Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas

Wednesday, March 21, 2007

Review Buku: Di Tikungan Puisi

Di Tikungan Puisi


Judul Buku : Di Lengkung Alis Matamu
Penerbit : AKAR, Indonesia
Hal : viii + 110
Penulis : Johanes Sugianto
Tahun : 2006


… a poet is nightingale who sit in darkness
and sing to cheer its own solitude with sweet sounds…
-Percy Byssche Shelley-

Pada kumpulan puisinya ini Yo tampil liris dengan ekspresi yang personal. Hadir ditengah keraguan akan keindahan puisi. Puisi terasa menjadi begitu sulit dan liar, dan terlalu cerdas untuk sekedar dinyayikan di pojok gelap. Puisi-puisi ringan saja, barangkali itu yang coba disuarakan oleh seorang Yo. Tangkapan-tangkapan yang terasa spontan, dan mengalir saja, menjala emosi.

Sepertinya pilihan puitika Yo bersahaja, santun, tidak membuat orang kaget, dan merinding. Tak ada keliaran, tidak mbeling, meneror, ataupun urakan. Jangan berharap pertunjukkan sirkus silat kata, senssasi, atau kenakalan-kenakalan lainnya. Tertib, begitulah kesan yang coba dikemukakan. Pilihan yang barangkali tak bisa dipersalahkan, mengingat puisi berkembang hanya sebagai retorika dan ajang pamer ‘kecanggihan’ temuan kata seringkali malah membuat pembaca puisinya, berkernyit dahi dan pada akhirnya tinggal tak mengerti.

Joko Pinurbo dalam pengantarnya menyatakan puisi-puisi Yo tidak menunjukkan kesan semau gue, kesan bijak berisi piwulang mengajak merenung dalam kebersahajaannya. Sederhana bisa jadi tidak selalu berarti gampangan; tetapi biasanya puisi gampangan memang dibungkus dengan sederhana dan tidak dalam. Tikungannya adalah, apakah puisi Yo ini gampangan hingga hanya dibalut dengan kesederhanaan dan ketidaknekoan? Atau memang puisi-puisi Yo memang mengalir tertib dan tenang seperti pertapa yang tahan godaan.

Dalam beberapa puisi, Yo memang membuatnya gampang saja, gampang untuk dikomunikasikan dan direbut maknanya, puisi liris yang transparan dengan menitiktumpu pada retorika yang ‘mellow’ ataupun ‘emo’. Karenanya jalan liris adalah pilihan yang memang tidak bisa dihindarinya. Serius dengan perasaannya begitu yang kesan yang bisa ditangkap. Dengan keseriusannya, dalam kumpulan puisi ini saya jarang temui nada yang lain, komedis atau keriangan misalnya.

Dibutuhkan keberanian, dan kecermatan dalam mengungkapkan tikungan-tikungan nada maupun tempo agar tidak terjebak pada keseriusan yang mandul dengan variasi ekspresif. Barangkali karena ketenangannya itu, dalam kumpulan puisinya Yo jarang tampil ironis. Yo sepertinya sibuk melukis dengan kata-kata dengan kedalaman emosinya. Dengan nada maupun tempo yang tenang dan tertib, kumpulan puisi ini terancam akan membosankan.

Dari puisi satu ke puisi lainnya, Yo tetaplah Yo, dengan sejumlah 110 puisi nyaris akan kita temui nyanyian yang sama. Barangkali memang Yo tidak terlalu memusingkan unsur bunyi yang pada umumnya buku puisi lain juga diabaikan. Dan, sepertinya memang jarang ditemukan kejutan baik pada aspek tata bahasa maupun aspek bunyi. Permainan bunyi kebanyakan dipilih untuk efoni hingga jatuhnya terkesan lembut. Meski, tidak terkesan pamer gincu, tetapi dengan pilihan nada yang yang nyaris seragam seperti itu ke 110 puisi itu sepertinya akan menampilkan nada yang tidak jauh berbeda.

Puisi memang indah ataupun endah, dalam penikmatan puisi, apalagi kumpulan puisi dibutuhkan lebih dari sekedar kata-kata indah. Kemampuan penyair dalam mengolah alat-alat puitik adalah taruhannya.Melalui pengalaman menyeleksi dan mengkombinasi penataan diksi, aspek tatabahasa, aspek bunyi, nada, dan diksi yang kaya seorang penyair sangat mungkin untuk mengekspresikan pengalaman fisik ataupun batin dengan bening.

Kembali kepada kesederhanaan sebaiknya tidak dipahami sebagai keseragaman, baik aspek nada maupun nada. Sebaliknya sirkus kata maupun silat kata sebaiknya tidak perlu dipahami sebagai sesuatu yang harus selalu baru, terus menerus mengejutkan, serba terlalu. Kesederhanaan dalam puisi sepertinya harus selalu dalam koridor indah.

Dimata Imanuel Kant perasaan estetis berujung kepada dua hal yaitu keindahan dan keagungan. Obyek yang indah didefinisikan secara tepat dan unsur-unsurnya disusun secara seimbang Sementara objek yang agung bertumpu kepada ketidakterbatasan yang yang mengguncang persepsi baik melalui kebesaranya, ukuranya, dan energinya yang luar biasa.

Puisi secara individual bisa saja dikatakan indah, tetapi bila dikumpulkan menjadi sebuah buku kumpulan puisi bisa jadi akan memberikan efek nada, tempo, dengan demikian efek emotif yang berbeda. Sepertinya, pertimbangan keseimbangan dan penekanan (penonjolan) aspek-aspek puitika secara menyeluruh sewajarnya diperhatikan dengan lebih matang; meskipun aspek utama dari sekian puisi yang sedang pamer keindahan adalah kesederhanaan. yang menjadi tema pokoknya.

*Bono

1 comment:

Gie said...

suwun,cak.
sederhana memang jadi pilihan, dan beranjak dari situ ada penyair yang pecinta dan keras kepala.

salam,
Yo