Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Friday, March 16, 2007

Warung Cak Bono : Bunuh Diri!

Wak Jani memarkir becaknya sambil tangannya menelunjuk, kode yang telah dimengerti benar: Kopi Jahe. Tangannya meraih koran dan satunya lagi mengambil kacamata dan membenamkan kewajahnya dengan satu tangan. Mulutnya berkomat-kamit, tapi suaranya seperti sengaja diperdengarkan agak keras. Lebih keras daripada menggumam dan dengan nada agak sinis dibacanya berita tentang bunuh dirinya seorang ibu setelah meracuni anak-anaknya dengan potas.

“Opo-opoan iki! Nek wis putus asa yo gak usah ngajak-ngajak wong liyo!”

Mulutnya mengepulkan asap dari rokok tingwe yang ujungnya bergemeretak terbakar. Bau mulutnya menyembur bercampur aroma rokoknya yang khas.

“Yo bener iki dudu bunuh diri masal, tapi pembunuhan diikuti oleh bunuh diri! Wah-wah, tobat…tobat…ono opo iki?”

Cak Jo yang dari tadi sibuk membolak-balik koran halaman olahraga menyahut:

“Halah..halah…pean iku, rame ae! Lha aku iki malah seneng ono bunuh diri hehehe…!”

“Lha kok iso!! Pancene koen iku seimpel-sinting-geblek!!!” Kata Wak Jani.

“Iyo lha wong bek kiri Persicurut melakukan tendangan safety first bunuh diri nang gawange Persitikus…hahaha…aku menang taruhan mbah!”

“Oh ancene…irungmu pesok! Dengkulmu anjlok! Koen ngomong bal-balan tah!”

Warung jadi rame dan riuh penuh dengan pisuhan dan umpatan sebangsa acara Empat Mata. Tak sobek-sobek cangkemmu dan Puas…puas…puas! Sayang gak ada cewek cakep disini kecuali wong lanang pentol korek tok! Udah botak, kere lagi. Wis pokoke gak mak-nyus blas.

Wak Jani menyeruput kopinya sambil bibirnya mbecong-monyong kepanasan. Lupa kalo kopi jahenya belum didinginkan. Dan efeknya, kembali Cak Jo ngakak dengan nada menghina seperti Pak Hendra OB.

“Eh sakno Cak Jo, wong tuwo kok diguyu-guyu, wes weruh nek Wak Jani iku darah tinggi lha kok ditanggap terus!” Aku berkata sambil sedikit tersenyum dengan kaki kiri menggaruk-garuk kaki sebelah kanan akibat digigiti nyamuk.

Sesaat setelah riuh. Suasana kembali dipenuhi suara tivi dan buah-buah catur yang berderak disusun kembali. Sepi. Dan, mereka tenggelam dalam lamunannya masing-masing: tanggal masih muda dan kantong sudah sangat uzur begitu kira-kira isi kepala mereka.

Mungkin, bisa jadi bunuh diri terlintas dikepala mereka akibat pukulan bencana-bencana dan cekikan kebutuhan hidup plus utang. Tapi, mengapa justru belakangan berita yang berkembang di koran malah bunuh diri dilakukan oleh orang-orang dari keluarga dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dan tingkat ekonomi yang dikata lebih tinggi; apa harga diri mereka lebih mahal dari kumpulan tukang becak dan pengaduk kopi macem aku ini…mmhh absurd!

Beberapa waktu lalu sempat kubaca kalo tak salah ingat dari psikolog Sartono mukadis bahwa bunuh diri mempunyai tendensi macem-macem, ada yang bertendensi heroisme, romantisme bahkan ditengara genetis juga. Romantisme, bunuh diri agar mendapatkan perhatian dari seseorang, yah perhatian! Menurut pemahaman cekakku, romantis itu memang cenderung terlalu sentimental. Apa yang membuat manusia begitu romantis? Bukankah penyair selalu begitu romantis?

Hemingway bunuh diri, Anne sexton dan Sylvia Plath bunuh diri, Emily Dickinson depresi; dan Marquis De Sade neurosis tetapi karya-karya mereka cukup diakui dan bahkan dianggap inspiratif. Gibran yang begitu liris merayu dan romantis. Shakespeare yang romantis, menjalin laku bunuh diri Romeo dan kemudian Juliet terasa begitu agung, begitu indah. Tetapi bagaimanapun juga, tetap saja itu bunuh diri. Meski tak terasa terlalu menghina akal sehat kita, kisah bunuh diri Romeo dan Juliet tetap saja tak masuk akal.

Cinta yang romantis, cinta yang inspiratif, aku bahkan pernah dijuluki si pengaduk kopi yang romantis. Mungkin benar adanya, disaat emosi entah itu karena cinta atau kehilangan yang merupakan saudara dempet aku seringkali murung berlebihan bahkan mogok berpikir bertahun-tahun. Agar dia tahu, agar dia mendengar, agar dia berempati. Jadinya, Romantisme terdengar seperti semacam kebutuhan untuk didengarkan, diakui eksistensinya, diperhatikan dan direspon dengan sama hangatnya. Ah romantisme memang mahal, jika perlu harus ditebus dengan nyawa. Kini, aku lebih baik beku dan bisu saja daripada otak dan puisi ecek-ecekyang terus menggenang dan membanjiri perasaan hingga ancur mumur.

Bila romatisme bisa jadi racun yang paling mematikan kepada jiwa kemudian merenggut nyawa, kenapa perilaku romantis masih saja seakan terasa agung. Berbeda dengan fiksi pilihan kematian dalam kehidupan tidak dapat dilalui berulang-ulang. Sekali mati dalam hidup, yah sudah, lewat-lunas-dan tandas. Bila tahu demikian, kenapa penulis dan pembaca menyukai kepedihan tokoh-tokoh fiksi, romantisme tokoh-tokohnya, dan ikut menikmati kematian sebagai katarsisme? Apa enaknya perih dan kematian hingga begitu banyak manusia menikmatinya dalam fiksi? Bon Jovi dalam In these arms bersyair:

Like roses wonder rain, like a boat needs the wind, like a poet needs the pain…I need you! Memang puisi seakan makin perih makin berisi, ah betapa masokis.

Media-media kita tak urung harus mengakui kecenderungan ini, lihat sinetron yang dipenuhi oleh orang-orang sakit parah menjelang mati, dan penyelesaian-penyelesaian cerita dengan kematian. Dan pengorbanan yang meroket tak masuk akal begitu agung bagi perasaan kita, dan digemari. Menjadi sebuah pilihan utama: Berlaku dengan Romantis, dengan berlebihan tak masuk akal.

Lewat Max Milner. Dalam sebuah teksnya yang tak begitu dikenal, Considerations actuelles sur la guerre et sur la mort, 1915, Freud menyimpulkan, bagaimana sastra dan drama merupakan kompensasi pengalaman kematian kita, dan bagaimana ciri tersebut menjadi pilihan wilayah narsisme. Dalam wilayah fiksi, kita menemukan kemajemukan hidup yang kita butuhkan. Kita dapat mati seperti tokoh utama yang kita sukai, sementara pada kenyataanya kita terus hidup dan siap mati lagi dengan tokoh lain dan dengan cara dan pengalaman yang lain dalam keadaan sehat dan selamat.

Sastra, drama, film dan seni memungkinkan kita untuk bersimulasi melipatgandakan kematian. Mati dengan cara pilihan kita. Menyeberangi laut gelap kematian berkali-kali, merasakan bahwa seakan-akan sakit dan kematian begitu jinak! Begitu jinak sehingga dengan mudah buku-buku sastra, drama, film dan media seni lainnya membuat mati nampak menjadi momen romantis yang jinak; tak jarang herois. Padahal, benarkah kematian sejinak itu? Tentu hanya para jenazah dan para orang mati yang mengetahuinya. Maka pilihan identifikasi- proyeksi dan inhibisi dalam bersastra, dan berkesenian sepertinya juga dalam ukuran tertentu bisa jadi menyulut aksi bunuh diri dengan latar romantisme dan heroisme ini.

Sejauh mana aja aku bisa merasakan manis atau pahitnya barangkali setelah kopi jahe kedua Wak Jani ini sempurna teraduk.

Klunting…klunting…klunting…klunting…klunting

No comments: