Sirkuit Balap Akmal
Judul Buku : Ada Seseorang di Kepalaku Yang Bukan Aku
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Hal : 268
Penulis : Akmal Nasery Basral
Tahun : 2006
Setelah pengembaraan seorang Akmal dimulai pada novel bergaya detektif Imperia, kumpulan cerpennya menyusul dengan gaya yang relatif lebih kaya. Apakah memang Akmal lebih leluasa bermain dalam cerpen ketimbang novel? Atau kemungkinan eksplorasi yang lebih luas, atau bentuknya yang lumayan padat dan ekspresif membuatnya tertarik untuk mengembara dalam rimba cerpen dengan kemungkinan penggayaan yang lebih luas.
Berbeda dengan novelnya, cerpen-cerpen Akmal yang dikatakan Budi Darma sebagai seimbang dan merupakan putusan yang bijak bagi Akmal dalam menyeimbangkan tutntutan isi dan bentuk, terkesan membawa anasir-anasir metaforis maupun simbolik yang lebih kental. Pada novel pertamanaya Akmal berkecenderungan untuk ensiklopedis. Hal yang mungkin sangat tidak terlalu mendominasi pada kumpulan cerpen ini; namun alusi dan referensi yang mengacu kepada dunia populer dan gaya hidup masih merupakan spektrum yang dominan.
Bermodal cara bertutur yang lancar, dengan kalimat-kalimat yang efektif, dengan perbandingan-perbandingan yang cerdas tak jarang menggelitik. Dunia jurnalistik, dunia populer, dan arus informasi berkecepatan tinggi sepertinya membuatnya untuk lebih tidak memperhatikan jarak estetis. Kontekstual lebih mengemuka, dan fakta lebih penting dari motivasi. Peristiwa-peristiwa dikemasnya tak jarang dengan ujung yang mematahkan harapan pembacanya, menjauhkan harapan pembacanya. Kata Dedy Mizwar membawa ke lorong imaji yang terkadang agak gila namun berakhir mengejutkan syaraf.
Barangkali ada benarnya secara Akmal adalah juga wartawan yang menurut tengara Budi Darma pada akhirnya sadar-tak sadar telah mengambil sudut pandang dari profesinya itu. Dimana karena kecepatan laju informasi, yang dengan demikian mengharuskannya berhadapan secara terus-menerus dengan peristiwa yang datang silih berganti dalam kecepatan yang lebih tinggi. Pada akhirnya semua peristiwa yang dihadapinya terkesan menjadi biasa-biasa saja.
Di dalam kesederhanaan berbahasanya, ‘Ditengah riuh rendah permainan bahasa Akmal tampil tak jumawa… Bahasa yang tak angkuh. Alur yang tak bersolek.’ Dan karena isi kumpulan cerpennya sederhana maka untuk mengimbanginya Akmal menyediakan bentuk yang sederhana pula. Lebih jauh ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Akmal berhasil membuat konteks-konteks kecil dari esensi ide-ide yang besar. Memandang esensi-esensi ide-ide atau peristiwa-peristiwa besar dalam kacamata yang sederhana. Bahkan Akmal sendiri seakan menegaskan dalam pernyataanya bahwa kesederhanaan adalah mutiara bercerita yang sulit ditemukan pada dunia sastra Indonesia mutakhir. Dimana, dunia sastra menjadi semacam sirkuit balap mobil secara para pernulis seakan berlomba sebagai yang pertama dalam pencapaian estetis, eksperimentasi bentuk, atupun lebih tegas dalam mengartikulasikan hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu.
Namun dengan demikian, apakah pada kumpulan cerpen-cerpen AsdK juga mengutamakan kesederhanaannya pada alusi, atau referensi yang dikatakan menyusu pada budaya pop itu? Sepertinya Akmal menghindari sebuah sirkuit balap untuk kemudian menciptakan sirkuit balapnya sendiri. Sirkuit dimana lintasan literatur ‘tinggi’ sastra dibenturkan dengan ikon-ikon populer, lagu-lagu pop, bahkan tehnik iluustrasi a la komik Jepang. Sirkuit Balap Akmal berpacu dengan timbunan informasi literatur, budaya pop, dan permainan estetis a la posmo.
