Momentum dan Kecerdasan dalam berpuisi
Kecerdasan vs kulitas afektif, rasanya terlalu tajam, tapi biarlah, barangkali dengan begitu pembeda antara keduanya agak terlihat. Bukan dengan maksud agar keduanya nampak benar-benar berbeda, tetapi dibalik artikulasi-artikulasi yang memungkinkan keduanya muncul pada wilayah yang sama; ada hal ikhwal yang membedakan keduanya.
Tentang momentum, peristiwa, dan pengalaman hidup.
Sebelumnya, berawal dari pengertian saya tentang momentum. Pada sebagian besar pendapat yang saya anggap cukup kuat dipegang teguh oleh kaum modernis, dan eksistentialis mengesankan bahwa momen itu harus direbut, diperjuangkan, dan bahkan dibentuk. Karena sikap seperti ini, dalam pengertian saya adalah menempatkan sang 'aku' sebagai pusat dunia yang memang diagung-agungkan oleh doktrin modernisme, humanis-positivis-universalis. Tak pelak saya harus mengakui jasa besar mereka pada peradaban, tetapi juga proses modernisasi dengan sisi industrialismenya mau tak mau mewariskan dunia yang telah jauh tereksploitasi; salah satunya mewariskan bencana pemanasan global yang sudah di ujung hidung.
Saya mendapati kedekatan sikap ekploitatif dengan sikap yang diambil oleh eksistentialis Sartrian. Etre-pour-soi, ada untuk dirinya. Dan, etre-en-soi, yang ada-nya tanpa sejarah, tanpa makna. Yang baru mempunyai essensi hanya bila telah dimaknai, atau lebih jauh dieksploitasi dan dimomenkanoleh sang Aku. Dan, aktifitas yang menonjol dari sikap ini adalah aktifitas menidak atau sepenuhnya kebebasan memilih sang Aku. Karena sepenuhnya bebas memilih maka tanggung jawab adalah seluruhnya ditangannya sendiri, ‘aku’ adalah subyektif individualis sang penguasa makna murni.
Kesamaan eksistentialisme Sartre dan Heidegger terletak kepada kebebasan.Tetapi, bedanya dengan Heidegger, yang menolak disebut sebagai eksistentialis, adalah anggapannya bahwa kebebasan itu selalu diikat oleh situasi. Pendapat yang berasal dari Fichte yang mengasalkan bahwa kebebasan tidak datang dari sesuatu yang tidak ada tetapi karena situasi tertentu. Heidegger juga membedakan antara ‘ada’ dalam das sein (realita) dan das sollen ( seharusnya benar-benar ada dalam realita).
Dengan pengertian dan kerangka eksistentialisme Heidegger dan Fichte inilah yang mendasari arti ‘momen’ bagi saya; bahwa situasi itu adalah salah satu pendorong potensial bagi sebuah momen, yang kemudian direbut oleh penyair dengan kemampuan individunya. Saya kira hampir semua penyair adalah produk ‘situasi’ dari dorongan atas pencerapannya atas situasi; karenanya, ungkapan penyair tak terpengaruh momen-momen lain dan justru sepenuhnya mampu membuat momen bagi dirinya sendiri, bagi saya, terdengar hampir tidak mungkin.
Keberadaan sebuah karya sastra tidak datang begitu saja, tetapi karena adanya situasi atau katakanlah momen-momen tertentu sebelum atau yang sedang terjadi. Saya berkeyakinan bahwa justru penyair yang baik sebagian besar menghasilkan karyanya dari kepadatan pengalaman yang sublim karenanya sanggup mengakrabinya dengan intens. Seperti Abdul Hadi yang kuat dengan sajak-sajak tentang lautnya, atau Acep dengan pergaulan intensnya dengan pedusunan, atau pula Sapardi yang mempesona saya dengan sajak-sajak cerita masa kecilnya. Belum lagi penyair-penyair besar yang hidupya dipenuhi dengan pengalaman yang menegangkan, menyesakkan, kesengsaraan, perjuangan hidup bahkan ancaman kematian seperti: Chairil Anwar, Byron, Rimbaud, ataupun Lorca. Penyair yang dibentuk dan akrab dengan momentum, peristiwa, dan pengalaman hidupnya.
Tentang kecerdasan
Bahwa dalam pengertian banyak pihak seringkali mengartikan kecerdasan sebagai kognitif semata, dan tentu saja bagi saya hal itu adalah kurang mendasar. Mengingat khalayak umum dan sumber bacaan saya, yang kebetulan semasa kuliah dulu pernah mendapat materi tentang psikologi pendidikan yang membahas masalah kecerdasan ini, kebanyakan menyebut kecerdasan adalah sebagai ‘intelegensi’/intelegence.
Jadi, sebaiknya tidak hanya mendasarkan pengertian kecerdasan kepada faktor spekulatif atau filsafati bahasa ataupun dalam kerangka pengertian ‘differance’ a la Derrida. Yang dengan begitu akan cenderung berpotensi untuk berkutat pada debat bahasa, generalisasi kecerdasan, atau menariknya kesana kemari dan untuk kemudian menjadikannya kembali sangat relatif. Dalam pandangan saya, dalam hal ini, sepertinya masih banyak yang mencampuradukkan antara kecerdasan/intelegensi dengan sekedar kognisi/cognition, bakat ataupun kualitas afektif .
Sepengetahuan saya, ada beberapa konsepsi tentang intelegensi ini yang beberapa diantaranya adalah, konsepsi spekulatif filsafati, konsepsi pragmatis, konsepsi faktor, konsepsi operasional, dan konsepsi fungsional.
Dari sekian konsepsi itu, untuk singkatnya, kecerdasan alias intelegensi itu menurut konsepsi operasional hanya bisa dihasilkan, dan didefinisikan oleh test. Sementara Stern maupun Langeveld menitikberatkan kecerdasan lebih kepada faktor fungsionalnya. Langeveld mendifinisikan intelegensi sebagai disposisi untuk bertindak, untuk menentukan tujuan-tujuan baru, membuat alat untuk mencapai tujuan, dan mempergunakannya.
Dengan demikian bahwa unsur fikir dan penalaran -‘otak’- yang lebih menguat dalam hal kecerdasan ini. Hal ini bisa dilihat bahwa didalam kecerdasan, unsur ‘tujuan’ alias ‘kesengajaan’ merupakan faktor fundamental! Bandingkan dengan kebanyakan penyair yang menunggu inspirasi dan mood, yang dengan demikian untuk proses pembuatan sebuah karya cenderung ‘katanya’ meskipun terpengaruh oleh inspirasi dari sekitarnya juga terkadang masih harus menunggu mood, ekspresif emotion, spontanitas, bahkan ada yang bilang harus sampai trance ataupun kerasukan.
Kecerdasan di sisi lain cenderung diwarnai oleh aktifitas kognisi ataupun intelektualisme; penalaran. Memang dalam intelegensi, merujuk pada Guilford, bila ditinjau dari isi, faktor-faktor intelegensi juga menyangkut kemampuan figural, symbolic, dan semantic. Akan tetapi segala pemanfaatan faktor isi alias kemampuan verbal, dan ataupun word fluency itu bertujuan akhir untuk difokuskan lebih kepada penalaran atau reasoning yang mendasari kecakapan berpikir.
Kognisi/cognition adalah knowing atau awarenes termasuk sensation tapi diluar emotion yang membentuk kecerdasan/intelegence. Menjadi suatu pertanyaan menarik, mengingat perkembangan dunia sastra dan seni, apakah dalam penikmatanya sebuah puisi itu lebih dinalar atau dirasa; masuk akal-tidak masuk akal atau bagus-jelek.
Ada bedanya, meski dengan kendara yang sama yaitu sarana puitik antara filsuf atau ahli hukum yang ‘nyair’ dengan penyair yang berfilosofi. Meski produknya sama-sama bercorak puitis tetap ada beda tujuan dan pemanfaatan. Salah satu contoh konkrit adalah pada bahasa hukum pada abad pertengahan yang berupa sajak, perjanjian ilmiah dalam bahasa sanskrit juga bersajak dalam tradisi India. Bahkan, Al Qur’an (Yaasiin: 69) menolak dengan tegas disebut sebagai syair meski unsur paronomasia, prosodi, dan metriknya juga luar biasa. Bisa saja teks-teks tersebut berstruktur puitik dan bermetrik akan tetapi tidak berarti fungsi puitik mempunyai peran yang menentukan dan mutlak didalamnya seperti yang berlaku dalam puisi.
Sementara, dalam hal kepenyairan, dan ataupun kesenimanan, sementara ini saya akan sependapat dengan Max Weber yang membagi tingkah laku manusia menjadi empat: Afektif handlung, traditional handlung, wertrational handlung, zwecktrational handlung.
Tingkah laku afektif lebih menonjolkan perasaan daripada intelegensi. Pada wilayah inilah seni dan sastra pada umumnya beroperasi. Karenanya, kemampuan afektif tidak dapat diukur secara tes IQ atau tes intelegensi/kecerdasan. Budi Darma juga menempatkan aktifitas bersastra dan berkesenian ini dalam kutub tingkah laku manusia sebagai Homo Ludens dan bukan Homo Sapien. Tetapi, tentu saja ‘minimum IQ’ masih dibutuhkan untuk aktifitas berbahasa ataupun peran manusia sebagai Homo Symbolicum.
Pada dasarnya sastra dan seni adalah lebih kepada olah rasa daripada olah kecerdasan. Tetapi, tetap saja perlu diperhatikan bahwa dalam berkesenian ada berbagai aliran, termasuk realisme sosialis, yang dalam salah satu aspeknya adalah kecerdasan dengan sumbu rasionalisme dan ataupun empirisme yang mendapat perhatian dan penekanan. Dalam hal ini saya menduga bahwa penggunaan puisi sebagai gaya pengungkapannya hanya berkecenderungan untuk aspek kekuatan potensial retorika yang terkandung dalam puisi, seperti yg ditujukkan oleh puisi-puisi 'khotbah', puisi 'pikir' pun puisi propaganda, yang pernah diusung oleh Thukul, Rendra dan ataupun Afrizal Malna. Dimana puisi secara optimal dimanfaatkan untuk lebih menekan dan mempengaruhi pathos, dengan kata lain puisi adalah usaha emotional appeals.
Diluar itu, sepertinya dunia puisi, sastra atau produk emotif pada umumnya berhubungan secara tidak signifikan dengan kecerdasan ataupun kualitas intelegensi. Kecuali, barangkali emotional, spiritual quality, dan pengaruh dunia bawah sadar; dunia mimpi seperti yang ditunjukkan oleh karya-karya pelukis Salvador Dalli dengan surealismenya.
Sementara itu, ditinjau dari nadanya tentang kecerdasan barangkali akan lebih sesuai bila diasumsikan dengan pengertian bakat (aptitude) daripada sekedar kecerdasan, atau daripada hanya aspek kognisi. Yang mana, menurut Guilford memang kemampuan kognisi/cognition merupakan salah satu faktor dari kecerdasan/intelegensi; tetapi, memang ada bedanya antara kognisi, kecerdasan dan bakat.
Sepertinya memang perlu membedakan antara hanya aspek kognisi/cognition, kecerdasan/intelegensi, dan bakat/aptitude. Bakat/aptitude, menurut W.B. Michael dalam Encyclopedia of Educational Research (1960.Hal.59), adalah bisa ditinjau sebagai kemampuan individu untuk melakukan suatu tugas, yang mana, seseorang itu sedikit sekali mendapatkan pelatihan atau bahkan tanpa latihan mengenai tugas itu sebelumnya. Sepertinya nada ekspresif dan spontanitas lebih mengemuka dalam hal ini. Aspek yang seringkali didengungkan bahkan dimitoskan oleh seniman atau penyair
Kecerdasan bisa dihasilkan melalui pelatihan yang bertujuan, seperti yang kita temui melalui workshop-workshop ataupun buku-buku how to, dan hasil akhirnya bisa jadi dapat ditest dengan instrumen yang telah dipersiapkan untuk mengukur adanya peningkatan kecerdasan tersebut.
Kecerdasan penalaran afektif bisa saja sengaja dilatih dengan metode pembentukan olah rasa melalui olah fikir; second experience (baca: teori) bisa saja memancing bahkan mengukur dan menentukan cerdas tidaknya penalaran terhadap produk-produk afektif. Tetapi, kualitas dan respon atas aspek afektif ini melulu subyektif dan karenanya tidak dapat diukur sebagai cerdas atau tidak, kecuali kualitas artistik yang berhubungan dengan indah-tidak indah, bagus-tidak bagus, pada akhirnya suka-tidak suka! Dan, dalam kerangka ekspresif, sastra dan seni adalah di dominasi oleh pengalaman, bakat dan intuisi.
Menegaskan hal ini, dalam pemanfaatannya menurut TS Elliot bahwa dunia puisi dalam penikmatannya adalah lebih mengutamakan penghayatan baru kemudian pemahaman. Dengan begitu, lebih kepada keutamaan afektif daripada kognitif.
Memang, pada akhirnya belakangan ini kebanyakan hanya hasil akhir yang menentukan sebuah karya, bukan proses. Tetapi, menurut saya seorang penulis atau penyair berbakat ‘biasanya’ mempunyai orisinilitas (bedakan dengan otentisitas) lebih daripada penulis atau penyair sekedar bentukan. Atau dalam istilah exaggerate saya: orang berbakat lebih cerdas daripada orang cerdas dalam situasi yang sama.
Barangkali saya memang terlalu ortodoks, konservatif pun apriori dengan mengesampingkan pelatihan kecerdasan dalam proses peningkatan kualitas afektif dan menggolongkannya sebagai langkah buatan, instan, dan terlalu teknis. Bukan berarti kecerdasan tidak penting. Kecerdasan dalam pemanfaatan alat-alat bahasa, keketatan bahasa, dan gaya ungkap dalam kadar tertentu merupakan alat yang vital. Tetapi, bila basis kemampuan afektif hanya bersumbu pada kecerdasan dan bertumpu melulu pada kemampuan teknis-teoritis; lalu apa bedanya metode berkarya sastra dengan dunia ilmiah yang cenderung baku dan kaku. Yang pada akhirnya juga, hanya diserap dan dinikmati oleh kaum akademisi. Mungkin nantinya akan sulit kita temui anomali anak alam yang kaya endapan pengalaman seperti Wiji Tukul, Walt Whitman, ataupun Kartolo. Namun, sebaliknya, faktor kecerdasan justru memang sebaiknya lebih dimiliki oleh seorang kritikus atau teoris sastra dalam menjembatani struktur dalam diri sebuah karya sastra dengan konteks-konteks diluar dirinya. Tentu saja karena posisi kemajuan sastra juga berjalan beriringan dengan kritik maupun teori sastra.
*Bn
Warung imajiner berbagi kopi sastra dan realitas
Wednesday, January 23, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)