja dan pada dasarnya tak ada hubungannya dengan penindasan”

“Pada jaman sekarang, perempuan kantoran dan berpendidikan pun tak jarang mau dijadikan menjadi yang kedua…ya thoh!...hehehehe…” Dia menyeringai.

“Perempuan sekarang sudah pintar jadi gak usah diatur-atur, dan jadikan saja mereka pintar-pintar. Masalah utama penindasan terjadi karena kebodohan dan keterbelakangan, dan bukan poligami. Jadi kalau ada perempuan berpendidikan mau dipoligami itu berarti mereka sadar dan telah berfikir logis. Terus, jangan dipojokkan, apalagi menggolongkan mereka sebagai yang tertindas. Poligami bukan penindasan…dan boleh tuh…hehehehe..” Dia kembali menyeringai.

Lalu, kutanyakan kepadanya : “ Cak, sampean berpoligami?”
“Ah nggak cak, gak berani…gak berani sama yang di rumah, dan uangnya yang paling gak berani…hehehe…”
Distributor roti untuk warungku itu ketawa ringan. Dia ku beri gratis mie instan pesanannya karena minggu ini rotinya lumayan laku di warungku.

Setelah selesai dengan mie instanya, dan hendak memesan minuman:

“Poligami…enak cak Bono!” Dia memesan kopi susu sambil nyegir lagi.
Lalu kubalas: “Cak mau kopi saya?” Sambil tersenyum menawarkan gelas kopiku yang baru saja ku minum.
Dia ketawa: “Hehehe…nyindir iki rek! Mosok enak kopi sak gelas dikaroni…mosok enak bojo siji dikaroni…hehehehe…”
Aku ketawa kecil: “Aku gak ngomong koyo ngono lho cak…hahahaha…”

Malam masih muda, dan aku sudah merindukanmu!

*Bn

Dikaroni = dinikmati berdua

Friday, March 16, 2007

Warung Cak Bono : Bunuh Diri!

Wak Jani memarkir becaknya sambil tangannya menelunjuk, kode yang telah dimengerti benar: Kopi Jahe. Tangannya meraih koran dan satunya lagi mengambil kacamata dan membenamkan kewajahnya dengan satu tangan. Mulutnya berkomat-kamit, tapi suaranya seperti sengaja diperdengarkan agak keras. Lebih keras daripada menggumam dan dengan nada agak sinis dibacanya berita tentang bunuh dirinya seorang ibu setelah meracuni anak-anaknya dengan potas.

“Opo-opoan iki! Nek wis putus asa yo gak usah ngajak-ngajak wong liyo!”

Mulutnya mengepulkan asap dari rokok tingwe yang ujungnya bergemeretak terbakar. Bau mulutnya menyembur bercampur aroma rokoknya yang khas.

“Yo bener iki dudu bunuh diri masal, tapi pembunuhan diikuti oleh bunuh diri! Wah-wah, tobat…tobat…ono opo iki?”

Cak Jo yang dari tadi sibuk membolak-balik koran halaman olahraga menyahut:

“Halah..halah…pean iku, rame ae! Lha aku iki malah seneng ono bunuh diri hehehe…!”

“Lha kok iso!! Pancene koen iku seimpel-sinting-geblek!!!” Kata Wak Jani.

“Iyo lha wong bek kiri Persicurut melakukan tendangan safety first bunuh diri nang gawange Persitikus…hahaha…aku menang taruhan mbah!”

“Oh ancene…irungmu pesok! Dengkulmu anjlok! Koen ngomong bal-balan tah!”

Warung jadi rame dan riuh penuh dengan pisuhan dan umpatan sebangsa acara Empat Mata. Tak sobek-sobek cangkemmu dan Puas…puas…puas! Sayang gak ada cewek cakep disini kecuali wong lanang pentol korek tok! Udah botak, kere lagi. Wis pokoke gak mak-nyus blas.

Wak Jani menyeruput kopinya sambil bibirnya mbecong-monyong kepanasan. Lupa kalo kopi jahenya belum didinginkan. Dan efeknya, kembali Cak Jo ngakak dengan nada menghina seperti Pak Hendra OB.

“Eh sakno Cak Jo, wong tuwo kok diguyu-guyu, wes weruh nek Wak Jani iku darah tinggi lha kok ditanggap terus!” Aku berkata sambil sedikit tersenyum dengan kaki kiri menggaruk-garuk kaki sebelah kanan akibat digigiti nyamuk.

Sesaat setelah riuh. Suasana kembali dipenuhi suara tivi dan buah-buah catur yang berderak disusun kembali. Sepi. Dan, mereka tenggelam dalam lamunannya masing-masing: tanggal masih muda dan kantong sudah sangat uzur begitu kira-kira isi kepala mereka.

Mungkin, bisa jadi bunuh diri terlintas dikepala mereka akibat pukulan bencana-bencana dan cekikan kebutuhan hidup plus utang. Tapi, mengapa justru belakangan berita yang berkembang di koran malah bunuh diri dilakukan oleh orang-orang dari keluarga dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dan tingkat ekonomi yang dikata lebih tinggi; apa harga diri mereka lebih mahal dari kumpulan tukang becak dan pengaduk kopi macem aku ini…mmhh absurd!

