Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Saturday, March 17, 2007

Review Buku: Yang Liu, Yang Lain

Yang Liu, Yang Lain

Judul Buku : Yang Liu
Penerbit : Bentang
Hal : x + 182
Penulis : Lan Fang
Tahun : 2006

Kembali dengan kumpulan cerpen berjudul Yang Liu yang dibangun penulisnya dari sosok imajiner atau sebut saja sebagai alterego. Di mana, kumpulan cerpen ini bercerita tentang kepingan hidup dari karakter-karakter imajiner bernama Lan Fang, perempuan keturunan Cina dengan berbagai sisi problematika dan kerumitan hidup. Jatuh bangun oleh cinta, marginalisasi, prasangka-prasangka antropologis, dan struktur sosial yang masih didominasi oleh penindasan seksis.

Buku dengan sampul merah menyala dengan paduan warna kuning keemasan, bernuansa etnis, seperti benderangnya lampion-lampion menjelang Imlek yang merupakan simbol akan pengharapan dan kemakmuran. Demikian pula harapan tokoh-tokoh yang mengalami kerumitan hidup dan kekecewaan yang pahit dalm kumpulan cerpennya. Hidup sebagai perempuan terasa penuh liku apalagi perempuan keturunan Cina yang minoritas seringkali lebih pahit karena terpinggirkan. Pandangan stereotip yang berkembang menganggap hidup mereka dalam seperti sangkar emas. Karena, secara ekonomi mereka hidup lebih baik; tetapi pada kenyataannya tidak semuanya sama seperti yang dibayangkan. Sepertinya klise, tetapi, pada prakteknya pandangan miring yang stereotip tentang ‘keberuntungan’ merekalah yang lebih mengemuka dan pada akhirnya menyulut sentimen ekonomis dan rasialis.

Di hampir semua cerpen, kebanyakan tokoh wanitanya digambarkan sebagai mahluk yang mendapatkan takdirnya untuk berjodoh dengan kekecewaan dan hidup pada situasi yang termarginalkan. Lan Fang (seperti pada cerpen Yang Liu ) akhirnya, dengan kepasrahan atas occultisme perhitungan Cina, menyerahkan nasibnya kepada ramalan bahwa dia akan selalu berjodoh dengan kematian. Pada kenyataannya, adalah suatu kebetulan bahwa dari semua lelaki yang mencintainya berakhir dengan kematian. Pada akhirnya berketetapan untuk menjadi perawat mayat. Suasana mitologis seperti ini nampaknya juga menarik bagi penulisnya. Nuansa-nuansa seperti ini diungkapkannya pada beberapa cerpen: Yang Liu, Gong Xi Fa Chai dan Bayi ke Tujuh bahkan novel sebelumnya Kembang Gunung Purei

Tema tentang terpinggirkannya perempuan mungkin masih menarik untuk diangkat ke permukaan, sebagai bentuk perjuangan kritis dan penyadaran yang terus menerus. Kali ini, penulis tidak sekedar bermain dengan isu perempuan yang secara kultural masih terpinggirkan, dan dilainkan. Tetapi, juga mengangkat isu bahwa pada kenyataannya tak semua warga keturunan Cina itu kaya dan beruntung. Pandangan bahwa keturunan Cina secara ekonomi lebih baik yang terbingkaikan di mal-mal, pasar-pasar, dan toko-toko. Dunia usaha yang secara kultural dipandang sebagai domain mereka. Memang, kedekatan dan kemampuan mereka pada dunia usaha dengan corak kapitalistiknya seringkali menimbulkan kecurigaan rasialis. Tetapi, perlu diingat bahwa lebih dari itu subordinasi bisa terjadi di wilayah manapun, dan sosok Lan Fang pada beberapa cerpen dari Yang Liu ini berusaha mengungkapkan penindasan rasialis dan seksis sekaligus.

Meski sebenarnya isu utama yang lebih mendominan pada kumpulan cerpen ini terutama cerpen Yang Liu adalah kekalahan Lan Fang atas nasib, daripada status ekonomis. Dan, lebih jauh seakan ditemui penekanan atas kesan yang mengungka realitas bahkan untuk urusan ‘takdir’ pun seorang perempuan masih harus ternomorduakan. Entah akibat ramalan, atau memang benar ‘takdir’ yang mendorong Lan Fang alias Yang Liu untuk selalu saja tidak beruntung dengan hubungan cintanya.

Barangkali tidak gampang mencari jodoh bagi perempuan dimana tengara umum yang berkembang adalah bahwa jumlah perempuan dikatakan lebih banyak daripada laki-laki. Apalagi, beberapa waktu lalu isu pro-kontra poligami merebak dengan hangat dan bahkan sempat menjadi bola politik. Dan, Para Lan Fang dalam kumpulan cerpen ini sepertinya harus menerima kenyataan untuk tersuruk-suruk dalam percintaan bahkan acapkali ‘tidak kebagian pria sama sekali’.

Pada kebanyakan cerpen, penulis sepertinya mencoba memberikan gambaran atas ketimpangan struktur sosial yang secara kultural masih memarginalkan perempuan. Lan Fang yang meskipun bisa dianggap lebih beruntung dengan berparas cantik daripada kebanyakan wanita, tetapi tetap saja pandangan politik gender menempatkan dirinya secara sosial, psikologis, dan bahkan dihadapan takdir menjadi yang ternomorsekiankan. Sudah perempuan, keturunan Cina, tidak kaya, bahkan tersubordinasi di hadapan takdir yang membawanya sebagai pembawa sial, dekat dengan ketidakberuntungan bahkan kematian.

Pada wilayah politik gender, alteritas mengkonstruksi perempuan sebagai yang Lain yang mana secara tradisional perempuan dianggap sebagai segala sesuatu di mana laki-laki tidak demikian, lebih jauh laki-laki adalah sebagai segala sesuatu di mana perempuan tidak mampu lakukan. Perempuan mengalami alteritasnya tidak hanya dalam perbedaan kelamin dan posisi gender; tetapi juga terkait dengan latarbelakang etnis, pendidikan, profesi, kelas sosial, dan ketidakmampuan fisik ataupun psikologis (Cavallaro). Nampaknya, penulis berusaha mengilustrasikan hal-hal ini, salah satunya seperti pada cerpen, Cerita Ini Dimulai dari Tengah, ataupun Calon Menantu.

Dengan posisi sebagai ‘the second sex’ perempuan seringkali ditempatkan pada konteks ekofominisme yang mengaitkannya dengan Bumi sebagai kehidupan, kesuburan, pengasuhan, dan pemeliharaan yang secara khusus digerakkan oleh elemen yang bersifat keperempuanan, dan keibuan. Hal ini mendevaluasi secara metaforis baik posisi perempuan maupun alam. Merendahkan perempuan sebagai yang Lain dengan metafora semacam: ladang persemaian, sapi perah, anjing betina dsb. Dengan begitu baik perempuan dan alam dianggap sebagai yang disediakan ataupun obyek untuk konsumsi laki-laki. Dalam hal ini, panulis juga menyinggung isu ekofeminis sebagai ladang persemaian dan kesuburan ini seperti pada cerpen Bayi Ke Tujuh.

Yang lainnya, pada kumpulaan cerpen Yang Liu, penulis juga bercerita banyak tentang budaya peranakan, ritualisme seperti detail prosesi pemakaman masyarakat keturunan, mitologi, maupun simbolisme. Kumpulan cerpen ini juga diwarnai ironisme, dimana tak hanya para lelaki yang mampu menindas seorang perempuan bisa berbuat hal yang sama: Rumah Tanpa Cermin. Penulis juga mengambil sudut pandang sebagai ‘orang dalam’ alias subyek yang me-lain-kan, dan bukan sang Lain itu sendiri. Dengan demikian suasana ironis begitu terasa manakala pembaca disuguhi kenyataan bahwa sang aku liris justru terlihat kurang bermoral karenan terjebak dalam pikiran-pikiran rendahan yang klasis, dan rasialisnya sendiri seperti pada cerpen: Calon Menantu.

Beberapa narasi mempunyai jalinan lumayan kuat, metaforis, dan bernada liris. Berbekal dengan pengalaman dan tehnis menulis yang dimilikinya, penulis berusaha bermain suspense pada alur cerita seperti pada: Cerita Ini Dimulai dari Tengah dan permainan sudut pandang bisa ditemukan pada cerpen Dua Perempuan. Barangkali yang ‘disayangkan’ adalah justru tokoh-tokoh utama mengambil nama Lan Fang. Penamaan tokoh yang meskipun tidak boleh secara langsung diasosiasikan dengan biografis pengarangnya, betapapun mirip. Tetapi, bisa jadi bagi beberapa pembaca hal tersebut masih meninggalkan kesan referensial biografis yang kuatv terhadap penulisnya yang juga perempuan keturunan Cina dan bernama Lan Fang tersebut.

Meskipun penamaan Lan Fang mengandung resiko asosiatif dengan biografis pengarangnya; tetapi penulis berusaha kuat menampilkan karakter-karakter sebagai ungkapan alterego. Tetapi, tak urung, kesan kurang pede masih agak terasa. Barangkali, dengan maksud seakan-akan untuk mengurangi kadar referensial yang asosiatif itu penulis lebih memilih nama Yang Liu daripada Lan Fang sebagai judul utama. Bahkan, pada cerpen Yang Liu sendiri seringkali penulis menambahinya dengan ‘Saya lebih suka memanggilnya Yang Liu’ . Entahlah, apakah benar Lan Fang (penulis) kurang pede dengan pemakaian nama tokoh Lan Fang itu sendiri. Atau, barangkali memang seperti yang dia tegaskan bahwa penamaan Lan Fang adalah langkah paling mudah untuk menghindari perasaan bersalah atas nasib karakter-karakter rekaanya dari kemiripan nama-nama yang berbau ‘oriental’ di luar sana.

Secara keseluruhan mungkin apa yang coba diungkap oleh penulis barangkali tergambar pada cerpen Yang Liu, yang dijadikan judul utama kumpulan cerpen ini. Sebagai perempuan dalam ruang lingkup alteritas, memberi warna dan kecantikan. Merawat kematian kemudian memaknainya dengan lebih adalah barangkali hal terakhir yang bisa dilakukan agar setidaknya hidupnya punya essensi. Meskipun dalam sudut pandang tertentu hal ini bisa diartikan sebagai bunuh diri secara mentalitas, tetapi, setidaknya lebih baik daripada bunuh diri secara fisik.

Bono A.J.
Penikmat Sastra Populer, salah seorang moderator di milis APSAS

1 comment:

djarot sujarwo said...

saya mau beli buku Yang Liu. posisi saya sekarang di Pontianak. di Gramedia Pontianak ga ada buku itu. bisa pesan online ga ya? mohon konfirmasinya. saya ada di 085245380171. terima kasih

salam
www.payjarotsujarwo.blogspot.com