Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Saturday, March 17, 2007

Warung Cak Bono : Poligami bukan penindasan…dan boleh tuh!

Warung Cak Bono : Poligami bukan penindasan…dan boleh tuh!

Sepi warung diperkosa oleh bau bumbu mie instan yang menyengat menusuk-nusuk hidungku. “Mmmie apa ini? Bumbunya seperti bau urine yang belum disiram!” Menyalahkan pilihan mie instan pemesan itu. Wajahku memerah akibat uap panas dari panci, bercampur dengan panas kompor gas. Sepi, dan sang pemesan-satu-satunya malam ini terlihat seperti sedang asal saja melihat-lihat koran. Kusiapkan mie goreng instan pesanannya.

Mulai menerawang :

Perempuan, ah perempuan, mahluk yang kadang susah dimengerti. Coba lihat berita dan gambar seorang penyanyi dangdut; kabarnya masalah ini sempat menjadi bola politik. Dan, isu negatif poligami yang merebak sempat menyeret Dai kondang. Bahkan, entah serius atau tidak undang-undang poligami juga tengah dipertimbangkan dengan lebih serius untuk aparatur negara.

Perempuan mahluk yang manis, lembut dan jinak, tetapi mana sanggup bersaing dengan mereka para perempuan di kantor. Saat ini mereka terasa begitu cair menyeberang kesana-kemari melintas batas dengan stiletonya. Kadang teman, kadang kekasih, kadang saingan, kadang mangsa jinak di padang rumput. Sekali waktu menolak poligami, tetapi disaat lainnya perasaan mereka seakan bisa dibaca dengan ungkapan jujur semacam lagu Astrid: …jadikan aku yang kedua buatlah hidupku bahagia, walaupun kau tak kan pernah kumiliki selamanya…Penghamba cinta dan kesetiaan yang katanya lebih hebat dari laki-laki!

Seperti laki-laki lainnya, aku pernah mengalami badai hebat cinta seorang perempuan. Sebenarnya, aku sayang sama dia tapi kelakuannya itu yang menakutkan! Entah apa namanya itu, posesifkah, atau entahlah. Aku mengenalnya kurang dari setahun, dan tahu-tahu kita sudah sering keluar bersama, dan memang dia yang nembak duluan! Tak beri banyak kesempatan untuk berpikir. Pada akhirnya, memaksaku untuk bilang : Yah…kita jalan tapi aku tak tahu apakah perasaan ini cinta.

Berikutnya terdengar seperti cerita-cerita sinetron:

Selang beberapa waktu memang kita terlihat seperti pasangan, tetapi masalah timbul dan perasaan ini menikung tiba-tiba. Ada sosok perempuan lain yang memenuhi ruang pandangku. Dan cilakanya, dia memperhatikan perubahan itu. Perempuan memang peka, dia tahu angin sedang berubah arah. Dan, kukatakan saja padanya bahwa aku suka perempuan itu, tipe dan karakter sepertinya.

Sungguh suatu kesalahan jika kau jujur kepada perempuan! Mereka akan berubah menjadi burung merak yang agresif pamer bulu kepada saingannya. Ingat puisi Coctail Party, Toeti Heraty? Amuk badai antara insan itu? Jangan beri mereka saingan!

Hubungan kita menjadi aneh dengan sikapnya yang selalu saja berusaha mengkopi-paste perempuan lain itu malah membuatku eneg. Maka kubilang saja, ‘Kau takkan pernah bisa jadi dia!’. Sekali lagi jangan pernah jujur kepada perempuan! Dia malah mengartikan bahwa aku benar-benar suka kepada perempuan lain itu; dengan begitu posisi perempuan lain itu tak akan terhapuskan. Pikiran yang aneh!

Rokok bergemeretak ke tengah :

Perempuan, kata Lula Kamal pada sebuah acara tipi adalah mahluk dengan derajat kesirikan (ke-iri-an) tinggi. Barangkali memang seperti itu, mereka cenderung bersaing dan bahkan kurang bisa menerima persaingan sesama jenis. Seorang direktris bisa untuk tidak berfikir dua kali untuk lebih merampingkan dan memotong saingan sesama jenis yang mengancam posisinya dalam suatu struktur.

Mereka seperti tak mau bersaing satu sama lain kecuali memuncakinya sebagai satu-satunya Ratu. Mungkin benar juga. ‘Pacar’ku itu sepertinya berfikir taktis. Dia mendatangi perempuan lain itu, setelah berpura-pura tak mengenalku bertanya apa dia juga punya angin untukku. Jawaban yang salah kembali muncul:’ iya!’. Kemudian, pada saat lain balik menanyakan kepadaku apakah aku benar-benar punya angin kepadanya, jawabanku melipatgandakan emosinya: ‘kau cari tahulah di mataku’

Perempuan memang kuat! Bahkan katanya kekuatan mereka pada saat di dalam kandungan pun melebihi bayi laki-laki. Entah apa yang akan ditempuh oleh perempuan lain, tapi kali ini pun dia tak mau menyerah. Berikutnya adalah tindakan yang terpaksa mengganggu hubungan kami bertiga selamanya. Pada suatu sore dia kembali menemui sang perempuan lain itu dan berkata dengan nada tenang dan bijak.’Aku tak akan menghalangi hubungan kalian, dengan demikian maukah kau menjadi MADU-ku…mau kah kau jadi yang ke dua…? Karena aku sangat mencintainya…!’

Sebuah pernyataan yang saat itu menurutku tak perlu. Karena kuanggap kita masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan. Entah tindakanya itu benar atau tidak, emosional atau tidak. Yang jelas, pada saat itu aku memang tidak berpikiran untuk poligami, dan perempuan lain itu tentu saja seperti kebanyakan perempuan lain tak mau menjadi yang ke dua. Dengan segenap perasaannya, perempuan lain itu hanya mensaratkan ‘kalo bukan aku seorang lebih baik aku mundur’. Sementara perempuan lain itu bersama waktu menyembuhkan luka, ‘pacar’ku itu semakin menunjukkan determinasi dan romantisme atas kepemilikan cintanya kepadaku yang sulit ditandinginya. Tak peduli aku eneg atau tidak.

Laki-laki itu berhenti bercerita, menginjak rokoknya dan mulai menghadap ke mie instannya sambil kembali berkicau:

“Kita memang telah berpisah dan mereka entah bagaimana, setahuku ‘pacar’ku itu sekarang di Jerman, dan sempat berkirim surat dengan tinta merah…hhhmmm “ Dia menggumam sambil jari tangannya terus membentuk angka dua tiap kali menyebut pacar.
Dia melanjut kembali obrolan yang rasanya lamban dan membosankan itu :

“Tanpa bermaksud menyinggung agama manapun, sebaiknya poligami memang bukan menjadi masalah, kalau memang perempuan itu sendiri mau menjalaninya, kenapa kita ribut, melarang-larang bahkan meng-UU-kannya?”

“Poligami bukan kejahatan, bila perempuan itu sadar dan kebetulan mau, yah biarkan saja… Lagian, masalah poligami itu seperti masalah pilihan saja dan pada dasarnya tak ada hubungannya dengan penindasan”

“Pada jaman sekarang, perempuan kantoran dan berpendidikan pun tak jarang mau dijadikan menjadi yang kedua…ya thoh!...hehehehe…” Dia menyeringai.

“Perempuan sekarang sudah pintar jadi gak usah diatur-atur, dan jadikan saja mereka pintar-pintar. Masalah utama penindasan terjadi karena kebodohan dan keterbelakangan, dan bukan poligami. Jadi kalau ada perempuan berpendidikan mau dipoligami itu berarti mereka sadar dan telah berfikir logis. Terus, jangan dipojokkan, apalagi menggolongkan mereka sebagai yang tertindas. Poligami bukan penindasan…dan boleh tuh…hehehehe..” Dia kembali menyeringai.

Lalu, kutanyakan kepadanya : “ Cak, sampean berpoligami?”
“Ah nggak cak, gak berani…gak berani sama yang di rumah, dan uangnya yang paling gak berani…hehehe…”
Distributor roti untuk warungku itu ketawa ringan. Dia ku beri gratis mie instan pesanannya karena minggu ini rotinya lumayan laku di warungku.

Setelah selesai dengan mie instanya, dan hendak memesan minuman:

“Poligami…enak cak Bono!” Dia memesan kopi susu sambil nyegir lagi.
Lalu kubalas: “Cak mau kopi saya?” Sambil tersenyum menawarkan gelas kopiku yang baru saja ku minum.
Dia ketawa: “Hehehe…nyindir iki rek! Mosok enak kopi sak gelas dikaroni…mosok enak bojo siji dikaroni…hehehehe…”
Aku ketawa kecil: “Aku gak ngomong koyo ngono lho cak…hahahaha…”

Malam masih muda, dan aku sudah merindukanmu!

*Bn

Dikaroni = dinikmati berdua

2 comments:

Gita Pratama said...

oo gitu ya?
heran kmaren2 gak kebaca yang ini. padahal menarik sekali paklik..!

emang perempuan tuh aneh..! mangkane aku gak cinta sama perempuan.
hehehehehehe...

Cak Bono said...

hehehe...siap dipoligami gak?