Beberapa waktu lalu sempat kubaca kalo tak salah ingat dari psikolog Sartono mukadis bahwa bunuh diri mempunyai tendensi macem-macem, ada yang bertendensi heroisme, romantisme bahkan ditengara genetis juga. Romantisme, bunuh diri agar mendapatkan perhatian dari seseorang, yah perhatian! Menurut pemahaman cekakku, romantis itu memang cenderung terlalu sentimental. Apa yang membuat manusia begitu romantis? Bukankah penyair selalu begitu romantis?

Hemingway bunuh diri, Anne sexton dan Sylvia Plath bunuh diri, Emily Dickinson depresi; dan Marquis De Sade neurosis tetapi karya-karya mereka cukup diakui dan bahkan dianggap inspiratif. Gibran yang begitu liris merayu dan romantis. Shakespeare yang romantis, menjalin laku bunuh diri Romeo dan kemudian Juliet terasa begitu agung, begitu indah. Tetapi bagaimanapun juga, tetap saja itu bunuh diri. Meski tak terasa terlalu menghina akal sehat kita, kisah bunuh diri Romeo dan Juliet tetap saja tak masuk akal.

Cinta yang romantis, cinta yang inspiratif, aku bahkan pernah dijuluki si pengaduk kopi yang romantis. Mungkin benar adanya, disaat emosi entah itu karena cinta atau kehilangan yang merupakan saudara dempet aku seringkali murung berlebihan bahkan mogok berpikir bertahun-tahun. Agar dia tahu, agar dia mendengar, agar dia berempati. Jadinya, Romantisme terdengar seperti semacam kebutuhan untuk didengarkan, diakui eksistensinya, diperhatikan dan direspon dengan sama hangatnya. Ah romantisme memang mahal, jika perlu harus ditebus dengan nyawa. Kini, aku lebih baik beku dan bisu saja daripada otak dan puisi ecek-ecekyang terus menggenang dan membanjiri perasaan hingga ancur mumur.

Bila romatisme bisa jadi racun yang paling mematikan kepada jiwa kemudian merenggut nyawa, kenapa perilaku romantis masih saja seakan terasa agung. Berbeda dengan fiksi pilihan kematian dalam kehidupan tidak dapat dilalui berulang-ulang. Sekali mati dalam hidup, yah sudah, lewat-lunas-dan tandas. Bila tahu demikian, kenapa penulis dan pembaca menyukai kepedihan tokoh-tokoh fiksi, romantisme tokoh-tokohnya, dan ikut menikmati kematian sebagai katarsisme? Apa enaknya perih dan kematian hingga begitu banyak manusia menikmatinya dalam fiksi? Bon Jovi dalam In these arms bersyair:

Like roses wonder rain, like a boat needs the wind, like a poet needs the pain…I need you! Memang puisi seakan makin perih makin berisi, ah betapa masokis.

Media-media kita tak urung harus mengakui kecenderungan ini, lihat sinetron yang dipenuhi oleh orang-orang sakit parah menjelang mati, dan penyelesaian-penyelesaian cerita dengan kematian. Dan pengorbanan yang meroket tak masuk akal begitu agung bagi perasaan kita, dan digemari. Menjadi sebuah pilihan utama: Berlaku dengan Romantis, dengan berlebihan tak masuk akal.

Lewat Max Milner. Dalam sebuah teksnya yang tak begitu dikenal, Considerations actuelles sur la guerre et sur la mort, 1915, Freud menyimpulkan, bagaimana sastra dan drama merupakan kompensasi pengalaman kematian kita, dan bagaimana ciri tersebut menjadi pilihan wilayah narsisme. Dalam wilayah fiksi, kita menemukan kemajemukan hidup yang kita butuhkan. Kita dapat mati seperti tokoh utama yang kita sukai, sementara pada kenyataanya kita terus hidup dan siap mati lagi dengan tokoh lain dan dengan cara dan pengalaman yang lain dalam keadaan sehat dan selamat.

Sastra, drama, film dan seni memungkinkan kita untuk bersimulasi melipatgandakan kematian. Mati dengan cara pilihan kita. Menyeberangi laut gelap kematian berkali-kali, merasakan bahwa seakan-akan sakit dan kematian begitu jinak! Begitu jinak sehingga dengan mudah buku-buku sastra, drama, film dan media seni lainnya membuat mati nampak menjadi momen romantis yang jinak; tak jarang herois. Padahal, benarkah kematian sejinak itu? Tentu hanya para jenazah dan para orang mati yang mengetahuinya. Maka pilihan identifikasi- proyeksi dan inhibisi dalam bersastra, dan berkesenian sepertinya juga dalam ukuran tertentu bisa jadi menyulut aksi bunuh diri dengan latar romantisme dan heroisme ini.

Sejauh mana aja aku bisa merasakan manis atau pahitnya barangkali setelah kopi jahe kedua Wak Jani ini sempurna teraduk.

Klunting…klunting…klunting…klunting…klunting