Kompleksitas kumpulan cerpen yang mayoritas alusi maupun refferensinya pada budaya pop justru terletak pada pemahamannya yang kaya dan dekat dengan informasi budaya pop dan gaya hidup itu sendiri. Barangkali, hal inilah yang dilewatkan oleh seorang Budi Darma. Timbunan informasi yang terkesan ‘dalam’ dari seorang Akmal. Tentunya tak semua penulis bisa merasakan kedalaman pada budaya pop tanpa terlibat atau menjejak pada arus informasi. Dalam pada itu, contoh yang menarik barangkali bisa dilihat pada: Fiona Benci Paul Anka. Tanpa, mempunyai refferensi tentang Paul Anka, tentunya tidak mudah menangkap ironi yang coba ditonjolkan. Membayangkan Paul Anka menyanyikan Smell Like Teen Spirit, ataupun Paul Anka bergaya Michael Jackson tentu akan terasa ironis dan parodis.
Para pembaca diajak balapan di dunia populer, sekaligus diberikan rambu-rambu dan jejak-jejak literatur ‘sastra tinggi’ yang menjadi bacaannya. Mungkin benar bahwa bentuk maupun isi AsdK cenderung sederhana dalam ukuran isi estetis tinggi karena muatannya cenderung merangsang insight into life, moral, dan atau meaningful. Sastra pop yang seringkali dan cenderung masih digeneralisasi sebagai sastra hiburan yang pada akhirnya tidak meninggalkan kesan serius, dengan demikian dianggap bukan pemikiran dan karena itu tidak menmbah wawasan kehidupan.
Namun kasus demikian sepertinya tidak terlalu saya temukan dari pembacaan terhadap AsdK. Bahwa, dunia pop yang diusungnya sangat cair, bukan berarti bahwa sebuah cerpen berakhir tanpa wawasan, kesan, ataupun moral. Barangkali benar bahwa Akmal cenderung menghindari resolusi yang memberikan justifikasi, ataupun menjadi moralis; meski masih terasa sangat humanis bernada romantis pada resolusi cerpen Boyon: ‘Seaneh apapun ayah yang ia hadiahkan adalah segunung cinta . Aku saja yang terlambat melihat. Pesan moral yang sangat transparan, memang terkesan menggurui tetapi karena alusi maupun referensi yang digunakan menyusu pada budaya pop: Film, James Bond atau Catatan si Boy, memang membuatnya secara keseluruhan terkesan parodis dan ringan; tetapi apakah cerpen ini tidak meninggalkan pesan moral, ataupun wawasan, tentunya jelas sekali.
Dalam beberapa cerpen yang lain nampak juga bahwa Akmal berusaha menjaga resolusi yang moralitas humanis, dari kacamata sosiologis maupun ideologis meski dengan kendara ungkap yang masih ngepop: Perkabungan Hujan, Seekor Ikan Hiu di Cangkir Kopi maupun Prolog Kematian. Tak jarang dia terasa lebih berkendara dengan tehnik penceritaan yang serius seperti pada: Legenda Bandar Angin, Lelaki yang Berumah di tepi Pantai, dan Ada seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku. Tetapi pada kesempatan lain Akmal justru tampil benar-benar ngepop benar seperti pada Lelaki Gagah, ataupun Kelambu.
Barangkali benar adanya Akmal berjalan pada koridor kontekstual, atau bertumpu lebih kepada happening, pun terkesan hanya bergelut dengan permukaan. Mozaik cerpen yang tersusun seperti perca-perca dari esensi fenomena, dan ide-ide besar, dan ditutrkan dengan gaya mengalir, ringan dan bahasa yang tak ribet. Tetapi yang membuatnya terkesan ‘pamer’ adalah kecanggihan informasi yang dibawanya seperti: Ikan Pari mengakibatkan tragedi Nasional karena telah membunuh seorang pesohor yang membuat seorang perdana menteri ikut berduka karenanya. Penggayaan, bombas, exagerate dalam bentuk informasi pengetahuan umum dengan basis jurnalistik sepertinya dengan sendirinya menggambarkan sosok Akmal yang memang wartawan atau jurnalis dengan bekal kecanggihan, kecepatan, ensiklopedi pengetahuan umum, serta budaya pop yang happening. Kemudian tak lupa membungkusnya dengan distorsi dan penggayaan informasi. Hal mana yang barangkali sangat dipahaminya dari kedekatannya dengan dunia industri media Disinilah Akmal mencoba membuat sirkuit balapnya sendiri: arena distorsi penggayaan informasi dan media.
Sedangkan dalam bentuk luarnya, barangkali seperti halnya penulis lain Akmal juga ikut larut dalam perayaan bentuk-bentuk mutakhir. Penulis adalah juga anak jaman, dan merefleksikan jamannya. Eklektik gaya estetis posmo meskipun jejak estetis modern masih terasa. Berkenaan dengan asumsi bentuk yang terkesan sederhana dan ngepop barangkali pendekatan yang sesuai untuk melihat ciri-ciri kompleksitas dan kelebihannya cenderung kepada gaya estetis posmo. Hal ini disebakan karena pendekatan modernis yang mengagungkan kebaruan, keotentikan, formalisme, dan fungsionalisme yang kebanyakan akan gagap dalam mengkaji karya dengan gaya posmo meminjam istilah Yasraf sebagia berkecenderungan untuk ironis, skizofrenik, hibrid, bahkan sinkretis.
Lebih jauh, seperti pada umumnya seni posmo, pendekatan sastra posmodernis terhadap gaya lebih banyak tertumpu pada pada penolakan atas konsep formalisme dengan form follows function-nya. Perlawanan ini dilakukan melalui bentuk-bentuk yang ironis, skizofrenik, dan sinkretis. Mempermainkan keseriusan formalisme, mempermainkan gaya sebagai komunikasi ironis. Dimana bukannya makna-makna dari pesan-pesan yang dikedepankan melainkan sirkuit balap kegairahan dalam permainan bebas tanda-tanda, kode-kode plesetan, humor dan kritik. Memperlakukan gaya tidak sebagai suatu bentuk kemajuan dan otentisitas melainkan sebagai bentuk eklektikisme, dengan kombinasi dari berbagai gaya, jenis kesenian, seniman, maupun periode, dan menjadikannya sebagai gaya yang ‘terkesan’ baru.
Dalam kumcer ini, sepertinya alusi maupun refrensi pop bukanlah bernilai sederhana tetapi bisa jadi merupakan suatu bentuk perlawanan atas kemapanan dari budaya tinggi, setidaknya membenturkan, ataupun membaurkan sastra tinggi dan budaya populer dalam semangat pluralisme. Unsur eklektik juga banyak menjadikan banyak bentuk kesenian sebagai inspirasi, film, lagu, lukisan dan bahkan digambarkan pada ilustrasi-ilustrasinya dimana kesan gaya komik ‘Jepang’ juga ikut meramaikan ruang estetis kumpulan cerpen ini. Bahkan sampul depan secara estetis menggambarkan kesan posmo tersebut, gedung bergaya klasik tetapi tingkat, mengesankan gaya masa lalu yang dicabut dari asalnya untuk dipertemukan dengan fungsi kekiniannya dalam penggayaan. Dan, karena pencampur adukan berbagai gaya dan pengaruh, maka mengesankan kebanyakan cerpen Akmal ini yang menurut Budi Darma menjauhkan diri dari harapan pembacanya dalam merebut makna. Apapun bisa, apapun tak bisa, apapun biasa saja, apapun tak biasa saja. Masih tersedia begitu banyak ruang pemaknaan pada sirkuit balap posmo, dan sepertinya Akmal juga ikut berpacu didalamnya.
***
Bono AJ
Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas
Wednesday, March 21, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment