Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Wednesday, March 21, 2007

Review Buku: Simfoni ter-Pahit Bulan

Simfoni ter-Pahit Bulan


Judul Buku : Simfoni Bulan
Penerbit : Mediakita
Hal : x + 206
Penulis : Feby Indirani
Tahun : Cetakan kedua Maret 2006

Feby Indirani, penulis dan jurnalis wanita yang kritis mengangkat kerumitan kultural, struktur sosial dan perlawanan terhadap mitologi. Dunia sosial dan terutama isu bernada feminisme kental mewarnai novel Simfoni Bulan. Bercerita tentang seorang perempuan yang bernama Bulan. Perempuan dengan keinginan yang kuat yang terikat kuat oleh desakan superego yang mengitarinya. Sebagai persona yang menginginkan pencapaian atas aktualisasi diri, Bulan seakan harus mengalami serial kepahitan yang tak berujung.

Bulan sangat eksistensial-humanistik, percaya akan pencapaian maksimal. Sebagai seorang wanita muda yang ingin menjadi penulis ‘sejati’ dan karenanya harus merelakan tubuhnya sebagai alat yang memungkinkan dia mencapai tujuannya. Sebagai seorang wanita muda yang memuja dunia kepenulisan, ‘Vistya’, sang penulis sadomasokis memberinya pintu pertama yang menghantarnya sebagai seorang pelacur. Keputusan yang harus diambilnya selain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga demi mendapatkan pengalaman langsung yang sekiranya akan menjadi pilar utama novel yang sedang ditulisnya.

Eksentrisisme menular, begitulah kira-kira gambaran awal pertemuan Bulan dengan penulis pujaannya. Kemampuan Bulan dalam mengidentifikasi, memproyeksi, dan mengalami katarsisme atas perilaku dan karya nyentrik Vistya membuat mereka terlibat dalam suatu hubungan yang tak lazim. Bagi Vistya yang berkelakuan serupa Marquis De Sade ini, hubungan mereka lebih dari sekedar guru-murid ataupun kekasih melainkan juga terikat oleh semacam takdir atau barangkali karma?

Vistya menjadi semacam gambaran ideal bagi seorang Bulan, yang seperti kebanyakan stereotip perempuan feminis harus tersuruk-suruk dengan hubungannya dengan lelaki. Karena hasrat dan keinginan yang harus berkonfrontasi dengan lingkungannya. Tentunya bukan tanpa sebab Bulan menjadi begitu keras kepala, dan berkeinginan kuat. Tindakan manusia selalu dikondisikan oleh lingkungannya karena tingkah laku manusia adalah merupakan tanggapan terhadap kondisi lingkungannya. Pergaulannya sebagai jurnalis yang terlibat secara emosional dengan pelacur Kramat Tunggak memberinya gambaran bahwa selain sebagai komoditas perempuan juga merupakan objek bagi konsumsi kaum lelaki. Dan, para pelacur itu merupakan korban moralitas semu yang malah menekan kehidupan perekonomian mereka setelah Kramat Tunggak mengalami penggusuran untuk dijadikan rumah peribadatan.

Bulan sendiri harus menelan kepahitannya sendiri atas kekritisannya tersebut. Kemudian, setelah mengundurkan diri sebagai wartawati serangkaian tragedi terus menguntitnya. Sebagai seorang ibu angkat atas anak temannya, pelacur yang tewas terbunuh, Bulan juga sempat menjalin hubungan yang kandas dengan lelaki gombal bernama Gangga. Semakin terasa kelam dengan kebuntuannya dalam menulis novel, dan dinistakan para lelaki bahkan sahabatnya sendiri sebagai pelacur gagal Dan, tak kalah pelik hubungannya dengan ibunya sendiri juga mengalami kemacetan yang parah.

Puncak keruwetan terjadi ketika Bulan tahu pembunuh temannya yang juga ibu kandung anak angkatnya. Di saat yang bersamaan Ibu Bulan juga menjelang ajal akibat sakit parah. Tak kuasa menahan tekanan realitas yang menusuknya, Bulan pingsan di rumah sakit yang kemudian dengan cara ‘ajaib’ bertemu dengan Vistya; yang kemudian memberikannya kelahiran baru yang semu.

Berdua menghabiskan waktu di India, Bulan pada akhirnya menetap di India setelah ditinggal pergi begitu saja oleh Vistya, hal yang mestinya sudah dia mengerti betul. Namun yang tak kalah pahit adalah ironisme di akhir cerita, membuat orkestrasi kepahitan Bulan semakin getir dan mengkristal.

Dalam psikoanalisa Freud dikenal istilh: Id, dorongan alamiah jiwa manusia untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan kehendaknya tanpa kendali yang terletak dalam pikiran anak-anak. Superego, perwujudan dari wewenang diluar dirinya yang merepresi dengan keras keinginan Id. Ego, atau kesadaran, sementara itu, adalah penyeimbang antara hasrat Id dan tuntutan pengendalian dan pembatasan dari Superego. Dalam hal ini Bulan adalah karakter atau katakanlah kepanjangan dari Id yang harus berkonfrontasi dengan Ibunya yang mewakili superego. Bulan harus berhadapan dengan masa lalunya yang membuat hubungan dengan ibunya tak lebih dari keterasingan atau saling meninggalkan satu sama lain; dan adiknya Adit adalah gambaran dari Ego yang berusaha menyeimbangkan dendam Bulan kepada ibunya.

Bulan telah lama kehilangan figur Ibu, sepertinya hal inilah yang mendorongnya untuk mengangkat Bayu sebagai anak. Yang pada akhirnya menjadi beban ekonomi yang merupakan salah satu pendorongnya umtuk menjadi pelacur. Yang menarik disini adalah ironisme betapa seorang perempuan cerdas dan berpendidikan dengan berbagai alasan berubah haluan menjadi seorang pelacur.

Sepertinya semuanya bersumber dan ditorehkan oleh masa lalu Bulan yang trauma berat ditinggalkan oleh ibunya, dan semakin pilu karena sosok Papa bahkan tak pernah ada untuknya. Menjadi ambisius dan terlibat seks dengan banyak lelaki termasuk ideologi berkesenian Vistya. Hasrat untuk melawan keadaan diri dan masa lalunya yang semakin mendorongnya menjadi perek. Itupun, nantinya Bulan harus menerima nista yang lebih lagi dari sahabtanya yaitu bahkan menjadi pelacur pun seorang Bulan yang cerdas dan kritis itu tak sanggup. Lalu kolong manakah lagi yang sanggup membuatnya nampak sebagai perempuan, sekaligus hebat dan humanistik jika baginya kehidupan terasa berusaha begitu keras menolaknya?

*Bono

No comments: