(Ketika re-kreasi bertasbih)
Saya hanya akan sedikit bercerita tentang beberapa kesulitan yang seringkai saya temui ketika mengintrepretasikan kembali sebuah puisi; terutama puisi dalam bahasa asing.
Dalam banyak hal saya masih sepakat dengan Derrida yang saya rtikan bahwa menerjemahkan suatu teks tidak lebih adalah suatu kegiatan re-kreasi, menciptakan ulang. Menciptakan teks baru atas sebuah teks. Meski tak harus bersetia kepada kematian pengarang, Barthes, mau tak mau saya harus menuliskan versi dari seorang pembaca. Pembaca dengan segenap pengalaman baca, beserta sentuhan kreativitasnya.
Berbeda dengan jenis non-fiksi, ruang yang diberikan fiksi tentunya lebih lebar lagi, dimana kreatifitas bisa lebih leluasa bergerak. Dalam hal ini saya lebih banyak akan mengambil jarak berbahasa dari filsasfat analitik, dengan logical positivisme, baik Russel ataupun Witsgentein. Dengan begitu saya harus mengakui bahwa penerjemahan secara ilmiah dengan ketepatan semantic yang tinggi dengan tidak menolerir kebanyakmaknaan bisa diabaikan dalam teks fiksi.
Jakobson, yang meskipun dipandang terlalu menyamakan kedudukan bahasa dengan komunikasi, tak bisa dipungkiri saya harus epakat bahwa bahasa sebagai alat utama teks juga bermuatan fungsi emotif. Berbicara tentang puisi, untuk menyingkatnya saya sepadankan fungsi emotif ini sebagai nada, dengan kata lain jarak dan ataupun kedekatan emosi ini saya artikan sebagai nada.
Sementara itu nada yang ditemukan ditubuh karya sastra bisa saja berkembang kemana-mana, bisa ditelusuri secara diakronik maupun sinkronik, dan ataupun kontemporer. Penafsiran nada ini bagi saya adalah merupakan suatu mata air kreatifitas. Artinya bahwa sebuah puisi terjemahan bisa jadi merupakan puisi yang mandiri dari teks asalnya. Sebagai salah satu bentuk reintrepretasi kreatif maka puisi terjemahan bisa jadi merupakan salah satu bentuk kreatif atau katakanlah dengan sedikit jumawa: orisinal.
Untuk selain puisi, saya bisa membayangkan bahwa Shakespeare bisa jadi mati ketawa menyaksikan Romeo dengan pistol menghabiskan liburanya ditepi pantai, bertingkah seurakan Di capprio. Seperti halnya Dumas bisa terheran-heran oleh pembawaan Di capprio sebagai putra hasil perselingkuhan D’artagnan dengan sang Ratu dalam The Man in The Iron Mask (?). Lepas dari benar tidaknya, sama tidaknya, dengan teks awal; penerjemahan kreatif bagi saya adalah murni sebagai suatu kegiatan re-kreasi. Mungkin dengan begitu tuduhan sebagai pembela budaya posmo tak bisa saya elakkan lagi saya tidak membenarkan dan menyalahkan.
Bisa jadi ungkapan-ungkapan saya dekat dengan pemahaman sejenis bricollage, parody, dan ataupun kitsch. Tetapi, hal yang mendasari pemahaman saya adalah bahwa untuk mengkonstruksi suatu karya terjemahan mustahil akan menghasilkan keotentikan yang sama, hal ini juga bisa dilandasi kenyataan bahwa bahasa fiksi adalah berbeda dengan bahasa ilmiah yang sudah seharusnya tidak boleh bermakna ganda. Apalagi bila berbicara bahasa kamera yang merupakan inti kekuatan dari sebuah film. Bahasa yang dimaksudkan memberikan aksentuasi kepada efek yang ingin dicapai oleh sutradara; tafsiran akan semakin melebar mengingat kesenjangan yang bisa ditimbulkan oleh bahasa pictorial dan bahasa descriptional. Terlepas dari itu, benarlah adanya saya terlalu pede dengan pandangan saya. Tetapi sebagai suatu pilihan sikap; apa yang saya sampaikan adalah salah satu dari versi reflektif subyektif: menerjemahkan adalah suatu kerja re-kreasi.
Hal lain, bicara mengenai judul diatas, benarlah bahwa saya masih terimbas oleh sukses dari film Ayat-ayat Cinta. Saya sudah menontonnya sekali di bioskop. Belum membaca novelnya. Jadi saya tidak bisa membandingkan antara novel dan filmnya yang konon berbeda versi di ending cerita. Dan, saya memang belum berniat membacanya, bukan karena apa-apa tetapi karena memang belum sempat mencari novel tersebut apalagi membacanya, dan terus terang baru mendengar nama Habiburrahman.
Saya mengandaikan bahwa ruh film itu adalah bangunan awal atau modal saya nanti dalam membaca novel tersebut, maka kesan yang saya dapati dari film itu bisa jadi meneguhkan atau bahkan sama sekali merubah opini saya terhadap film tersebut. Jika tak banyak kesenjangan yang saya dapati dalam pembacaan saya atas film AAC maka bagi saya AAC hanya bertumpu dan dibentuk oleh kekuatan cerita. Meskipun seandainya benar apa yang dikatakan oleh Ayu Utami bahwa film AAC bukanlah hal baru malah justru ketinggalan beberapa decade dari film
Dalam konteks re-kreasi, AAC jelaslah merupakan hal yang berbeda dengan
Menonton film yang dengan hanya berpegang kepada plot tanpa memberi landas yang kuat pada karakter, AAC terkesan buru-buru. Dan, memang sepertinya memilih jalan populer dan aman dalam menyelesaikan konflik poligami tersebut dengan aman. Bagi saya, konflik sebenarnya bisa terjadi justru di saat poligami di jalani. Alih-alih menggali lebih dalam permasalahan, AAC justru lebih memilih mematikan tokoh yang potensial. Sebuah penyelesaian yang mudah. Bagi saya, kematian adalah penyelesaian usang.
Kematian di akhir AAC bagi saya bermakna sebagai ketidakberanian dalam memberikan pandangan yang lebih realistis dan menukik. Alih-alih mengembalikan kesimpulan kepada penonton AAC malah memilih untuk menyerah secara romantis kepada kematian. Memang semuanya akan mati, tetapi apa salahnya untuk sedikit lebih cerdas.
Saya mengandaikan bagaimana seandainya poligami tersebut bisa dijalani dengan cerdas, atau diselesaikan dengan cerdas tanpa perceraian! Saya kira daripada menganjurkan AAC malah menegaskan bahwa idealnya monogami itulah penyelesaian daripada poligami; meski dalam menyimpulkan hal ini AAC lebih memilih untuk bersikap simbolik. Perceraian dengan latar takdir kematian tak ubahnya seperti deux ex machina.
Saya akan lebih menerima jika seandainya AAC diakhiri oleh perceraian daripada kematian; dan bahkan lebih suka lagi bila kisah poligami tersebut diselesaikan tanpa perceraian. Memang lelaki mana sih yang tidak ingin berkuasa? Saya kira dengan cermin poligami, sebenarnya benak para lelaki yang cenderung untuk menguasai dan mendominasi lebih bisa dikemukakan dan diperdebatkan. Karya yang baik tidak hanya menghibur tetapi gaungnya hingga kepada penalaran.
Logika modern dengan nafas kesetaraan jender tentu akan sulit menerima keberadaan poligami. Saya mengandaikan jika saja film ini lebih berani dalam menggali konflik ini saya kira banyak peta-peta besar lain yang akan tersentuh. Dengan begitu tafsir yang re-kreatif atas pandangan monogami dan poligami akan menemukan jalannya yang lebih lapang, terlepas setuju atau tidak setuju dengan poligami. Dengan demikian, jikalau dikatakan sebagai film dakwah maka AAC ini menurut saya kurang memberikan nilai solutif, tanggung dan kurang berani.
Memang tidak memihak poligami ataupun anti poligami merupakan salah satu pilihan sikap, tetapi bagi saya di mata kegiatan berkesenian, efek dan kecerdikan dalam menyelesaikan suatu masalah dan pencerahan adalah hal pokok; jika tidak demikian jatuhlah sebuah karya ke alam yang banal dan klise.
Dan terus bertasbihlah re-kreasi